Rabu, 21 September 2011

RUANG LINGKUP PENGERTIAN AGAMA

Menurut para Ahli ilmu pengetahuan sosial, berdasarkan studi yang mereka lakukan perihal mengenai Agama, bahwasannya Agama menurut mereka merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Meskipun hal terebut tidak dibenarkan oleh sarjana-sarjana teologi seperti halnya Islam, Kristen dan Yahudi. Anggapan bahwa Agama merupakan bagian dari kebudayaan manusia, itu merupakan hasil pemikiran studi yang mereka lakukan berdasaran ilmu-ilmu sosial budaya seperti Sosiologi, Antropologi, dan Etnologi dan ilmu-ilmu yang lain. Dan ilmu-ilmu itulah yang menjadi tolak ukur mereka dalam berfikir.
            Dan pernyataan bahwasannya Agama merupan bagian dari kebudayaan, bukanlah pernyataan yang salah. Karena Agama sendiri merupakan elemen terpenting dalam sejarah kehidupan manusia, yaitu mulai dari zaman dahulu, hingga zaman modern seperti sekarang. Kalau kita lihat dari zaman dahulu, zaman pra sejarah hingga zaman modern saat ini, maka Agama dapat kita lihat dari 2 segi yakni : Bentuk, dan isinya. Apabila Agama kita lihat dari segi bentuknya, maka agama dapatlah kita pandang sebagai kebudayaan batin manusia, yang didalamnya terdapat potensi psikologis, yang akhirnya dapat mempengeruhi jalan hidup manusia.
            Sedangkan kalau Agama kita lihat dari isinya, maka agama berisi seputar ajaran-ajaran dan wahyu yang datangnya dari Tuhan. Dan terkhusus hanya untuk inilah yang tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari kebudyaan, tetapi akan lebih tepatnya sebagai agama-agama revilasi(wahyu), yang ada pada masing-masing manusia, atau adanya sentimen atau adanya perasaan kemasyarakatan dalam kehidupan manusia. Bahkan menurut Agama revilasi(wahyu) sendiri, bahwa agama telah diturunkan oleh Tuhan, karena manusia sangat membutuhkannya dalam menegarungi proses kehidupannya, demi untuk memperoleh pedoman dan pengarahan yang benar, agar tidak terjerumus dalam jurang kesesatan.
            Apabila Agama telah berfungsi dalam kehidupan sosial masyarakat manusia, maka sesuai dengan sosial cultural masyarakat tersebut, terkhusus bagi masyarakat modern yang pluralitas(serba ganda) dalam sosial cultural, maka demi keberlangsungan keberadaban umat manusia, maka sudah barang tentu, sifat toleran dan kooperatif dalam kehidupan sosial budaya narus terwujud dalam masyarakat tersebut, dan didorong dengan manusia sebagai makhluk sosial(homo sosius) itu sendiri, dan manusia sendiri tidak terlepas dari dorongan “naturaliter religiosa” (nalui hidup keagamaan).
            Dalam aspek inilah, maka para peneliti, dan sarjan ilmu pengetahuan sosial berasumsi bahwa agama mutlak dibutuhkan oleh manusia, dan mayarakat. Sebagaimana terbukti dalam penelitian sejarah perkembangan ilmu pengetahuan sosial, yang dilakukan oleh sementara ahli, seperti sosiologi dan antropologi. Dan diantara hasil studi yang mereka lakukan diantaranya adalah dalam bidang sosiologi, misalnya E. Durkeheim, yang berpendapat bahwa Agama merupakan gejala masyarakat. Adanya agama karena adanya masyarakat, sebagaimana bahasa merupan gejala masyarakat. Dengan kata lain, bilamana ada agama, kebudayan dan bahasa, maka sudah pasti disitu ada masyarakat. karena itu semua merupakan manifestasi dari jiwa budaya masyarakat. Dengan demikian, maka Agama merupakan produk kebudayaan masyarakat dari itu sendiri, yang merupakan kekayaan batin yang dirumuskan oleh masyarakat itu sendiri. Dan dari sinilah akhirnya terjadi kecenderungan para ahli studi agama untuk menetapkan klasifikasi agama menjadi 2 bagian yaitu: agama Samawi dan agama Wadh’y(agama wahyu dan bukan wahyu).
            Diantara  hasil studi mereka yang lain adalah, Agama telah ada serupa denga umurnya masyarakat. Artinya masyarakat manusia dari zaman ke zaman senantiasa memiliki agama. Dan pendapat seperti ini merupakan pendapat yang logis, karena dari segi sosiologis, antropologis, dan cultural, sebuah agama tidak aka ada tanpa adanya masyarakat. Sekarang yang jadi persoalan kita adalah, kapan masyarakat manusia itu berada? Dan inilah yang masih dipersebatkan, dan kalau kia berbicara mengenai mayarakat, maka ini tidak akan lepas dari asal usul manusia.  Dalam hubungannya dengan asal usul manusia, ini terdapat 2 teori pokok yang paling menonjol yaitu: teori evolusi (Darwinisme), yang diterapkan dalam masalah keagamaan, antara lain adalahE.B. Taylor dan Lubbok di satu pihak. Dan yang ke 2 yaitu teori kultur historie, yang dipihak lain fahamnya berlawananan dengan teori evolusi.
            Dan disamping itu, teori yang dikeluarkan oleh agama-agama wahyu(revalasi), yang membantah tentang teori evolusi, yang asal usul manusia, dan perkembangannya, yaitu agama bukan berdasarkan hasil evolusi kepercayaan manusia terhadap hal-hal ghaib. Dan menurut ajaran agama-agama wahyu, dimulainya manusia pertama kali didunia adalah, sejak diturunkannya nabi Adan dan Siti Hawa ke dunia, dan sejak iulah agama wahyu sudah diturunkan kepada mereka. Adam dan Hawa merupakan bapak dan ibuk dari semua manusia, mereka merupakan manusia pertama di dunia.
            Bilamana kita menyetujui pendapat C.G. Jung, bahwa setiap manusia itu memiliki”Naturaliter Religiosa”(instink beragama), sedangkan Instik  menurut menurut teori pendidikan, dapat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga manusia tersebut benar-benar dapat menjadi pengikut yang taat kepada agamanya, maka tak perlu lagi kita mempersoalkan asal usul agama itu. Dan memang benar pendapat B. Malinowski yang menyatakan bahwa”……..There are people however primitive without religion and magic……….(Tidak ada orang yang bagaimanapun primitifnya tanpa agama dan magic).

