Jumat, 09 September 2011

BIOGRAFI SINGKAT GUS DUR


Seorang tokoh NU dan juga pernah menjabat sebagai pemimpin di negri ini, sesosok ulama’ yang terkenal dengan guyonan dam leluconnya, seorang pemimpin yang termashur dengan pemikirannya yang cemerlang, dan sifat multikulturalnya (menerima perbedaan), yang telah diketahui oleh golongan intelrktual, baik dari golongan muslim maupun non muslim. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur (begitulah beliau akrab dipanggil), pria kelahiran Jombang, 1940an ini merupakan sesosok ulama’ dari golongan NU tanpa celah. Ayahnya bernama KH Wakhit Hasyim, dan kakeknya bernama KH Hasyim Ashy’ari, dan KH Bisri Syamsury(2 orang tokoh Ulamak NU, sekaligus sebagai pendiri NU), dan ibunya bernama Solikchah, yang juga merupakan saudara dari KH Bisry Syamsuri. Sejak awal usianya, ibunya selalu mengigatkan dan menekankan akan tanggung jawab terhadap NU, mengingat peranan keluarganya yang mempunyai peran vital dalam keberlangsungan NU. Yaitu ayahnya sebagi ketua umum NU, dan juga sekaligus sebagai Mentri Agama. sedangkan ibunya juga menjalankan peranan yang tidak kalah penting dalam perjalanan NU, karena rumah keluarga yang di jakarta sering didatangi oleh para peminpin NU, bahkan para politisi dari berbagai aliran. Rasa tanggung jawab itu terasa semakin menguat ketika ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil, pada bulan April 1953. Pada kecelakaan tersebut, usia ayahnya baru berumur 38 tahun, suatu usia yang sangat efektif untuk sebagai seorang pemimpin NU.
            Dalam kecelakaan tragis tersebut, Gus Dur baru berumur 13 tahun, usia yang sangat muda untuk merasakan sebagai anak yatim. Selain tenggelam dalam dunia kiyai dan perolitikan NU, orang tuanya merasa perlu bahwa Gus Dur(Abdulrahman kecil), untuk diperkenalkan kepada sejumlah kelompok sosial. Dalam sejarah hidupnya ketika masih muda, Gus Dur dititipkan secara periodik oleh keluarganya, kepada salah seorang berkewargaan Jerman, yaitu salah satu teman akrap bapaknya yang telah masuk islam. Dan pada waktu itulah, pertama kali juga Gus Dur diperkenalkan dengan alat musik Eropa klasik, yang pada akhirnya nanti menjadi kegemerannya. Kemudian pada tahun 1953-1957, Gus Dur belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama(SMEP), saat itu dia tinggal bersama KH. Junaid, salah seorang tokoh modernis dan juga seorang Ulama’ anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Setelah tamat dari sekolahnya tersebut, Gus Dur banyak menghabiskan waktunya untuk mondok di berbagai pesantren NU terkemuka di negri ini. Dimulai dari tahun 1957, tepatnya setelah lulus dari SMEP, kemudian Gus Dur melanjutkan nyantrinya di pondok pesantren Tegalrejo Magelang, sampai tahun 1959.  ceritanya Gus Dur telah merampungkan progam belajarnya kurang dari separoh waktu mondok pada umumnya saat itu.
            Belum puas dengan ilmu yang telah didapatkannya, Gus Dur melanjutkan belajarya di Mu’allimat Bahrul ‘Ulum, tepatnya di Pesantrean Tambakberas Jombang, yaitu pada tahun 1959-1963. Belum cukup sampai disitu, setelah lulus dari pondok Pesantren Tambakbares Jombang, Gus Gur melanjutkan nyantrinya di pesantren Krapyak Jogjakarta. Dan pada waktu yang sama dia tinggal bersama seorang tokoh Ulama’ NU tetkemuka, yaitu KH. Ali Maksum. Setelah dinilai cukup banyak pengalaman belajarnya di berbagai pesantren terkemuka di negri ini. Kemudian pada tahun 1964, Gus Dur berangkat ke Kairo untuk memperdalam ilmunya dengan belajar di Ma’had Ali Dimsat al Islamiyah dilingkungan Universitas Al Ahzar, yang merupakan Universitas terbesar dan termaju pada saat itu, dengan berbagai progam jurusan dan para dosen yang ahli dibidangnya. Setelah merasakan dunia kampus, dan beradaptasi dengan lingkungan kampus, terutama dengan metode yang diajarkannya yaitu, metode didaktik utamanya berupa hafalan.  Merasa jenuh  dengan metode yang diajarkannya, Gus Dur  merasa metode ini tidak mendukung proses  intelektualnya untuk dapat berkembang, karena dia merasa metodenya tidak beda jauh dengan metode yang pernah ia dapatkan ketika nyantri di pesantren-pesantren tebaik di negri ini. Tak ingin membuang waktu terlalu banyak, Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menbaca dan berdiskusi, dari pada waktunya ia habiskan didalam kelas. Salah satu tempat yang dia jadikan untuk membaca pada saat itu adalah American University Library, yaitu merupakan perpustakaan terlengkap dikota itu.  Meskipun kecewa dengan Al Ahzar sebagai Institusi, tetapi ia merasa senang dan bangga karena dapat berdiskusi dengan para intelektual muda mesir, dan para mahasiswa yang belajar di Al Ahzar pada saat itu. Selama tinngal di Kairo, dia juga memupuk kegemarannya terhadap film-film prancis, dan sepak bola, yang pada akhirnya menjadi kegemaran abadinya.
