Jumat, 29 Juli 2011

PUASA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

                  Puasa yang merupakan salah satu dari rukun islam, merupakan suatu ibadah yang mempunyai nilai lebih, bila dibandingkan dengan ibadah-badah yang lain. Berbeda dengan ibadah yang lain, puasa merupakan ibadah yang bersifat prifat(pribadi), yaitu ibadah yang hanya diketahui oleh orang yang berpuasa dengan tuhann-Nya. Hal ini berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, misalnya saja  sholat,  ibadah yang satu ini, selain diketahui oleh orang yang melakukan sholat dan Tuhan-Nya, ibadah ini juga bisa dinilai oleh orang lain, begitu juga dengan ibadah yang lain, zakat, haji, dan sebagainya. Ibadah-badah yang semacam ini berbeda halnya dengan berpuasa, kita bisa saja bilang sedang berpuasa, meskipun orang lain tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kita sedang tidak berpuasa. Akan tetapi yakinlah bahwa Allah SWT maha melihat, dan maha tahu atas segala sesuatu.
            Meskipun bersifat prifat, yaitu hubungan simbolik antara Tuhan dan makhluknya guna untuk mendapatkan motifasi simbolik, yang mengantarkan seseorang menuju keseimbangan antara iman dan kesalehan. Dalam menjalankan puasa, kita banyak dijanjikan oleh Allah dengan berbagai macam pahala, dan kenikmatan yang akan kita raih kelak dihari kemudian. Akan tetapi, sering kali puasa kita lakukan hanya ingin mendapatkan pahala dan kenikmatan-kenikmatan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT. kelak dihari kemudian. Dan sering kali kita melupakan tanggung jawab sosial, yang sebenarnya itu merupakan puncak dari ibadah ritual kita, seperti halnya bersedekah, menolong orang yang kekurangan, memberi makan bagi orang yang mau berbuka dan yang lain sebagainya.

            Hal yang demikian, seperti bersedekah, menolong orang yang membutuhkan, dan memberi ta’jil(makanan buat berbuka), merupakan  perintah Allah yang bersifat simbolik, agar kita lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat sosial, disamping mengerjakan ritual yang bersifat prifat/pribadi(puasa). Iman merupakan simbol dari perbuatan-perbuatan yang bersifat ritual, sedangkan amal shaleh merupakan simbol dari amal-amal yang bersifat sosiologis. Ironisnya, yang terjadi sekarang, kesalehan yang bersifat sosiologis sering kali dilupakan,  demi mengerjakan kesalehan yang sifatnya ritual, seperti sholat, puasa dan sebagainya. Seperti halnya orang yang sedikit mengeerjakan amalan yang sifatnya ritual, dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan ibadah yang sifatnya soaial yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi), dan aktif diberbagai kegiatan sosial, ini sering kali dianggap tingkat religiusnya rendah. Sebaliknya orang yang sibuk melaksanakan ibadah yang sifatnya ritual, dianggap lebih tinggi tingkat religiusnya.
Lebih Ironisnya lagi, antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosiologis, dianggap tidak memiliki hubungan apa-apa. Akibatnya banyak orang yang setiap tahun mengeerjakan ibadah haji, akan tetapi mereka tidak memperhatikan persoalan yang terjadi disekitarnya. Ini semua terjadi karena mereka lebih senang mengerjakan ibadah yang sifatnya ritual dan pribadi, yang telah dijanjikan pahalanya oleh Allah SWT. kelak dihari nanti,  dari pada mengerjakan ibadah yang sifatnya sosial, yang melibatkan oleh banyak orang. Dari perspektif ini, kita bisa memahami, sekalipun banyak orang yang mengerjakan ibadah dimana-mana, kuantitas orang naik haji semakin meningkat dari tahun ketahun, jama’ah majlis ta’lim tubuh dan berkembang di kantor-kantor, akan tetapi pada saat yang sama, korupsi semakin merajalela, dana anggaran pemerintah bocor dimana-mana, bahkan diberbagai sektor, mulai dari bawahan sampai atasan. Ternyata hal yang demikian, korupsi dan sebagainya, dilakukan oleh orang yang secara ritual keagamaan dinilai cukup taat, seperti mengerjakan sholat, puasa zakat, haji dan sebagainya.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa, ibadah ritual yang kita lakukan, seolah-olah tidak mempunyai dampak positif bagi ibadah sosiologis, yang sifatnya sosial dan menyeluruh, yang semestinya itu merupakan puncak dari ibadah ritual yang kita kerjakan. Lebih ironisnya lagi, ada sekelompok orang yang mengatas namakan kesalehan, dan ketaaan beragama, melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang melakukan perusakan kehidupan sosial, yang akhirnya fenomena seperti ini lebih dikenal dengan kekerasan spiritual. Dari fenomena tersebut, kita harus mendefinisikan ulang terhadap konsep pahala dan dosa.
Selama ini, kita mengenal bahwa pahala adalah kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah SWT. yang akan kita rasakan di kemudian hari. Dan dosa adalah balasan atas apa yang telah kita lakukan didunia, dan akan kita pertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Pahala yang dimaknai sebagi tabungan kita kelak dihari kemudian, musti kita wujudkan dan kita orientasikan dalam pengertian yang bersifat sosiologis. Artinya, ibadah yang kita lakukan, baik itu bersifat sosial maupun indifidul, harus kita konsepsikan sebagi sarana untuk melakukan ibadah sosial, demi terwujudnya hukum sosial yang sesuai dengan tatanan syariat, dan hukum sosial. Seperti halya, kita musti berjalan melalui jalur kiri. seandanyai kita berjalan dari jalur kanan, meskipun secara teologis kita tidak berdosa, tapi secara sosiologis sebenarnya kita telah bertdosa. Apa dosanya? Mungkin saja kalu kita berjaln dari jalur kanan mengakibatnya terjadinya kecelakaan.
Artinya dosa tidak selamanya kita artikan secara eskatologis, tetapi dosa juga harus kita artikan secara sosialis, atau sebagai sesuatu yang dapat menghambat dan mengganggu terjadinya keseimbangan sosial. Begitupun dengan pahala, jangan selamanya pahala kita artikan secara eskatologis saja, akan tetapi, pahala juga harus kita maknai sebagai sesuatu yang mendorong terjadinya keteraturan, keserasian dan keseimbangan sosial. Karena iu, puasa yang didalamnya terdapat larangan makan, minum dan sebagainya, sebenarnya merupakan simbol untuk melatih diri agar tidak berbuat rakus dan serakah. Kemudian pusa sebagi tameng untuk tidak tamak dan rakus terhadap sesuatu yang bukan milik kita. Dan yang paling urgen dari puasa sebenarnya adalah kita dilatih untuk lebih peduli dengan apa yang ada disekitar kita, seperti sadakah, zakat, memberi ta’jil(makanan untuk berbuka puasa) dan sebaginya. Jika seandanya kita rajin mengerjakan puasa Ramadhan, shalat malam setiap malam, dan mengerjakan puasa sunah dan kebajikan-kebajikan yang lainnya, tetapi kita tidak mempunyai kepedulian sosial disekitar kita, maka ibadah ritual kita tidak akan bermakna apa-apa. Karena, dari ibadah yang sifatnya ritual tersebut, diharapkan akan ada dampak nyata pada prilaku-prilaku soaial (kh).
  

Kamis, 28 Juli 2011

PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEBERAGAMAN/PLURALISME

              Islam yang telah kita ketahui selama ini merupkan salah satu agama yang memiliki pengikut terbanyak di Indonesia,  bahkan Islam merupakan salah satu agama yang memiliki pengikut mayoritas terbanyak didunia. Dalam kaitannya dengan agama, Islam merupakan petunjuk bagi manusia menuju jalan yang lurus, benar dan sesuai dengan tuntunan kitap suci Al Qur’an yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. kalau kita kaitkan dengan kontets dan perubahan zaman sekarang, bagaima Islam memandang keberagaman/pluralitas yang ada dinegri  ini, bahkan di dunia. Sebagaimana yang telah disebutkan berkali-kali oleh Allah SWT didalam Al Qur’an. Islam sangat menjunjung keberagaman/pluralitas, karena keberagaman/pluralitas merupakan sunatullah, yang harus kita junjung tinggi dan kita hormati keberadaannya.
            Seperti dalam (Qs Al Hujurat:13), Allah SWT telah menyatakan” Wahai para manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki, dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal”. Dari ayat Al Qur’an tadi, itu menunjukan bahwa Allah sendiri lah yang telah menciptakan keberagaman, artinya keberagaman didunia ini mutlak adanya.  Dengan adanya keberagaman ini, bukan berarti mengenggap kelompok, madzab, ataupun keberagaman yang lain sejenisnya mengenggap kelompoknyalah yang paling benar. Yang musti kita ketahui disini adalah, keberagaman sudah ada sejak zaman para sahabat, yaitu ketika Nabi wafat, para sahabat saling mengklaim dirinyalah yang pantas untuk menjadi pengganti Nabi. Dan bahkan sampai saat ini, keberagaman terus berkembang dengan pesatnya, sehingga memunculkan banyak aliran kepercayaan, dan  adanya segolongan kelompok yang menganggap dirinyalah yang paling benar.
            Melihat keberagaman yang terjadi saat ini, Allah SWT. telah memberikan jalan keluar untuk menyikapi keberagaman tersebut, yaitu pandanglah keberagaman sebagai rahmat yang harus disyukuri, dan angaplah keragaman merupakan nikmat dari Allah.  Artinya, dengan adanya keberagaman kita bisa saling mengenal, berdialog, menguji argument, dan saling mempertajam pikiran dalam mengembangkan kehidupan. Karena jika tidak ada keberagaman, agama akan berjalan ditempat, artinya agama akan stagnan dan tidak mempunyai ruang untuk memperluas pengetahuan. Di dalam Al qur’an (Qs Ali Imran:103) telah disebutkan, yang artinya” dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, kalau kita artikan secara literal ayat diatas, maka yang ada keberagaman-keberagaman tidak mendapatkan tempat.
            Keberagaman disini musti kita kasih tempat, artinya keragaman itu pasti ada, dan yang terpenting adalah menempatkan keberagaman ini, supaya dikelola dan di kaji secara baik dan benar, agar tidak menimbulkan perpecahan dan hal-hal yang tidak kita inginkan. Dengan demikian, keragaman akan mengerah kepada menejemen konfik yang disebut dengan”Mutual Enrichment” arttinya, saling mengayakan, memperkaya, dengan kelompok lain, bukan malah saling bertengkar. Karena masing-masing kelompok menginginkan sesuatu hal yang baru yang  belum pernah ia miliki, atau mereka temui. Artinya dengan adanya keberagaman ini, mereka akan saling belajar, bertukar pikiran, dan beradu argument, untuk mencari sebuah kebenaran.
Karena telah kita ketahui bahwa, ilmu Allah ibarat lautan sebagai tintanya, apabila telah habis air lautan tersebut untuk menuliskan ilmu Allah, maka ilmu Allah tidak akan pernah habis, karena sangking banyak dan tidak terbatasnya Ilmu Allah. Dan ilmu Allah diturunkan didunia ini kedalam bentuk yang bermacam-macam, seperti seni, sastra, bahasa dan lain sebagainya. Dan ilmu manusia adalah ilmu yang didapatkan melalui satu orang dari sekian luasnya ilmu Allah, yang memercik kepada bebebrapa orang dan ditangkap oleh beberapa orang dan seterusnya. Artinya jika kita hanya mengendalkan apa yang telah kita dapatkan, dan kita tidak memasukan ilmu yang kita dapat dari rang lain, maka ilmu yag kita peroleh akan sangat sedikit, dan akan sulit sekali untuk menempatkan sebuah kebenaran, karena Ilmu Allah itu sangat luas. Hal yang terpenting dari sekian banyak keragaman yang ada di negri ini, baik itu partai, madzhab, kelompok, aliran, dan sebagainya, adalah menempatkan keberagan  pada posisi yang sebenarnya. Yaitu menempatkan keberagaman sebagi sebuah media untuk mencari sebuah kebenaran. Menurut hemat saya dasar yang menjadikan manejemen konflik adalah” Fastabiqul Khairat” yaitu berkompetisi, dan berlomba-lomba untuk mewujudkan kebaikan dan kemajuan(kh).

Sabtu, 23 Juli 2011

TELAAH SEPUTAR AYAT AL QUR’AN YANG YANG PERTAMA KALI TURUN

      Kajian mengenai ayat Al Qur’an yang pertama kali turun memang tidak dijelaskan secara eksplisit didalam Al Qur’an, bahkan Nabi Muhammad SAW pun tidak menjelaskan secara mendetail mengenai ayat yang pertama kali turun. Tetapi dengan beberapa hadits yang menerangkan ayat yang petama kali turun, dan dengan beberapa Ijtihat para Ulama’, disini akan dijelaskan seputar telaah mengenai ayat Al Qur’an yang pertama kali diturunkan. Dalam ranah Intelektual Akademisi, kajian mengenai ayat yang pertama kali turun masih menjadi perdebatan. Bahkan para Ulama’ dan para penulis lainnya masih mendebatkan tentang ayat Al Qur’an, yang pertama kali diturunkan. Biasanya surat yang masih diperdebatkan, dan mashur dikalangan Akademisi yaitu, QS Al Alaq ayat1-5, QS Al Mudassir, dan yang terakhir QS Al Fatihah, dari ketiga surat ini, kesemuanya diklaim bahwa suat Al Qur’an yang pertama kali diturunkan.
            
Dari surat yang pertama yaitu surat Al Alaq, mereka yang mengklaim bahwa surat ini adalah surat Al Qur’an yang pertama kali diturunkan, mereka di antaranya adalah, Imam Bukhori dan Imam Muslim, mereka mengutip hadits dari Aisyah RA, ia berkata: “Pertama kali wahyu yang diturunkan kepada Nabi adalah berupa mimpi beliau dalam tidur”. Kemudian setelah itu, tidaklah Rosulaulah melihat suatu mimpi pun, kecuali mimpi itu datangnya seperti permulaan waktu subuh. Maka dari situlah, Nabi mulai senang menyendiri (Tahannus), dan tempat beliau bertahannus atau menyendiri adalah di Gua Hira’. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa beliau tingal disana setiap malam yang tidak sedikit jumlahnya. Sampai pada suatu ketika, ia dikagetkan dengan datangnya malaikat Jibril di Gua Hira’ tersebut.
Jibril berkata: Bacalah!......... Rosullaulah menjawab: Saya tidak bisa membaca, kemudian Jibril merangkulnya, dan perintah itu diulanginya sampai ketiga kalinya, hinga Nabi Muhammad benar – benar merasakan kepayahan, hingga akhirnya Jibril memerintahkan lagi untuk membaca, dengan berkata: Bacalah Iqro’ bismi robbikalladhii kholaq’ sampai seterusnya. Sejak kejadian itulah, Rosullaulah kemudian pulang dan menemui siti Khotijah(Istri Nabi). Berdasarkan keterangan inilah, mereka meyakini bahwa ayat AL Qur’an yang pertama kali turun adalah Surat Al Alaq ayat 1-5.
Dan surat yang ke 2 yaitu surat Al Mudassir, mereka yang meyakini bahwa surat Al Qur’an yang petama kali turun adalah surat Al Mudassir, berdasarkan Hadits Bukhori dan Muslim, yang telah diriwayatkan dari Salamah bin Abdurrahman, ia berkata: Saya bertanya kepada Jabir bin Abdillah RA: Apakah ayat yang pertama kali diturunka? Ia menjawab: Surat yang pertama kali turun adalah “ Yaa aiyuhal Mudatsir”, saya berkata: bukankah ayat yang pertama kali diturunkan surat Al Alaq” Iqra’ bismi rabbik”? Lalu Jabir menjawab: kalau kamu tidak percaya, saya akan memberitahumu sebuah Hadits dimana beliau bersabdah: Saya dulu sering tinggal di Gua Hira’ setelah saya sudah tidak tinggal disana, saya pun menuruni lembah yang ada disana. Saya melihat kekanan, kiri, kedepan, dan kebelakang. Setelah itu saya melihat kelangit, rupanya disana ada Jibril, saya pun langsung takut dan gemeteran. Lalu saya mendatangi Khodijah Ra, saya menyuruhnya untuk menyelimuti saya, kemudian turunlah surat “ Yaa aiyuhal Mudatsirr…………….. yang artinya, hai orang-orang yang berselimut.

Adapun untuk mereka yang meyakini surat Al Qur’an yang pertama kali turun adalah surat Al fatihah, mereka diantaranya adalah: Az Zamakhsyari, disini Az Zamakhsyari meyakini bahwa surat yang pertama kali diturunkan adalah surat Al fatihah, di tuangkan dalam karyanya yang berjudul Al- Kasysyaf. Didalam karanya tersebut, Abdullah bin Abbas, dan Mujahid, mereka berdua menegaskan bahwa, surat yang pertama kali turun adalah surat Al Alaq, tetapi kebanyakan Ahli tafsir menyatakan, bahwa surat yang pertama kali turun adalah surat al fatihah. Tidak hanya sampai disitu, mereka yang meyakini bahwa surat yang pertama kali diturunkan adalah surat Al fatihah, mereka memakai dalil hadits sebagai berikut.
Hadits riwayat Al Baihaqi dalam Ad Dalail dan juga AL Wahidiy, dari jalur Yunus bin Bukair, dari Yunus bin Amru, dari Ayahnya, dari Abu Maisaroh, Amru bin Syurahbil bahwa Rasullaulah berkata kepada Khodijah RA: “Jika saya sedang sendirian, saya sering mendengar suara yang memangil-manggil, sampai saya sangat takut, jangan-jangan ini adalah suatu perintah” Khadijah menjawab:  Tidak mungkin, Allah SWT tidak akan berlaku seperti itu kepada engkau, karena engkau adalah orang yang selalu menyampaikan amanah, menyambung tali silaturrahmi, dan selalu berkata jujur.
Kemudian ketika Abu Bakar mendatangi Nabi, Khotijah RA. menceritakan hal yang dialami Nabi tersebut, kemudian meminta Abu Bakar untuk menemani Nabi bertemu Waroqoh, kemudian Nabi menceritakan kejadian kepada Waroqoh. Setelah mendengar cerita dari Nabi, Waroqoh berkata: jika kamu mendengar suara seperti itu lagi, janganlah lari, dan dengarkan apa yang ia katakanan, kemudian kasih tau saya apa yang ia katakana kepadaamu. Kemudian, ketika Nabi Muhammad menyendiri suara itu datang lagi, dan meminta Nabi untuk mengatakan: QS Al Fatihah ayat 1-7. Hadits ini mursal, tapi para perowinya adalah orang-orang yang tsiqoh. Dari sinilah mereka meyakini bahwa surat yang pertama kali di turunkan adalah QS Al Fatihah ayat 1-7. Al Baihaqi berkata: Jika Hadits ini memang benar Hadits Mahfudz (terpelihara), maka kemungkinan besar ini adalah pemberitahuan tentang kapan turunya surat Al Fatihah itu, yang memang turunya QS al Fatihah ini adalah setelah turunya surat Al alaq dan Al mudatsir.
Dari ketiga keteragan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa perkataan Aisyah yang mengatakan:”surat yang pertama kali diturunkan(QS Al mudatsir)” bukan berarti surat yang memang turun pertama kali, tetapi surat yang waktu turunya awal-awal nabi diutus sebagai seorang Rosul, dan jika kita ambil pengertian bahwa maksud dari perkataan Aisyah adalah surat yang turunya diawal-awal risalah, maka benarlah perkataan Aisyah, dan tidak ada pertentangan sedikitpun. Dan untuk surat Al alaq sendiri memang benar merupakan surat yang paling pertama kali diturunkan, yaitu ketika Muhammad di angkat sebagaai nabi. Jadi kalau suarat Al mudatsir awal pertama kali diturunkannya ayat skaligus diangkatnya  Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rossul. Jadi turunnya ayat ini sekaligus diangkatnya Muhammad sebagai seorang Nabi, kalau Al Mudatsir diangkatnya Nabi Muhammad sebagai seorang Rosul. (Kh)

Rabu, 20 Juli 2011

TELAAH SEPUTAR HADITS ALY DAN NAZIL

           Meng-isnadkan suatu hadits, atau mencari sanad suatu hadits merupakan suatu usaha yang urgen dalam bidang perhaditsan. Karena dari sinilah kita akan mengetahui, apakah suatu  hadits yang diriwayatkan tersebut dapat diterima(maqbul) atau tertolak(mardud), karena adanya  noda-noda yang mengakibatkan suatu hadits tersebut tertolak. Dan diantara salah satu sebab yang menjadikan suatu hadits tersebut dapat diterima(maqbul) adalah bila sanad-sanad suatu hadits tersebut saling bertemu dan berakhir  sampai kepada Nabi Muhammad SAW.  dan diantara salah satu sebab yang menjadikan suatu hadits tersebut tertolak(mardud), ataupun tidak diterima haditsnya,  karena sanad suatu hadits tersebut tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
            Bahkah para Ulama’ ahli hadits/muhaditsin, mereka telah bersepakat bahwa meng-isnadkan suatu hadits tersebut adalah sunah ma’akad(sunah yang dikuatkan). Mereka para muhaditsin yang menyatakan bahwa meng-isnadkan suatu hadits adalah sunah mu’akad, karena berdasarkan ucapan Abdullah Ibnu‘l Mubarak yang mengatakan ”Meng-isnadkan suatu hadits itu adalah termasuk ketentuan agama, andaikata suatu hadits tanpa sanad, niscaya orang akan berkata sekehendaknya”. Bahkan dalam suatu riwayat tel;ah disebutkan, yaitu riwayat dari Sufyan bin uyainah dengan Az zuhri, dalam riwayat tersebut, Sufyan pernah meminta hadits dari Az zuhri tampa sanad, kemudian Az zuhri menjawa: “ apakah engkau ingin naik loteng tanpa tangga”. Setelah melihat ta’rif riwayat diatas, maka kita dapat mengetahui bahwa begitu urgennya mengetahui sanad dari suatu hadits.
            Dari sinilah kita akan mengetahu hadits Aly dan hadits Nazil, kalau kita telaah secara etiologi/bahasa, aly berarti tinggi, dan nazil berarti rendah. Sedangkan kalau kita telaah secara arti harfiyahnya, suatu hadits  dikatakan sebagai hadits Aly apabila hadits yang melalui rijalu’s sanad itu sedikit rawinya, karena dengan sedikitnya rawi, akan memperkecil noda-noda yang ada pada sanad, dan riwayat tersebut lebih dekat bersambung dengan Nabi Muhammad SAW.  sedangkan dengan banyaknya rijalu’s sanad pada suatu hadits, tidak menutup kemungkinan adanya noda yang bisa merusak keshohihan dari suatu hadits. Adapun pengertian dari hadits Nazil adalah, hadits yang melalui jalur rijalus sanadnya lebih banyak, atau rawi yang meriwayatkan suatu hadits lebih banyak dibandingkan dengan hadits Aly, dengan ta’rif hadits Nazil yang telah disebutkan sebagaimana diatas, hadits nazil bisa juga disebut sebagai kebalikan dari hadits Aly.
Berkaitan dengan sedikit atupun banyaknya rawi yang meriwayatkan kedua hadits tersebut, syarat yang lain adalah hadits tersebut harus dinilai shohih, dan bukan hadits dhoif, dan rawi-rawi yang meriwayatkan bukan orang-orang yang tertuduh dusta. Karena suatu hadits meskipun sanadnya sedikit, tetapi hadinya dhoif, maka hadits tersebut tidak bisa dikatakan sebagi hadits Aly. Dari sinilah maka kita bisa mengetahui bahwa suatu hadits dinilai sebagi hadits Aly(tinngi), bukan saja dilihat dari sedikinya sanad, tetapi keshohihan hadits juga diperhatikan. Pembahasan yang selanjutnya yaitu klasifikasi dari hadits Aly.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Fatchur Rahman dalam bukunya”Ikhtisar Musthalahul Hadits”, dalam bukunya tersebut, dia membagi hadits Aly kedalam 5 kelompok. Dianrara 5 kelompok tersebut diantaranya adalah Aly mutlak, Aly nisby, Aly tanzil, Aly bitaqdimil  wafat, dan Aly bitaqdimis sama’. Kita mulai dari yang pertama yaitu Aly mutlaq, definisi mengenai Aly mutlaq adalah sebagaimana yang telah dikemukakan diats, yaitu suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang sedikit, dan lebih dekat bersambungnya kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun pengertian dari Aly nisby adalah ukuran sedikitnya rawi yang meriwayatkan tidak dilihat dari disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. meleinkan kepada para imam-imam hadits yang mempunyai sifat yang lebih tinggi mengenai kehafalannya, kedhabitannya, dan kemashurannya.
Sedangkan pengertian dari Aly tanzil adalah ukuran dekatnya dilihat bukan dari kedekatannya riwayat tersebut sampai kepada nabi atupun imam-imam hadits, melainkan ukuran dekatannya dilihat dari kitab-kitab yang mu;tanad. Adapun pengertian dari Aly bitaqdimil wafat adalah suatu hadits yang dilihat kedekatannya berdasarkan  wafatnya seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadits. Sedangkan pengertian dari Aly bitaqdimis sama’ adalah suatu hadits yang ukuran kedekatannya dilihat berdasrkan riwayat orang yang meriwaytkan lebih dahulu mendengarnya dari seorang guru, daripada hadits yang diriwayatkan oleh kawannya yang mendengar kemudian dari guru tersebut.
Setelah mengetahu ta’rif seperti yang telah didemonstrasikan diatas, baik mengenai isnad dan hal-hal yang berhubungan dengan isdad, baik itu Aly ataupun Nazil. Dari sini maka kita bisa ambil kesimpulan bahwa meng-isnadkan suatu hadits adalah usaha yang sangat urgen dibidang perhaditsan, dan meng-isnadkan hadits juga termasuk dalam ketentuan agama. (kh)