Minggu, 18 September 2011

PENGERTIAN METODE, METODOLOGI, SISTEM & KAITANNYA DENGAN TAFSIR


Seperti definisi-definisi yang lainnya, setiap kali menjelaskan atau menerangkan seputar pengeertian sebuah ilmu ataupun definisi yang lainnya, penulis terlebih dahulu menelaah sepuatar kajian yang ingin dijelaskannya, baik itu seputar pengertian yang ditinjau dari arti bahasa(etimologi), maupun ditinjau dari arti istilahnya(terminologi), ataupun dengan mengungkapkan berbagai pendapat tokoh-tokoh seputar permasalahan yang ingin dijelaskannya. Dari sini, penulis mencoba menelaah seputar permasalahan yang akan dijelaskan, dilihat dari arti bahasa(etimologi), dan istilah(terminologi).
Dimulai dari pembahasan yang pertama yaitu Metode, secara bahasa(etimologi), Metode berasal dari kata Yunani, yaitu “Methodos”, sedangkan bangsa Arab menerjemahkannya dengan kata  “tharikat dan Manhaj”. Dan kalau kita artikan dalam bahasa Indonesia, Metode merupakan sebuah cara yang teratur, dan cara befikir  yang baik untuk mencapai sebuah maksud dalam Ilmu pengetahuan dan sebagainya, atau bisa juga diartikan sebagai sebuah cara yang bersistem guna untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mendapatkan sesuatu yang ditentukan. Pengertian Metode secara umum dapat digunakan untuk berbagai objek, baik yang berhububungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, ataupun yang menyangkut pekerjaan fisik. Jadi bisa ketahui bersama bahwa Metode merupakan sebuah sarana yang teramat penting guna untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kaitannya dengan studi penafsiran Al qur’an, maka sebuah Metode mutlak dibutuhkan. Yakni sebuah cara berfikir yang baik, dan teratur guna untuk mencapai pemahaman yang baik dan benar tentang apa-apa yang dimaksudkan Allah SWT. lewat ayat-ayatnya yang terhimpun dalam kitab suci Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Definisi seperti ini, sekaligus menggambarkan bahwa sebuah metode tafsir Al Qur’an berisikan seperangkat kaidah dan aturan-aturan yang harus ditaati ketika menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Dan bisa dipastikan, ketika seseorang menafsirkan Al Qur’an tanpa menggunakan Metode tafsir Al Qur’an, maka penafsirannya pasti akan keliru. Dalam Ilmu tafsir, corak penafsiran yang seperti ini dinamakan dengan “Tafsir Bi al ra’yi al al mahdh”(penafsiran berdasarkan pemikirannya semata).
Dan berkaitan dengan penafsiran dengan pemikirannya semata(“Tafsir Bi al ra’yi al al mahdh”), banyak Ulama’ yang tidak memperbolehkannya, bahkan menolak menafsirkan dengan corak tafsir yang sepeti ini, dan mereka menyebutnya sebagai “al-tafsir bi al-hawa”, atau tafsir atas dasar hawa nafsu. Karena dikhawatirkan, tafsir yang dihasilkannya akan bergeser dari makna yang sebernarnya, dan disamping akan menimbulkan makna-makna yang jauh dari makna yang sebenarnya, penafsiran seperti ini juga telah dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan Ibnu Taymiyah berpendapat bahwai corak tafsir seperti ini adalah haram hukunya. Dan itulah sebabnya, mengepa Tafsir dengan pemikirannya sendiri (“Tafsir Bi al ra’yi al al mahdh”), dilarang, bakhan di haramkan.
Disamping banyak Ulama’ yang menentang corak penafsiran semacam ini, bahkan Nabi Muhammad sendiri telah melarangnya, dan bahkan Ibnu Taymiyah sendiri telah mengharamkan corak tafsir model ini. Akan tetapi, disisi lain masih banyak Ulama’ yang memperbolehkan tafsir semacam ini, asalkan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, dan penerimaan mereka mengenai corak tafsir senacam ini karena didasakan atas ayat Al Qur’an itu sendiri, yang menurut mereka, memang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandungan dari ayat-ayat Al Qur’an. Dan diantara ayat-ayat Al Qur’an yang mendukung kebolehan corak tafsir semacam ini, diantaranya adalah: (Qs: Muhammad/47:24). Yang artinya sebagai berikut:”Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci”.dan (Qs: Shad/38:29). Yang artinya sebagai berikut:” Ini adalah kitab yang kami tueunkan kepadasmu, penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang mempunyai pikiran dapat memperoleh darinya”.
Dan yang musti di ketahui disini adalah, meskipun mufasir dalam corak ini melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran sendiri, namun ia juga tidaklah bebas mutlak, mereka juga harus bertolak pemahaman terhadap nilai dan kandungan Al Qur’an dan sunah Nabi SAW.
Dan pembahasan yang selanjutnya adalah pengertian metodologi. Dimana pengetian dari metodologi adalah tidak lepas dari pengertian metode, karena antara kedua kata ini memiliki keterkaitan makna yang saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya. Artinya ketika mendefinisikan seputar metode, pastinya kita bisa mengetahui namanya Metodologi Tafsir. Secara definif, Meetodologi Tafsir artinya pembahasan ilmiyah tentang metode-metode penafsiran Al qur’an, atau metode-metode yang digunakan dalam menafsirkan Al Qur’an. Dari pengertian ini, maka kita bisa ketahui bahwa metode adalah cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an, sementara Metodologi tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang cara penafsiran Al Qur’an. Secara sederhan kita bisa ketahui bahwa Metode adalah merupakan cara-cara berfikir yang baik dan benar supaya dapat menghasilkan kongklusi benar dan jauh dari kesalahan, sedangkan Metodologi adalah ilmu yang membahas tentang cara-cara atau metode-meode tersebut.
Setelah mengetahui pengertian dari Metode dan Metodologi seperti yang telah disebutkan diatas, pembahasan yang selanjutnya yaitu tentang Sistem. Dimana, sistem ini juga memiliki keterkaitan makna antara Metode dan Metodologi. Secara definitif, sistem berasal dari bahasa latin yaitu “systema”dan bahasa Yunani yaitu “sustema“, yang artinya suatu kesatuan yang terdiri atas komponen atau elemen yang dihubungkan bersama, untuk mendapatkan aliran informasi, materi atau energi. Sedangkan menurut Wikipedia Indonesia pengertian sistem yang paling umum adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan diantara satu dengan yang lainnya.
Setelah mengetahui makna mulai dari Metode, Metodologi, dan Sistem. Maka, Pembahasan yang selanjutnya adalah korelasi atau hubungan antara Metode, Metodologi, dan Sistem dengan Tafsir. Maka dapat kita simpulkan, bahwasannya seseorang Mufasir yang ingin melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur’an, hendaknya mempelajari dan menggunakan metode-metode(kaidah dan cara yang teratur serta berfikir baik), dan tersisitem atau tersusun, yang harus dimiliki oleh seorang Mufassir, guna untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud oleh Allah SWT. Yang termuat dalam Al Qur’an. Dan ilmu untuk menelaah metode-metode terdebut dinamakan Metodologi Tafsir. Dan apabila  seorang Mufasir yang menafsirkan Al Qur’an tanpa menerapkan metode, maka bisa dipastikan, bahwa penafsirannya akan keliru(kh).

Rabu, 14 September 2011

Sejarah Munculnya Ilmu Mantiq

         Berfikir secara sederhana, pada dasarnya adanya atau munculnya ilmu mantik adalah sejak adanya manusia lahir di bumi. Mengepa demikian? Karena manusia dilahirkan dibumi telah dikaruniai akal fikiran oleh Allah SWT. Karena dengan akal tersebut manusia dapat berfikir sehingga ia berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain. Akan tetapi berkembangnya atau munculnya pemikiran logis atau lebih familier disebut mantik sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri terwujud belakangan, sama halnya dengan ilmu-ilmu yang lain. Berbicara mengenai sejarah ilmu mantik, tidak akan lepas dengan Yunani, dimana pada zaman dahulu, Yunani merupakan negara yang penduduknya mayoritas banyak yang dikarunia otak  yang cerdas. Salah satu negara yang terkenal dengan pemikirannya saat itu adalah Anthena, dimana Anthena dijuluki sebagai sumber berbagai macam ilmu. Dan diantara tokoh-tokoh pemikir saat itu adalah Socrates, Plato, Aristoteles, dan masih banyak pemikir yang lainnya. Merekalah para pemikir, dan tokoh-tokoh ilmiyah super kelas dunia, yang tidak ada ilmuan-ilmuan nasional maupun internasional yang tidak mengenal mereka. Akan tetapi khusus untuk Logika atau ilmu Mantik, Arisitoteles-lah guru pertamanya.
            Kecerdasan penduduk Yunanilah yang pada akhirnya melahirkan kelompok safdatthah(semacan debat kusir yang inginnya hanya menang sendiri, dan maunya menjatuhkan lawan saja). Pemikiran pada saat itu pun semakin berkembang, akan tetapi berpengaruh secara negatif di Yunani. Dimana mereka dengan ketangkasan berdebatya, saling menghujat dan pada akhirnya merusak system tatanan sosial, agama, dan moral dengan cara mengungkapkan pernyatan-pernyataan yang kelihatannya benar, akan tetapi pada dasarnya mereka membuat kesesatan-kesesatan pemikiran, nilai, dan moral. Diantara pernyataan-pernyataan tersebut adalah” Kebaikan adalah apa yang anda pandang baik, sedangkan keburukan adalah apa yang anda pandang buruk, dan kebenaran adalah apa yang menurut anda benar dan apa yang diyakini itu salah oleh orang tersbut, maka  itulah yang salah menurut dia”.
            Munculnya pernyataan tersebut, mengakibatkan standar nilai dan norma moral sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya, karena dengan pernyataan tersebut,  seseorang dapat menentukan standar nilai kebaikan dan kebenaran maupun nilai keburukan menurut dirinya sendiri, meskipun hal tersebut bertentangan dengan orang lain. Dengan munculnya pernyatan-pernyatan tersebut, Aristoteles(383-322 SM), berusaha mengalahkan pernyataan-pernyataan tersebut dengan pernyataan-pernyatan yang logis, dan brilian secara ilmiyah. Pernyataan-pernyataan tersebut ia peroleh dari diskudi bersama murid-muridnya. Keberhasilan Aristoteles menyusun tekhnik berfikir ilmiyah secara sistematis beserta hukum-hukumnya, akhirnya mengentarkannya sebagai  guru pertama Logika(Mantik) di dunia dan sampai saat ini. Julukan tersebut memang pas disandakan kepada dia, karena tidak ada yang mendahuluinya dalam menyusun sistem berfikir yang benar, dan logis, secara sistematis dengan mengembil kesimpulan yang benar seperti yang dihasilkannyua itu. Dengan kata lain, keberhasilannya meyusun ilmu tersebut adalah hasil dari usaha pikirannya sendiri.
            Karya-karya Aristoteles tersebut sangat dikagumi pada masanya maupun masa sesudahnya, bahkan Imanul Kant (1724-1804 SM), salah seorang pemikir terbesar bangsa Jerman, mengungkapkan kekagumannya”Logika yang diciptakan Aristotelis itu tidak bisa di tambah walaupun hanya sedikit, karena sudah cukup sempurna”, dismping itu, Plato salah seorang murid Aristoteles(427-347 SM), hanya bisa menambahinya sedikit. Akan tetapi. Disamping banyak yang mengagumi kesenpurnaan Logika yang diciptaka Aristoreles, ada juga yang menyangkalnya dengan alasan yang menurut mereka masuk akal. Diantara mereka adalah, Konsili Nicae(325 M), dia menyatakan menutup pusat-pust pelajaran Falsafah Grik di Anthena (Yunani), Antiokio, dan Roma. Dan pelajaran logika pun dilarang berkembang, kecuali hanya bab-bab tertentu saja, yang dinilai tidak merusak Aqidah Krristiani.
            Munculnya larangan tersebut merupakan pukulan berat sekaligus mematikan bagi filsafat Yunani dan sekaligus logika. Hingga pada akhirnya sejak masa itu hingga hampir 1000 tahun lamanya, alam pemikiran di Barat menjadi padam, hingga terkenal dngan zaman “The Dark Ages”(zaman gelap). Hingga akhirnya pada awal abad ke-7 berkembanglah Agama Islam di Jazirah Arab, hingga pada abad 8 Islam dapat meluas hingga di berbagai daerah, mulai dari barat sampai ke perbatasan Pyrences  dan ke Timur sampai Thian San. Yang menjadi pusat keilmuan pada waktu itu adalah Bahdad dibelahan Timur, dan Cordova dibelahan Barat. Pada saat itu kekhalifahan telah dipimpin oleh khalifah Dinasti Abasiyah, dan pada saat itu pula terjadi penerjemahan secara besar-besaran, yaitu karya-karya ilmiyah yunani dan lain-lainnya diterjemahkan kedalam bahasa Arab,  hingga pada akhirnya zaman itu terkenal dengan Abad terjemahan.
            Dan diantara karya-karya Aristoteles pun ikut diterjemahkan, salah satunya yaitu Logika yang hingga pada akhirnya diberi nama ‘Ilmu Mantiq. Ilmu Mantiq pun akhirnya dipelajari oleh umat islam, sehingga banyak dari mereka yang menjadi pakar ilmu Mantiq. Dan diantara mereka banyak yang menjadi pakar ilmu mantik, mereka juga banyak yang mengembangkan ilmu Mantiq sebagai sarana untuk mengislamisasikan, yaitu dengan mengungkapkan contoh-contoh yang mereka munculkan. Mereka mempelajari ilmu Mantiq tidak hanya untuk mempertajam dan mempercepat daya pikir dan mengembil kesimpulan secara logis dan benar, melainkan juga untuk membantu mereka dalam mengkokohkan hujah-hujah Agamawi, seperti wujud Tuhan, dan kebaharuan alam semesta.
            Dan diantara banyak Ulama’ dan cendekiawan muslim yang terkenal mendalami, menterjemah, serta mengarang dibidang ilmu Mantik, diantaranya adalah: Abdullah Ibn al-Muqaffa’, Ya’qub ibn Ishaq(Al Kindi), Abu Nasr (Al Farubi), Ibnu Sina, Abu Hamid (al Ghazali), Ibnu Rusyd al Qurthubi, dan tentunya masih banyak tokoh-tokoh cendekiawan yang lain. Al Farubi, pada zaman kebangkitan Eropa dari masa gelapnya, malah dijuluki sebagai guru ke2 ilmu Logika. Dan diantara Ulama’ yang sangat terkenal dibidang Ilmu Logika, diantaranya adalah Abu Ali al Haitsam, Abu Abdilah al Khawarizmi, al Tibrizi, Ibnu Bahjah, Al Asmawi, dan al Samarqandi yang terkenal tidak hanya dibelahan timur, tetapi juga dibelah Barat.
            Kemudian setelah zaman kebangkitan tersebut, menyusullah zaman kemunduran Ilmu Mantik, dimana pada masa itu banyak Ulama’-Ulama’ besar yang mennentang Ilmu Mantik, karena dianggap terlalu memuja akal, dan di khawatirkan akan menjadi zindik, ilhad, dan kufur. Diantara Ulama’ tersebut adalah Muhyidin al Nawawi, Ibnu Shalah, Taqiyuddin Ibn Taiymiyah, dan Sadudin al Taftazani. Dan diantara Ulama’ tersebut, bahkan ada yang mengharakan mempelajari Ilmu mantiq, dengan tuduhan akan menjadi kufur. Dampak dari penentangan yang dilakukan Ulama’-Ulama’ tersebut akhirnya mengakibatkan banyak Ulama’ yang tidak memperkenagkan Ilmu Mantiq diajarkan dilembaga-lembaga pendidikan yang mereka asuh.
            Meskipun banyak Ulama’ yang menentang Ilmu Mantik, disisi lain juga masih banyak Ulama’ yang tetap mempertahankan Ilmu Mantik untuk dipelajari, tetapi tidak lepas hanya pada maksud untuk menggunakannya sebagai penunjang bagi Ilmu Tauhid(theologi) saja.dan diantara Ulama’ tersaebut adalah, Sayid Syarif Ali al Jurjani, Muhammad al Duwani, Abdurrahman al Akhdari, Muhibullah al Bishri, al Hindi Ahmad al Malawi, Muhammad al subban, dan tentunya masih banyak yang lainnya.
            Eropa, setelah hampir 1000 tahun dalam abad kegelapan, kemudian setelah abat ke 14-15 mulai lagi untuk mengali ilmu-ilmu Mantq(Logika). Akan tetapi, mereka belum dapat mempelajari dengan sepenuhnya, karena pada masa itu, pengucilan gereja terhadap ilmu Mantiq masih sangat ketat. Namun dengan kegairahan untuk belejar ilmu Mantiq sangat antusias, dan terutama setelah melalui perjuangan berat memisahkan gereja dari  negara menjadi sangat tinggi. Akhirnya beberapa disiplin Ilmu yang pada mulanya banyak diterjemahkan oleh ilmuan-ilmuan Muslim kedalam bahasa arab, diterjmahkan kembali kedalam bahasa latin, dan kemudian beru diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa Eropa. Hingga pada akhirnya mereka menyebut al Farubi sebagai guru kedua, dan ibnu Sina sebagai guru ketiga setelah Aristoteles sebagai guru pertama dalam bidang logika atau Mantik.
          Banyak diantara buku Ibnu Sina yang diterjemahkan kedalam bahasa latin, dan akhirnya diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa Eropa yaitu pada penghujung abad ke 12.  Dan diantara banyak buku-buku yang diterjemahkan, Logika karya .Ibnu Rusyd-lah yang dianggap paling lengkap, yaitu sekitar abad ke-14.  Dan terjemahan inilah, yang pada akhirnya disebarkan ke Paris(Peransis), dan Oxford Inggris. Setelah kegiatan penerjemahan tersebut, logika hidup dan berkembang lagi dengan subur di Eropa, Amerika, dan negara-negara lainnya.
            Sejalan dengan hal tersebut diatas, seperti yang telah diunggapkan sebelumnya, dunia Islam menjadi mundur dibidang ilmu pengetahuan. Namun dengan demikian semenjak awal abad ke-19 yang ditandai dengan gerakan-gerakan pembaharuan, yaitu ilmu-ilmu yang tadinya disingkirkan, termasuk Ilmu Mantiq, akhirnya mulai dipelajari dan dikembangan lagi. Dan munculnya gerakan pembaharuan tersebut, diantaranya dipelopori oleh Jalaludin al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan masih banyak yang lain. Dan pada akhirnya pembaharuan tersebut menyebar di berbagai daerah, hingga meluas diberbagai negara hingga akhirnya meluas diseluruh dunia Islam, termasuk Indonesia.
            Setelah mengetahui sejarah Ilmu Mantik seperti yang telah didemontrasikan diatas, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwasannya Ilmu Mantiq pertama kali muncul di Yunani, tepatnya di Negara Athena, dengan guru utamanya yaitu Aristoteles. Kemudian Ilmu Mantiq juga sempat mengalami kemandekan, dimana pada zamannya Ilmu tersebut dilarang untuk dipelajari,  Dan kemudian semenjak abad ke-7, Islam mulai muncul dan berkembang di jazirah Arab, dan hinnga pada akhirnya pada abad ke-8 Islam mulai dipeluk secara meluas. Dan sejalan dengan perkembangan Islam yang begitu pesatnya, terjadilah penerjemahan secara bessar-besaran, yaitu karya-kaeya Ilmiyah Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab.  
            Dan pada saat yang sama, karya-karya Aristoteles seputar logika juga ikut diterjemahkan kedalam bahasa Arab, hingga akhirnya diberi judul “Ilmu Mantiq”. Dan semenjak itulah, Ilmu Mantiq yang dulunya tidak dipelajari akhirnya mulai dipelajari dan dikembangkan lagi. Dan dalam perkembangannya tersebut memunculkan banyak ilmuan-ilmuan Muslim yang mahir dibidang Mantiq seperti yang telah disebutkan diatas. Dan hingga pada akhirnya ilmu mantiq mengalami kemunduran,  karena ilmu tersebut dinilai dapat menjadikan kufur seseorang, dan dinilai Ilmu Mantiq terlalu memuja akal. Dan akhirnya Ilmu Mantik dapat berkembang lagi di Eropa setelah fakum hampir 1000 tahun dalam abad gelap. Yaitu dengan menerjemahkan karya-karya ilmiyah karya ilmuan-ilmuan Muslim saat itu, dan semenjak itulah Ilmu mantik/logika mulai berkembang san tumbuh dengan subur di Eropa.
            Disisi lain, Islam telah mengalami kemunduran dibidang ilmu pengetahuan seperti yang telah sebutkan di atas, hingga pada akhirnya pada penghujung abad ke-19, Islam mengadakan gerakan-gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Jamaludin al Afgami beserta murid-muridnya, yaitu Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Semenjak itulah, Islam mulai bangkit dan berkembang hingga di berbagai daerah dan meluas hingga diseluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Dan ilmu Mantiq mulai dipelajari oleh bayak perguruan dan pondok pesantren.  Dan itulah sejarah singkat mengenai Ilmu Mantik yang dapat penulis gambarkan(kh)
           


           

Senin, 12 September 2011

SEKILAS TENTANG ILMU MANTIK


  1.  Pegertian dan objek Ilmu Mantik
Pada dasarnya pengertian ilmu mantik telah banyak didefinisikan oleh para Ulama’, dan pakar ilmu mantik dengan pengertian yang beragam, meskipun pada hakikat dan tujuannya adalah sama yaitu mengungkapkan makna mantik sebagai suatu kata yang dibakukan untuk sebuah disiplin ilmu. Ilmu mantik meruakan bahasa arab dan meruakan terjemahan dari kata logika, oleh sebab itu ilmu mantik juga bisa disebut sebagai ilmu logika. Dalam kaitaannya dengan pengertian ilmu mantik, seperti yang telah penulis kutip dari bukunya Prof. Dr. H. Baihaqi A.K, yang berjudul “Ilmu Mantik”: Teknik berfikir logik”, dalam bukunya tersebut, Baihaqi mengungkapkan bahwasannya ilmu mantik adalah merupakan suatu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia dalam berfikir, supaya dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, sehingga dia terhindar dari kesalahan berfikir, yang akhirnya menghasilkan kesimpulan yang salah dan keliru.
Sedangkan objek dari ilmu mantik sendiri terbagi menjadi 2 bagian, diantaranya adalah objek material dan objek formal. Dimana objek merupakan sebuah bahan penelitian atau pembentukan pengetahuan. Dan lapangan ilmu mantik sendiri adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar dapat berfikir lurus, tepat, dan sehat, disini mantik menyelidiki, merumuskan, serta menerapkan huku-hukum yang harus ditaati. Dari sini kita bisa mengetahui bahwasannya ojek material dari ilmu mantik adalah berfikir. Yang dimaksud dengan berfikir disini adalah kegiatan pikiran akal budi manusia. Karena dengan berfikir manusia mengolah serta mengerjakan yang telah dipikirkan atau pengetahuan yang telah diperolehnya, dengan mengolah dan mengerjakannya ini terjadi pertimbangan, penguraian, menbandingkan, serta menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya. Dan objek formal atau sudut pandang yang digunakan pada bahan penelitian atau pembentukan ilmu mantik adalah berfikir lurus dan tepat, oleh karena itu berfikir lurus dan tepat merupakan objek formal dari ilmu mantik.
  1. Urgensi mempelajarinya
Urgensi mempelajari ilmu mantik, tidak lepas dari pengertian ilmu mantik itu sendiri, dimana ilmu mantik bertujuan melatih kerja otak supaya dapat berfikir logis, artinya melatih, mendidik, serta mengembangkan potensi akal dalam mengkaji objek pikir dalam menggunakan metodologi berfikir, serta menempatkan persoalan dan menunaikan sesuatu tugas pada suatu kondisi dan waktu yang tepat. dan agar dapat membedakan antara proses berfikir yang benar (hak), dari yang salah(batil). Disamping itu, pemahaman akan ilmu mantik sebenarnya  bertujuan agar supaya menumbukhkan kesadaran bahwa betapa pentingnya sebuah ilmu bagi manusia serta mendorong manusia agar  tertarik dan mau mempelajarinya sebagai bagian tugas dari kesehariannya.

  1. Faidah mempelajarinya
Berkaitan dengan faidah mempelajari ilmu mantik, seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, bahwasannya menpelajari sebuah disiplin ilmu yang pastinya akan mendapatkan manfaat yang banyak seekali. Dalam kaitannya dengan manfaat belajar ilmu mantik, seperti yang telah diungkapkan Imam Al Ahdari, yaitu Ilmu mantik dapat memelihara pikiran dari kesalahan berfikir, serta memperdalam pemahaman dan dapat menyingkap takbir kebodohan. Disamping itu faidah yang didapat dari belajar ilmu mantik salah satunya adalah membuat daya pikir tidak saja menjadi lebih tajam, akan tetapi juga menjadikan pikiran kita jadi lebih berkembang, melalui latihan-latihan berfikir dan mengenalisis serta mengugkap suatu permasalahan secara runtun/ilmiyah. Begitu penting dan banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari ilmu mantik, Imam Al Ghazali menegaskan”seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang mantik, maka ilmunya tidak dapat dipercaaya”.




Jumat, 09 September 2011

BIOGRAFI SINGKAT GUS DUR


Seorang tokoh NU dan juga pernah menjabat sebagai pemimpin di negri ini, sesosok ulama’ yang terkenal dengan guyonan dam leluconnya, seorang pemimpin yang termashur dengan pemikirannya yang cemerlang, dan sifat multikulturalnya (menerima perbedaan), yang telah diketahui oleh golongan intelrktual, baik dari golongan muslim maupun non muslim. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur (begitulah beliau akrab dipanggil), pria kelahiran Jombang, 1940an ini merupakan sesosok ulama’ dari golongan NU tanpa celah. Ayahnya bernama KH Wakhit Hasyim, dan kakeknya bernama KH Hasyim Ashy’ari, dan KH Bisri Syamsury(2 orang tokoh Ulamak NU, sekaligus sebagai pendiri NU), dan ibunya bernama Solikchah, yang juga merupakan saudara dari KH Bisry Syamsuri. Sejak awal usianya, ibunya selalu mengigatkan dan menekankan akan tanggung jawab terhadap NU, mengingat peranan keluarganya yang mempunyai peran vital dalam keberlangsungan NU. Yaitu ayahnya sebagi ketua umum NU, dan juga sekaligus sebagai Mentri Agama. sedangkan ibunya juga menjalankan peranan yang tidak kalah penting dalam perjalanan NU, karena rumah keluarga yang di jakarta sering didatangi oleh para peminpin NU, bahkan para politisi dari berbagai aliran. Rasa tanggung jawab itu terasa semakin menguat ketika ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil, pada bulan April 1953. Pada kecelakaan tersebut, usia ayahnya baru berumur 38 tahun, suatu usia yang sangat efektif untuk sebagai seorang pemimpin NU.
            Dalam kecelakaan tragis tersebut, Gus Dur baru berumur 13 tahun, usia yang sangat muda untuk merasakan sebagai anak yatim. Selain tenggelam dalam dunia kiyai dan perolitikan NU, orang tuanya merasa perlu bahwa Gus Dur(Abdulrahman kecil), untuk diperkenalkan kepada sejumlah kelompok sosial. Dalam sejarah hidupnya ketika masih muda, Gus Dur dititipkan secara periodik oleh keluarganya, kepada salah seorang berkewargaan Jerman, yaitu salah satu teman akrap bapaknya yang telah masuk islam. Dan pada waktu itulah, pertama kali juga Gus Dur diperkenalkan dengan alat musik Eropa klasik, yang pada akhirnya nanti menjadi kegemerannya. Kemudian pada tahun 1953-1957, Gus Dur belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama(SMEP), saat itu dia tinggal bersama KH. Junaid, salah seorang tokoh modernis dan juga seorang Ulama’ anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Setelah tamat dari sekolahnya tersebut, Gus Dur banyak menghabiskan waktunya untuk mondok di berbagai pesantren NU terkemuka di negri ini. Dimulai dari tahun 1957, tepatnya setelah lulus dari SMEP, kemudian Gus Dur melanjutkan nyantrinya di pondok pesantren Tegalrejo Magelang, sampai tahun 1959.  ceritanya Gus Dur telah merampungkan progam belajarnya kurang dari separoh waktu mondok pada umumnya saat itu.
            Belum puas dengan ilmu yang telah didapatkannya, Gus Dur melanjutkan belajarya di Mu’allimat Bahrul ‘Ulum, tepatnya di Pesantrean Tambakberas Jombang, yaitu pada tahun 1959-1963. Belum cukup sampai disitu, setelah lulus dari pondok Pesantren Tambakbares Jombang, Gus Gur melanjutkan nyantrinya di pesantren Krapyak Jogjakarta. Dan pada waktu yang sama dia tinggal bersama seorang tokoh Ulama’ NU tetkemuka, yaitu KH. Ali Maksum. Setelah dinilai cukup banyak pengalaman belajarnya di berbagai pesantren terkemuka di negri ini. Kemudian pada tahun 1964, Gus Dur berangkat ke Kairo untuk memperdalam ilmunya dengan belajar di Ma’had Ali Dimsat al Islamiyah dilingkungan Universitas Al Ahzar, yang merupakan Universitas terbesar dan termaju pada saat itu, dengan berbagai progam jurusan dan para dosen yang ahli dibidangnya. Setelah merasakan dunia kampus, dan beradaptasi dengan lingkungan kampus, terutama dengan metode yang diajarkannya yaitu, metode didaktik utamanya berupa hafalan.  Merasa jenuh  dengan metode yang diajarkannya, Gus Dur  merasa metode ini tidak mendukung proses  intelektualnya untuk dapat berkembang, karena dia merasa metodenya tidak beda jauh dengan metode yang pernah ia dapatkan ketika nyantri di pesantren-pesantren tebaik di negri ini. Tak ingin membuang waktu terlalu banyak, Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menbaca dan berdiskusi, dari pada waktunya ia habiskan didalam kelas. Salah satu tempat yang dia jadikan untuk membaca pada saat itu adalah American University Library, yaitu merupakan perpustakaan terlengkap dikota itu.  Meskipun kecewa dengan Al Ahzar sebagai Institusi, tetapi ia merasa senang dan bangga karena dapat berdiskusi dengan para intelektual muda mesir, dan para mahasiswa yang belajar di Al Ahzar pada saat itu. Selama tinngal di Kairo, dia juga memupuk kegemarannya terhadap film-film prancis, dan sepak bola, yang pada akhirnya menjadi kegemaran abadinya.