            Dari Kairo, kemudian Gus Dur pindah ke Bahdad.  Dikota itulah dia menghabiskan waktu 4 tahun untuk belajar, bukannya belajar keislaman sebagaimana yang telah diharapkan, tetapi disana dia belajar sastra dan kebudayaan Arab, beserta filsafat dan teori sosial. Dalam pengakuannya, dia sangat senang dengan sistem mengajar yang ada di Bahdad. Menurutnya, system yang ada di Bahdad lebih mirip dengan system yang ada di Eropa, dan jauh berbeda dengan Al Ahzar. Dan pada saat itu, Gus Dur adalah ketua Perhimpunan Mahsiswa Indonesia Timur Tengah, yang menjabat pada tahun 1964-1970. Kemudian pada tahun 1971, Gus Dur berkeinginan untuk dapat pergi ke Eropa, dan berharap agar dapat belajar disalah satu Universitas yang ada disana. Tetapi sirna sudah harapan tersebut, karena studinya di Kairo dan Bahdad tersebut tidak diakui di Eropa. Setelah mengetahui bahwa dirinya tidak dapat pergi ke Eropa, dia juga pernah bermaksud untuk pergi ke McGill University guna melanjutkan studi Islamnya yang sangat disegani. Tetapi pada akhirnya, dia putuskan untuk kembali ke Indonesia saja, sebagian karena diilhami oleh berita-berita yang menggembirakan mengenai perkembangan didunia pesantren.
            Dan pada akhirnya Gus Dur kembali ke Indonesia, dan mengembangkan ilmu yang telah didapatnya selama studi di Al Ahzar Kairo, dan Bahdad. Dimulai dari tahun 1972-1974, dia menjabat sebagi sebagi dosen, sekaligus Dekan di Fakultas Ushuluddin Universitas As’ari Jombang. Kemudian pada tahun 1974-1980, dia menjabat sebagai sekretaris umum Pondok Pesantren Tebuiremg, Jombang. Kemudian pada waktu yang sama, selain sebagai sekretaris umum, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan nasional NU, diantaranya adalah menjadi katip awal syuriah NU, tahun 1979, di Jakarta. Dan sejak pindah ke Jakarta pada tahun 1978, dia menjabat sebagai pengasuh ponsok Pesantren Ciganjur, Jakarta selatan. Dan disamping itu, dia juga banyak terlibat dalam berbagai proyek dan Aktifis di Jakarta, termasuk mengajar progam pelatihan bulanan kependetaan protestan.
            Karirnya terus kian memuncak, sejak pertengahan dasawarsa 70an, yaitu setelah melakukan kontak dengan beberapa intelektual muslim di negri ini, diantaranya adalah Nur Cholis Madjid, dan Djohan Efendi, yang terbentuk dalam serangkaian forum akademik dan lingkungan studi. Gus Dur dengan mudah dapat beradaptasi dengan rekan-rekannya, kendatipun latar belakang formalnya berbeda dengan rekan-rekannya di Jakarta. Pada kenyataannya, secara intelektual dia lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran barat, pendidikan islam dan masyarakat muslim.  Meskipun dia belum pernah belajar secara formal di barat, tetapi dia sudah membaca secara mendalam mengenai pemikiran barat sejak usianya masih muda, dan di dukung dengan studi-studinya di Bahdad yang telah memberikan dasar-dasar yang baik mengenai pendidikan yang bercorak liberal, bergaya barat, dan sekuler.  hal itulah yang menjadika Gus Dur lebih siap, dan lebih menguasasi mengenai pemikiran-pemikiran barat, dan lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran barat, dibandingkan dengan rekan-rekannya yang secara formal pernah studi di barat.
            Keikutsertan Gus Dur dalam berbagai kelompok-kelompok studi Islam Jakarta, merupakan langkah awalnya dalam kehidupan intelektual yang lebih luas di negri ini. Dimulai dari tahun 1982-1985, Gus Dur menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta(DKJ). Dan pada saat yang bersamaan, dia juga terpilih 2 kali sebagi ketua dewan juri Festifal Film Nasional, sebuah jabatan yang semestinya tidak pas untuk seorang tokoh keluaran dari pesantren, tetapi tidak demikian, jabatan tersebut justru tepat untuk tipikal seorang Gus Dur. Kemudian dari tahun 1980-1983 dia menjadi nominator dari Agha Khan Award untuk arsitektur Islam Indonesia. Kemudian berlanjut dari tahun 1985-1990, dia berkhidmad kepada Majlis Ulamak Indonesia(MUI). Dan karirnya terus memuncak hingga pada akhirnya pada tahun 1994 dia menjaadi penasehat Internasional Dialogue Foundation on Perspektive Studies of Syari’ah and Secular Law, di Den Haag.(Kh)
           
             
           
           
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar