Jumat, 09 Desember 2011

PENGERTIAN TAFSIR, TA’WIL DAN TARJAMAH.


  1. Pengertian Tafsir,
            Secara bahasa, tafsir berasal dari kata al fasr(الفسر) yang mengikuti pola kata al taf’il(تفعيل)[1]. Pendapat ini lebih dipilih oleh beberapa Ulama’ diantaranya  Abu Hayyan, Ibnu Faris, al Azhari dan al Syuyuthi. Dan definisi tafsir secara bahasa tidak jauh dari kata “terbuka dan jelas” baik itu diterapkan pada benda yang abstrak maupun berwujud.
Sedangkan tafsir secara istilah atau terminologi adalah suatu istilah yang dipakai dalam upaya memahami Al Qur’an[2]. Dan suatu tafsir yang pasti tidak akan terlepas dari 3 konsep yang terkandung didalamnya. 3 konsep tersebut adalah, pertama, tafsir merupakan kegiatan ilmiyah yang berfungsi memahami dan menjelaskan kandungan isi Al Qur’an. Kedua tafsir merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut. Dan ketiga, tafsir merupakan ilmu pengetahuan yang merupakan hasil kegiatan ilmiyah tersebut. Dan ketiga konsep ini tidak dapat dipisahkan dari tafsir karena berperan sebagai proses, alat, dan hasil yang dicapai dalam sebuah penafsiran.
  1. Pengertian Ta’wil.
Secara bahasa,kata al ta’wil (التاءويل) berasal dari kata al awla(الاؤل), yang mengikuti wazan taf’il (تفعيل), yang berarti kembali kepada keadaan semula[3].
Sedangkan secara istilah, pengertian ta’wil yaitu sama dengan pengertian tafsir, atau ta’wil merupakan sinonim dari tafsir. Pendapat ini dikuatkan oleh ulama’-ulama’ klasik seperti al Thabari dan ulama’-ulama’ klasik yang lain. sehingga dalam mengunggkapkan kata tafsir, mereka sering menggunakan kata ta’wil[4].
  1. Pengertian Tarjamah.
Secara bahasa, tarjamah adalah serapan dari bahasa arab yaitu al tarjamah(الترجمة).sedangkan dalam bahasa arab, al tarjamah memiliki 2 makna yaitu: pertama, tarjamah adalah memindah kalimat atau perkataan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa menjelaskan makna asli dari bahasa yang dipindah. Kedua, tarjamah bermakna memindah kalimat atau kalam dan menjelaskannya kepada bahasa lain. Dari sini maka bisa kita ketahui tarjamah dibedakan menjadi 2 yaitu : pertama, tarjamah harfiyah(al tarjamah al harfiyah) yaitu memindahkan suatu kalimat atau bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain dengan tetap menjega kesesuaian makna dan runtutannya serta menjaga makna-makna asli dari kalimat yang di pindah. Kedua, terjemah secara penafsiran(tarjamah al tasrifiyah) yaitu penjelasan kalimat dengan menggunakan bahasa yang lain tanpa adanya batasan untuk menjaga runtutan dan makna-makna kalimat asal[5].
  1. Syarat-Syarat seorang mufassir.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al qur’an, seorang mufassir dituntut untuk mengetahui dan sekaligus memiliki hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran. Dalam penafsiran terdapat 2 hal yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, dua hal tersebut diantaranya adalah:
1.      Hal-hal yang berkaitan dengan kepribadian dan latar belakang seorang mufassir(internal mufassir).dan faktor internal yang harus dimiliki seorang mufassir antara lain adalah[6]:
·         pertama, akidah dan metodologi yang digunakan seorang mufassir harus berdasarkan dengan ajaran syari’at.
·         memiliki tujuan yang benar dan tidak mengatakan apapun kecuali hal yang benar, serta tidak ada unsur duniawi dalam menafsirkannya.
·         memiliki kesungguhan dan kepahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat yang ditafsirkannya.
·         teliti dalam mengutip pendapat/riwayat dan selalu berpegang pada pendapat yang kuat.
·         mengikuti kaidah-kaidah penafsiran seperti yang telah ditetapkan oleh para Ulama, seperti lebih dulu menafsirkan ayat yang satu kepada ayat yang lain apabila ditemukan 2 ayat yang saling menafsirkan, dan seterusnya.   