TELAAH SEPUTAR ASBAB AL NUZUL

        Ayat-ayat Al Qur’an jika ditinjau dari sebab diturunkannya, maka terbagi menjadi 2 kelompok. Sekelompok ayat diturunkan karena disangkutkan dengan suatu sebab khusus, dan kelompok lainnya diturunkan tanpa dihubungkan dengan suatu sebab secara khusus.  Dari kelompok yang pertama ini tidak banyak jumlahnya, tetapi kelompok ini mempunyai pembahasan khusus dalam Ulumul Qur’an.  Pembahasan tersebut dinamakan Asbab al-nuzul, pembahasan tersebut diantaranya meliputi antara lain: pengertian asbab al nuzul, fungsi asbab al nuzul, riwayat asbab al nuzul, kualifikasi riwayat/hadits yang meriwayatkannya, jenis-jenis asbab al nuzul, dan kaidah-kaidah asbab al nuzul yang berfokus pada hubungan antara riwayat dan bentuk redaksi yang digunakan ayat-ayat ber-sabab nuzul.
            Dimulai dari yang pertama yaitu pengertian asbab al nuzul, kalau kita telaah secara etimologi/bahasa, kata asbab(tunggal/sabab)berarti sebab atau alasan. Jadi asbab al nuzul merupakan suatu disiplin ilmu pengetahuan yang menerangkan atau mengkaji tentang sebab-sebab diturunkannya suatu ayat. Sedangkan menurut Al zarqani, asbab al nuzul adalah” suatu kejadian yang menyebabkan diturunkannya satu atau beberapa ayat, atau suatu kejadian yang bisa dijadikan sebagai petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat”. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Shubhi Al Shalih, “suatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, yang dimana ayat tersebut memberikan jawaban atas hal itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu”.
            Unsur-unsur yang musti diketahui perihal asbab al nuzul adalah adanya suatu kasus, atau peristiwa yang menyebabkan ayat tersebut diturunkan, dan ayat-ayat tersebut digunakan untuk memberikan jawaban ataupun penjelasan terhadap kasus itu. Jadi, dalam pembahasan asbab al nuzul, ada beberapa unsur yang tidak boleh diabaikan. Diantara unsur-unsur tersebut diantaranya adalah, adanya suatu kasus atau suatu peristiwa, adanya pelaku peristiwa, adanya tempat peristiwa, dan adanya waktu peristiwa. Jika yang dimaksud sabab al nuzul diatas adalah hal-hal yang menyebabkan ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan, maka semua ayat-ayat dalam Al Qur’an mempunyai sabab al nuzul. Kareana semua ayat-ayat dalam Al Qur’an diturunkan untuk mentransformasikan umat Nabi Muhammad dari situasi yang lebih buruk ke situasi yang lebih baik menurut ukuran Tuhan. Kondisi objektif inilah yang menyebabkan ayat-ayat Al Qur’an diturunkan.
Pembasan selanjutnya yaitu, fungsi memahami sabab al nuzul, diantara fungsi memahi  sabab al nuzul sangat banyak sekali, seperti yang telah dikatakan sorang Ulama’ klasik dalam bidang ini, yaitu Al wahidi, “pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat tidak mungkin, jika tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang peristiwa dan penjelasan yang berkaitan dengan sebab diturunkannya suatu ayat. Dari sekian banyak fungsi memehami sabab al nuzul, diantaranya adalah, memahami hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, suku, jenis kelamin dan agama. Mengetahui sabab al nuzul juga membantu memahami kejelasan terhadap beberapa ayat. Memahami sabab al nuzul juga dapat mengkhususkan (takhshis) hukum terbatas pada sebab, terutama para Ulama’ yang menganut kaidah “ sebab Khusus”. Diantara dari ketiga fungsi memahami sabab al nuzul diatas, yang terpenting untuk diketahui adalah memahami sabab al nuzul dapat membantu memehami apakah suatu ayat tersebut berlaku umum atau berlaku khusus.
Setelah mengetahui fungsi dari sabab al nuzul dari pengertian diatas, pembahasan selanjutnya yaitu mengenai cara-cara untuk bisa mengetahui sabab al nuzul. Sabab al nuzul bisa kita ketahui salah satunya adalah melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad bisa dijadikan pegangan, karena riwayat yang bisa dijadikan pegangan haruslah mempunyai syarat-syarat tertentu, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para Muhaditsin. Secara khusus riwayat dari asbab al nuzul adalah riwayat dari seseorang yang terlibat langsung dan menyaksikan peristiwa yang diriwayatkannya(yaitu pada saat wahyu itu diturunkan). Adapun mengenai riwayat yang berasal dari seorang tabi’in yang tidak merujuk pada Nabi Muhammad dan para sahabat, maka riwayat tersebut tertolak(dha’if), dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Oleh karena itu, kita harus mempunyai pengetahuan tentang siapa yang meriwaytkan peristiwa tersebut, dan pada waktu itu ia memang benar-benar menyaksikannya, dan kemudian siapa yang menyampaikan kepada kita.
Masih pembahasan seputar sabab al nuzul yang selanjutnya yaitu, jenis-jenis riwayat sabab al nuzul. Adapun jenis-jenis sabab al nuzul disini terbagi menjadi 2 kategoriyaitu: riwayat yang pasti dan tegas, dan riwayat yang tidak pasti(mumkin). Kategori yang pertama, para periwayat dengan tegas menunjukan bahwa peristiwa tersebut diriwayatkannya benar-benar berkaitan erat dengan sabab al nuzul. Sedangakan kategori yang kedua(mumkin), para periwayat tidak menceritakannya dengan jelas bahwa peristiwa tersebut erat kaitannya dengan sabab al nuzul seperti kategori yang pertama, tetapi hanya menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan dengan sabab al nuzul tersebut.
Adapun jenis-jenis dari sabab al nuzul disini memang banyak sekali, diantara dari sekian banyak jenis-jenis sabab al nuzul  yang telah diketahuai, diantaranya adalah: sabab al nuzul sebagai tanggapan atas suatu peristiwa umum, sabab al nuzul juga sebagai tanggapan atas peristiwa khusus, disamping sabab al nuzul sebagai tanggapan atas peristiwa yang umum dan khusus, sabab al nuzul juga sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi, dan sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang dilontarkan kepada kepada Nabi, seperti turunya (Qs An nisa:11). Yang artinya”Allah menyariatkan bagimu tentang pambagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka adalah dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak itu seorang perempuan saja, maka ia memperoleh separuh harta yang ditinggalkan. Dan untuk masing-masing 2 orang ibu, dan bapak, maka bagi mereka seper enam dari harta yang ditinggalkan. “
Ayat diatas turun secara khusus, dan memberikan jawaban secara tuntas  berkaitan dengan pertanyan sahabat Jabir. Sebagaimana diriwayatkan oleh jabir yang artinya”Rasulllaulah datang bersama Abu Bakar, berjalan kaki mengunjungiku(karena sakit) diperkampungan banu salamah. Rasullaulah menemukanku dalam keadaan tidak sadar, sehingga Nabi meminta untuk disiapkan air, kemudian berwudhu, dan memercikan sebagian pada tubuhku. Lalu aku sadar, dan bekata : Ya Rasullaulah, Apakah yang Allah perintahkan bagiku, berkenaan dengan harta yang aku miliki?”. Maka turunlah ayat di atas.
Pembahasan yang terakhir yaitu, pandangan Ulama’ perihal sabab al nuzul. Dari berbagi pandangan Ulama’ mengenai sabab al nuzul, ini menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan Ulama’, atau istilahnya terjadi kontradiksi dikalangan Ulama’. Dari sebagian Ulama’memandang penting keberadaan riwayat sabab al nuzul didalam memahami suatu ayat. Dilain pihak, para Ulama’ tidak menaruh perhatian khusus terhadap kedudukan sabab al nuzul, mereka para Ulama’ yang kontra terhadap sabab al nuzul, mereka tidak memberikan keistemewan terhadap sabab al nuzul, karena mereka memandang yang terpenting bagi mereka adalah apa yang tertera dalam redaksi ayat. Kemudian mereka menetapkan suatu kaidah yang artinya“ Yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafal, bukan kekususan sebab”, kemudian dari mereka para Ulama’ yang memandang penting riwayat-riwayat sabab al nuzul, mereka membantah kaidah yang dikeluarkan oleh para mereka yg tidak mendukung riwayat sabab al nuzul, dengan mengemukakan kaidah” yang dijadikan pegangan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal”.
Seperti turunnya (Qs al Maidah:38) yang artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”. Ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah perhiasan yang dilakukan sejumlah orang yang terjadi pada masa Nabi. Tetapi ayat ini menggunakan lafal Am(umum), yaitu isim mufrat yang di ta’rifkan dengan Alif Lam(al jinsiyah). Mayoritas Ulama’ memahami ayat ini berlaku umum, tidak hanya tertuju kepada yang menjadi sebab turunnya ayat saja.
Jika hanya berpegang kepada redaksi ayat,  maka hukum yang difahami dari ayat tersebut adalah hukum potong tangan hanya dilakukan kepada seorang pencuri pada zaman Nabi saja, tetapi maksud dari redaksi ayat ini, hukuman potong tangan bukan hanya dilakukan pada zaman Nabi saja, tetapi hukuman potong tangan bisa dilakukan pada zaman sekarang kepada para pencuri yang melakukan pencurian. Karena Alif lam(al jinsiah) ini mempunyai makna umum yang tidak hanya tertuju pada yang menjadi turunnya ayat tersebut. Setelah mengetahui ta’rif sabab al nuzul,  mulai dari pengertian sampai polemik sekitar sabab al nuzul dikalangan Ulama’. Maka ada benang merah yang dapat ditarik, sabab al nuzul itu penting diketahui, karena pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat, tidak mungkin bisa diketahui jika tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang peristiwa dan penjelasan yang berkaitan dengan diturunkannya sutau ayat,/sabab al nuzul (kh)

Selasa, 19 Juli 2011

TELAAH 40 HADITS IMAM KHUMAINI

            Ruhullah Imam Khumaini yang telah kita kenal sebagai revolusioner Islam Iran, merupakan seseorang yang fasih dibidang Akhlak dan Irfani.
Kefasihannya dibidang Irfani dapat kita lihat pada tulisan - tulisan ruhullah Imam Khumaini, salah satu tulisannya dibidang irfani yang dapat kita lihat sampai saat ini adalah “40 hadits: Telaah hadits Mistis dan Akhlak”, dalam penulisannya, ruhullah Imam Khumaini bersandar pada hadits” Barang siapa mengutarakan 40 hadits(dalam bentuk hafalan) kepada umatku sehingga ia memperoleh manfaat darinya, kelak pada hari kiamat Allah akan membangkitkannya sebagi seorang yang faqih(penuh pemahaman)lagi alim”, judul asli dari tulisan ini adalah “Syarh – I Chihil hadts”, selesai ditulis pada tahun 1939 ketika penulisnya berusia 37 tahun.
Dalam pembahasannya, penulis membahas 40 hadits yang berkenaan dengan masalah- masalah Tauhid, Akhlak dan Mistis.
            Dalam kaitannya dengan tulisan tersebut, penulis lebih menekankan pada penyucian diri(Tazkiyat al Nafs) atau jihat al Nafs, karena Tazkiyatal Nafs lebih susah dan lebih berat dari pada jihad dijalan Allah (Perang melawan musuh Allah).
Ketika Rasul SAW melihat pasukan yang kembali dari sebuah peperangan, beliau besabda” selamat datang wahai orag – orang yang telah melaksanakan jihad kecil, dan masih tersisa bagi mereka jihad akbar”ketika orang – orang itu bertanya tentang makna jihad Akbar itu, Rasul menjawa” Jihad melawan diri sendiri(Jihad al Nafs).
            Dari hadits diatas kita dapat mengetahui bahwa jihad melawan diri sendiri itu sangat susah dan berat, dan oleh sebab itu musti dengan latihan, dan yang musti kita ketahu dari hadits di atas, bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna yang memiiki 2 dimensi dan 2 alam, 2 dimensi tersebut adalah dimensi fisik(mulki) dan duniawi yaitu tubuhnya, dan 2 alam tersebut adalah alam batin/dimensi yang gaib dan alam malakut dari alam lain.
Jiwa manusia yang berasal dari alam ghaib dan malakut memiliki  beberapa maqom dan derajad, beberapa maqom dan derajad tersebut biasanya berjumlah 7,4, atau hanya 2, dan dari masing -  masing derajad tersebut terdapat 2 pasukan khusus, pasukan tersebut adalah pasukan Ilahi/ Aqlani dan pasukan Syaitan dan bala tentaranya, pasukan Ilahi ini akan menarik kearah tertinggi dan mengajaknya kepada kebahagian, sedangkan pasukan Sayaitan dan bala tentaranya ini akan menarik kearah yang terendah dan mengajaknya kepada kesensaraan.
Diatara kedua pasukan ini selalu terjadi pertentangan dan pertempuran, dan manusia merupakan arena pertempuran kedua pasukan tersebut, bila pasukan Ilahi yang memperoleh kemenangan maka manusia akan memperoleh kebahagian tertinggi dan rahmat, dan akan bergabung dengan para malaikat,  serta kelak akan dibangkitkan dalam kelompok para nabi, para wali, dan orang – orang sholeh, akan tetapi bila pasukan Syaitan dan bala tentaranya yang memperoleh kemenangan, maka manusia akan memperoleh kesengsaraan, kemarahan, dan kelak akan dibangkitkan dalam kelompok para syaitan, orang – orang kafir dan orang - orang gagal.
            Dari keterangan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Ruhullah Imam Khumaini dalam pembahasannya lebih menekankan pada ilmu kebathinan dari pada sekedar pengertian ataupun definisi yang hanya menjelaskan makna dan pengertian tanpa menghadirkan hati yang hanif kedalam diri kita.(kh)

Senin, 18 Juli 2011

KLASIFIKASI HADITS AHAD KEPADA SHAHIH, HASAN, DHAIF

          Seperti yang telah kita ketahui, Hadits Ahad merupakan macam dari hadits jika ditinjau dari segi banyak  atu sedikit rawi yang meriwayatkan suatu hadits. Karena Hadits jika ditinjau dari segi banyak  atau sedikit rawi yang meriwayatkan, hadits tersebut terbagi menjadi 2 macam,  yaitu: Hadits Mutawatir dan Hadits Aziz.  Hadits Mutawatir sebagaimana yang telah kita ketahui, meruakan hadits  yang memberikan faidah “ yaqin bil qath’I”(sepositif-positifnya), bahwa nabi Muhammad SAW. benar-benar bersabdah, berbuat atau menyatakan ikrar(persetujuan) didepan para sahabatnya, berdasarkan sumber-sumber yang banyak kita ketahui, yang mustahil mereka mengadakan persepakatan untuk berkata dusta. Melihat ta’rif Hadits mutawatir yang sudah sedemikian ketat, dan melihat sumber-sumber yang sangat meyakinkan akan kebenarannya, maka untuk menelaah dan mendeteksi akan identitas para perowinya dirasa tidak perlu. Berlainan dengan Hadits Ahad, yang masih memberikan faidah “dhanny”(prasangka yang kuat akan kebenarannya). Hal tersebutlah yang menjadikan kita mengadakan penelitian mengenai rawi-rawi yang meriwayatkan Hadits Ahad tersebut, supaya Hadits tersebut dapat diterima sebagai hujjah, atau ditolak, bila ternyata terdapat cacat-cacat yang mengakibatkan Hadits tersebut ditolak sebagi hujjah. Adapun pembagian Hadits Ahad sendiri terbagi menjadi 3 yaitu: shahih, hasan, dan dha’if.
            Dimulai dari yang pertama yaitu Hadits Shahih, seperti yang telah dikemukakan para Muhaditsin mengenai ta’rif hadits shahih yaitu Hadits yang dinukil/diriwaytkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung, tidak terdapat Illat(cacat), dan tidak jangal haditsnya. Setelah mengethaui ta’rif hadits shahih seperti yang telah disebutkan para Muhaditsin diatas, maka ada syarat yang bisa menjadikan suatu hadits supaya dapat digolongkan kedalam hadits yang shahih. Adapun  syarat-syarat tersebut, diantaranya adalah: rawinya bersifat adil, sempurna ingatannya, sanatnya bersambung, tidak terdapat cacat/illat, dan tidak janggal. Salah seorang Muhaditsin (Ibnu’s Shalah) berpendapat, syarat-syarat tersebut merupakan syarat-syarat yang telah disepakati oleh para Muhaditsin.
           

Pengertian dari adil pada pengertian hadits shahih di atas adalah seperti yang telah diungkapkan oleh Ar razi, menurutnya, adil adalah mengerahkan seluruh tenaga jiwa guna untuk selalu bertaqwa, meninggalkan  dosa-dosa besar, dan berusaha menjauhi dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-erbuatan mubah yang dapat menghilangkan keperwiraan(muru’ah). Syarat yang selanjutnya untuk hadits shahih adalah, perawi yang dhabith, dhabith atau kuat ingatannya dalam artian disini maksutnya ingatannya lebih kuat daripada lupanya, dan kebenaranya lebih banyak dilakukan dari pada berbuat salah. Adapun dhabith didsini terbagi menjadi 2 yaitu: dhabith shadri dan dhabith kitab. Pengaertian dari dhabith shadri disini adalah seorang yang mempuyai ingatan yang kuat, sejak dari dia menerima sampai ia meyalurkannya kepada orang lain, dan ingatannya itu dapat ia keluarkan kapan saja dan dimana saja ia kehendaki, maka ini dinamakan dhabith shadri. Adapun yang dinamakan dengan dhabith kitab adalah seorang yang mempunyai ingatan yang kuat, tetapi ingatannya itu tidak sekuat dhabith shadran, adapun kalau dhabith kitab, dia menyampaikan berita itu berdasarkan catatan, dan tidak bisa dikeluarkan kapan saja seperti dhabith shadran.
            Syarat yang selanjutnya dari Hadits shahih adalah sanadnya bersambung, artinya sanadya selamat dari keguguran rawi. Dengan kata lain, bahwa setiap rawi yang meriwayatkan dapat saling bertemu, dan langsung menerima dari guru yang memberinya hadits. Kemudian syarat yang selanjutnya yaitu rawinya selamat dari illalul hadits, ilalul hadits adalah suatu penyakit yang yang secra dhahir selamat dari cacat, tetapi pada hakikatnya terdapat penyakit yang dapat menodai suatu hadits. Syarat yang terakhir dari hadits shahih adalah terhindar dari kejanggalan matan(redaksi hadits), artinya kejanggalan itu teletak pada suatu hadits disebabkan adanya suatu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul(yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang lebih rajih(kuat) dari padanya, disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad atau rawi atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
Adapun klasifikasi dari hadits shahih terbagi menjadi 2 yaitu shahih lidhatih dan hasan lighairih. Adapun pengeertian dari shahih lidhatih adalah seperti yang telah disebutkan diatas yaitu suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, kuat ingatannya, bersambung sanandnya tidak terdapat illat didalamnya dan terhindar dari kejanggalan matan. Sedangkan kalau hadits shahih lighairih adalah suatu hadits yang  turun derajdnya dari hadits shahih lidhatih, disebabkan kehdabitan seorang rawi yang kurang sempurna, dan kedudukannya turun menjadi hadits shahih lighairih.
            Klasifikasi hadits Ahad yang selanjutnya atau yang kedua adalah hadits Hasan. Definisi Hadits hasan adalah seperti yang dikemukakakn oleh Jumhurul Muhaditsin,  Hadits hasan yaitu suaatu Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang adil, tetapi tidak begitu kuat ingatannya seperti hadits shahih, serta bersambung sanatnya dan tidak terdapat illat dan kejanggalan dalam matannya(redaksi hadits). Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan juga terbagi menjadi 2 yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairihi. Definisi hadits hasan lidhatih adalah seperti yang telah disebutkan diatas, suatu hadits yang memenuhi syarat-syarat dari hadits hasan yaitu rawinya adil, ingatannya tidak begitu kuat, sanadnya bersambung, tidak terdapat illat, dan redaksi haditnya (matan) tidak terdapat kejaggalan. Sedangkan definisi dari hadits hasan lighairih adalah hadits dhaif  yang disebabkan bukan karena rawinya pelupa,  banyak salah dan fasik, yang mempunyai mutabi’ atau syahid.
            Klasifikasi hadits Ahad selanjutnya atau yang terakhir adalah Hadits Dhaif, definisi dari hadits Dhaif adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Fachur Rahman, dalam bukunya “Ikhtisar Musthalah Hadits”. Dalam bukunya tersebut, dia memberikan ta’rif mengenai “Hadits Dhaif yaitu suatu Hadits yang telah kehilangan salah satu syarat dari hadits shahih atau hadits hasan”. Adapun pembagia atau klasifikasi hadits dhoif sendiri terbagi menjadi 3 bagian  yaitu: Dhaif berdasarkan kecacatan rawinya, Dhaif berdasarkan gugurnya rawi, dan Dhaif berdasarkan sifat matannya.
Fathur Rahman dalam bukunya “ Ikhtisar Musthalah Hadits”, telah mengemukakan bahwa pembagian Hadits Dhaif berdasarkan kecacatan rawi yang meriwayatkan, terbagi menjadi 12 hadits sebagai berikut: hadits maudlu’, matruk, (mungkar dan ma’ruf), muallal, mudraj, maqlub, mudltharrib, muharraf, mushahhaf, (mubham, majhul, dan matsur), (syadz dan mahfudz), dan hadits mukhtalif. Kemudian hadits Dhaif jika ditinjau dari segi gugurnya rawi, maka hadits tersebut terbagi menjadi 5 macam yaitu: hadits muallaq, mursal, mudallas, munqhati’ dan hadits mu’dhol. Adapun macam yang selanjutnya yaitu hadits Dhaif jika ditinjau dari segi sifat matannya(redaksinya), maka hadits tersebut terbagi menjadi 2 yaitu: hadits mauquf, dan hadits maqthu’.
Setelah mengetaui definisi  serta klasifikasi dari hadits Ahad seperti yang telah didemonstrasikan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa,  hadits Ahad merupakan salah satu  cabang dari hadits jika dilihat dari segi banyak ataupun sedikit rawi yang meriwayatkannya. Dan hadits Ahad sendiri terbagi menjadi 3 bagian yaitu: hadits shahih, hasan, dan dhaif. Adapun klasifikasi selanjutnya yaitu hadits shahih terbagi menjadi 2 yaitu shahih lidhatih, dan shahih lighairih, dan begitupun juga  dengan hadits hasan yang terbagi menjadi 2 yaitu, hasan lidhatih, dan hasan lighairih.
Sedangkan hadits dhaif ini sendiri terbagi menjadi banyak sekali ragamnya, karena hadits ini bisa kita kaji dari berbagi perspektif, kalu kita kaji dari perspektif berdasarkan cacatnya seorang rawi yang meriwayatkan, maka hadits ini terbagi menjadi 12 hadits,  seperti yang telah disebutkan diatas. Adapun kalau kita kaji dari perspektif gugurnya seorang rawi yang meriwayatka, maka hadits ini terbagi menjadi 5, seperti yang telah disebutkan diatas. Sedangkan perspektif yang terakhir dalam menkaji sebuah hadits dhaif yaitu berdasarkan sifat matannya(redaksinya), maka hadits ini terbagi menjadi 2 yaitu: hadits mauquf dan hadits maqthu’. (kh)
           
           

TELAH SEPUTAR NASIKH DAN MANSUKH

         Telaah seputar Nasikh dan Mansukh merupakan salah satu pembahasan dalam Ulumul Qur’an, dimana dalam pembahasan Nasikh dan Mansukh ini masih menuai kontradiksi.  Dari sebagian golongan ada yang mengatakan bahwa Nasikh dan Mansukh itu tidak ada. Terjadinya kontradiksi seputar Nasikh dan Mansukh ini akan menembah khazanah ke Islaman, dan memperluas cakrawala keilmuan kita. Karena disamping kita mengetahui Nasikh dan Mansukh dari segi Ulumul Qur’an, kita juga bisa mengetahui Nasikh dan Mansukh dari berbagi aspek yang ada. Oleh sebab itu terjadinya kontradiksi seputar Nasikh dan Mansukh mutlak terjadi, dan yang terpenting dari perbedaan tersebut bukanlah menganggap pendapat yang paling benar, tetapi bagaimana kita bisa menyatukan berbagi perbedaan tersebut sehingga saling bersinergi dan saling menguatkan antara pendapat satu dengan pendapat yang lain. Tentunya dalam menyatukan berbagi pendapat yang berlainan tersebut, haruslah memakai kaidah-kaidah yang dibenarkan oleh syara’, supaya pengertian Nasikh dan Mansukh tersebut tidak menjadikan kontradiksi lagi.
            Telaah seputar Nasikh dan Mansukh, sebenarnya merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas dan menelaah seputar ayat-ayat Al Qur’an yang dihapus dan ayat-ayat Al Qur’an yang menghapus.  Karena hampir semua Ulama’ menamakannya dengan ilmu Nasikh dan Mansukh. Dimulai dari pengertia Mansukh, Kalau ita telaah secara etimologi/bahasa, ini akan memunculkan wacana yang banyak sekali, diantara wacana yang banyak tersebut, dan yang dianggap sesuai dengan pengertian arti terminologi/istilah adalah”At Tagghyir wal Ibthaal wa Iqaamatisy Sya’I Maqaamahu”(mengubah dan membatalkan sesuatu yang lain sebagai gantinya).
            Karena inti dari pembahasan Nasakh secara terminologi/istilah, merupakan mengganti atau mengubah/membatalkan hukum syara’/peraturan, dengan cara membatalkan hukum syara’/peraturan yang pertama, diganti dengan hukum syara’/peraturan yang baru, yang berlainan ketentuan hukumnya.  Sedangkan pengertian dari Mansukh  dalam pengertian etimologi/bahasa adalah sesuatu yang dihapus/dihilangkan, dipindah, ataupun disalin/dinukil. Adapun Mansukh dalam pengertian terminologi/istilah, adalah dalil/hukum syara’ yang diambil dari hukum syara’ yang pertama yang telah dihpuskan oleh hukum syara’ yang baru, atau yang datangnya belakangan. Singkat kata, Mansukh merupakan ketentuan hukum  syara’ yang pertama yang telah dihapuskan oleh hukum syara’ yang baru, disebabkan oleh perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penghapusan hukum tersebut.
            Kalau kita telaah secara menyeluruh, pembahasan Nasakh(yang menghapus) dan Mansukh(yang dihapus), tidak hanya berkutat pada pembahasan ayat yang menghapus(nasakh), dan ayat yang dihapus(mansukh)saja,  Karena itu kita perlu membahas Nasakh, Nasikh, dan Mansukh. Nasikh kalau kita lihat dari pengertian etimologi/bahasa, merupakan sesuatu yang menghapuskan, atu menghilangkan, atau memindahkan, mengganti dan mengubah. Kalu kita lihat, pengerian nasikh disini hampir sam dengan pengertian Nasakh, bedanya kalau Nasikh adalah isim Fa’il(pelaku), sedangkan Nasakh masdar (objeknya).
            Adapun kalau Nasikh kita telaah secara terminologi/istilah, merupakan hukum syara’ yang menghapuskan, mengubah, dalil syara’ yang terdahulu, dan menggantinya dengan ketentuan dalil atau hukum syara’ yang baru. Dalam pengertian Nasikh secara terminologi tersebut, ada pendapat yang mengatakan bahwa Nasikh ini adalah Allah SWT. Seperti yang telah diungkapkan oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. dalm bukunya yang berjudul “Ulumul Qur’an”. Dalam bukunya tersebut, tepatnya dalam bab Nasikh dan Mansukh, Dia menggukapkan bahwa Nasikh adalah Allh AWT. Artinya, bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum syara’ tersebut, pada hakikatnya adalah Allah SWT, tidak ada yang lain. Karena semua hukum syara’ itu datangnya hanya dari Allah SWT, dan tidak dapat dirubah/diganti oleh orang lain. Definisi seperti ini, sejalan dengan firman Allah dalam (QS Al An’am:57). Yang artinya:”Sesungguhnya tidak ada hukum selain dari Allah”.
            Setelah mengetahui pengertian Nasakh, Nasikh  dan Mansukh seperti yang telah didemonstrasikan diatas, maka ada benang merah yang dapat kita tarik, bahwa pembahasan Nasakh dan Mansukh dalam Al Qur’an tidak hanya berkutat pada ayat yang menghapus(nasakh), dan ayat yang dihapus(mansukh) saja. Pembahasannya juga harus melibatkan Nasikh(yang menghapus) hukum, yaitu Alla SWT. Karena semua hukum syara’itu datangnya dari Allah, dan tidak ada seorangpu yang bisa menggantikannya. Dan terjadinya kontradiksi seputar Nasakh dan Mansukh itu mutlak terjadi, melihat begitu banyaknya ta’rif yang menjelaskan seputar hal tersebut. Terjadinya kontradiksi tersebut,  bukan berarti antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain saling bertentangan dan tidak dapat disatukan. Timbulnya perbedaan pendapat tersebut akan menambah kebendaharaan ilmu kita, dan akan menambah khazanah ke Islaman. Terjadinya kontradiksi seputar Nasakh dan Mansukh itu mungkin karena masih minimnya kita dalam menelaah Nasakh dan Mansukh, dan masih terbatas oleh pengetahuan yang kita miliki. Tetapi pada prinsipnya terjadinya kontradiksi tersebut mempunyai tujuan dan pengertian yang sama yaitu sama-sama mencari sebuah kebenaran, dan kebenaran itu mutlak diperoleh.(kh)