            Dari Kairo, kemudian Gus Dur pindah ke Bahdad.  Dikota itulah dia menghabiskan waktu 4 tahun untuk belajar, bukannya belajar keislaman sebagaimana yang telah diharapkan, tetapi disana dia belajar sastra dan kebudayaan Arab, beserta filsafat dan teori sosial. Dalam pengakuannya, dia sangat senang dengan sistem mengajar yang ada di Bahdad. Menurutnya, system yang ada di Bahdad lebih mirip dengan system yang ada di Eropa, dan jauh berbeda dengan Al Ahzar. Dan pada saat itu, Gus Dur adalah ketua Perhimpunan Mahsiswa Indonesia Timur Tengah, yang menjabat pada tahun 1964-1970. Kemudian pada tahun 1971, Gus Dur berkeinginan untuk dapat pergi ke Eropa, dan berharap agar dapat belajar disalah satu Universitas yang ada disana. Tetapi sirna sudah harapan tersebut, karena studinya di Kairo dan Bahdad tersebut tidak diakui di Eropa. Setelah mengetahui bahwa dirinya tidak dapat pergi ke Eropa, dia juga pernah bermaksud untuk pergi ke McGill University guna melanjutkan studi Islamnya yang sangat disegani. Tetapi pada akhirnya, dia putuskan untuk kembali ke Indonesia saja, sebagian karena diilhami oleh berita-berita yang menggembirakan mengenai perkembangan didunia pesantren.
            Dan pada akhirnya Gus Dur kembali ke Indonesia, dan mengembangkan ilmu yang telah didapatnya selama studi di Al Ahzar Kairo, dan Bahdad. Dimulai dari tahun 1972-1974, dia menjabat sebagi sebagi dosen, sekaligus Dekan di Fakultas Ushuluddin Universitas As’ari Jombang. Kemudian pada tahun 1974-1980, dia menjabat sebagai sekretaris umum Pondok Pesantren Tebuiremg, Jombang. Kemudian pada waktu yang sama, selain sebagai sekretaris umum, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan nasional NU, diantaranya adalah menjadi katip awal syuriah NU, tahun 1979, di Jakarta. Dan sejak pindah ke Jakarta pada tahun 1978, dia menjabat sebagai pengasuh ponsok Pesantren Ciganjur, Jakarta selatan. Dan disamping itu, dia juga banyak terlibat dalam berbagai proyek dan Aktifis di Jakarta, termasuk mengajar progam pelatihan bulanan kependetaan protestan.
            Karirnya terus kian memuncak, sejak pertengahan dasawarsa 70an, yaitu setelah melakukan kontak dengan beberapa intelektual muslim di negri ini, diantaranya adalah Nur Cholis Madjid, dan Djohan Efendi, yang terbentuk dalam serangkaian forum akademik dan lingkungan studi. Gus Dur dengan mudah dapat beradaptasi dengan rekan-rekannya, kendatipun latar belakang formalnya berbeda dengan rekan-rekannya di Jakarta. Pada kenyataannya, secara intelektual dia lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran barat, pendidikan islam dan masyarakat muslim.  Meskipun dia belum pernah belajar secara formal di barat, tetapi dia sudah membaca secara mendalam mengenai pemikiran barat sejak usianya masih muda, dan di dukung dengan studi-studinya di Bahdad yang telah memberikan dasar-dasar yang baik mengenai pendidikan yang bercorak liberal, bergaya barat, dan sekuler.  hal itulah yang menjadika Gus Dur lebih siap, dan lebih menguasasi mengenai pemikiran-pemikiran barat, dan lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran barat, dibandingkan dengan rekan-rekannya yang secara formal pernah studi di barat.
            Keikutsertan Gus Dur dalam berbagai kelompok-kelompok studi Islam Jakarta, merupakan langkah awalnya dalam kehidupan intelektual yang lebih luas di negri ini. Dimulai dari tahun 1982-1985, Gus Dur menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta(DKJ). Dan pada saat yang bersamaan, dia juga terpilih 2 kali sebagi ketua dewan juri Festifal Film Nasional, sebuah jabatan yang semestinya tidak pas untuk seorang tokoh keluaran dari pesantren, tetapi tidak demikian, jabatan tersebut justru tepat untuk tipikal seorang Gus Dur. Kemudian dari tahun 1980-1983 dia menjadi nominator dari Agha Khan Award untuk arsitektur Islam Indonesia. Kemudian berlanjut dari tahun 1985-1990, dia berkhidmad kepada Majlis Ulamak Indonesia(MUI). Dan karirnya terus memuncak hingga pada akhirnya pada tahun 1994 dia menjaadi penasehat Internasional Dialogue Foundation on Perspektive Studies of Syari’ah and Secular Law, di Den Haag.(Kh)