2.      Aspek luar/(faktor ekternal) yang meliputi beberapa pengetahuan yang harus dimilki seorang mufassir agar tidak salah dalam melakukan penafsiran, beberapa ilmu/pengetahuan yang harus dimiliki seorang mufassir antara lain adalah[7]:
·         ilmu bahasa arab yang meliputi ilmu gramatikal (ilmu Nahwu), ilmu morfologi (sharf), dan ilmu sastra arab (ilmu balaghah).
·         ilmu tentang ragam bacaan Al qur’am (qira’ah).
·         ilmu akidah (ushul al din).
·         ilmu ushul Fiqh. kelima, ilmu tentang kronologi turunnya ayat (asbabun Nuzul),
·         ilmu Nasikh mansukh,
·         ilmu hadits,
·         Dan terakhir ilmu mauhibah(ilmu yang diberikan Allah SWT kepada orang yang mengamalkan ilmunya).
  1. PENGERTIAN METODE, METODOLOGI, SISTEM DAN KAITANNTA DENGAN TAFSIR.
Metode, secara bahasa(etimologi), Metode berasal dari kata Yunani, yaitu “Methodos”, sedangkan bangsa Arab menerjemahkannya dengan kata  tharikat dan Manhaj”. Dan kalau kita artikan dalam bahasa Indonesia, Metode merupakan sebuah cara yang teratur, dan cara befikir  yang baik untuk mencapai sebuah maksud dalam Ilmu pengetahuan dan sebagainya, atau bisa juga diartikan sebagai sebuah cara yang bersistem guna untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mendapatkan sesuatu yang ditentukan. Pengertian Metode secara umum dapat digunakan untuk berbagai objek, baik yang berhububungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, ataupun yang menyangkut pekerjaan fisik. Jadi bisa kita ketahui bersama bahwa Metode merupakan sebuah sarana yang teramat penting guna untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kaitannya dengan studi penafsiran Al qur’an, maka sebuah Metode mutlak dibutuhkan. Yakni sebuah cara berfikir yang baik, dan teratur guna untuk mencapai pemahaman yang baik dan benar tentang apa-apa yang dimaksudkan Allah SWT. lewat ayat-ayat-Nya yang terhimpun dalam kitab suci Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Definisi seperti ini, sekaligus menggambarkan bahwa sebuah metode tafsir Al Qur’an berisikan seperangkat kaidah dan aturan-aturan yang harus ditaati ketika menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Dan bisa dipastikan, ketika seseorang menafsirkan Al Qur’an tanpa menggunakan Metode tafsir Al Qur’an, maka penafsirannya pasti akan keliru.
Dan pembahasan yang selanjutnya adalah pengertian metodologi. Dimana pengetian dari metodologi adalah tidak lepas dari pengertian metode, karena antara kedua kata ini memiliki keterkaitan makna yang saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya. Artinya ketika mendefinisikan seputar metode, pastinya kita bisa mengetahui namanya Metodologi, terkhusus untuk metodologi Tafsir. Secara definif, Metodologi Tafsir artinya pembahasan ilmiyah tentang metode-metode penafsiran Al qur’an, atau metode-metode yang digunakan dalam menafsirkan Al Qur’an. Dari pengertian ini, maka kita bisa ketahui bahwa metode adalah cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an, sementara Metodologi tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang cara penafsiran Al Qur’an. Secara sederhana kita bisa ketahui bahwa Metode adalah merupakan cara-cara berfikir yang baik dan benar supaya dapat menghasilkan kongklusi benar dan jauh dari kesalahan, sedangkan Metodologi adalah ilmu yang membahas tentang cara-cara atau metode-meode tersebut.
Setelah mengetahui pengertian dari Metode dan Metodologi seperti yang telah disebutkan diatas, pembahasan yang selanjutnya yaitu tentang Sistem. Dimana, sistem ini juga memiliki keterkaitan makna antara Metode dan Metodologi. Secara definitif, sistem berasal dari bahasa latin yaitu “systema”dan bahasa Yunani yaitu “sustema“, yang artinya suatu kesatuan yang terdiri atas komponen atau elemen yang dihubungkan bersama, untuk mendapatkan aliran informasi, materi atau energi. Sedangkan menurut Wikipedia Indonesia, pengertian sistem yang paling umum adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan diantara satu dengan yang lainnya.
Setelah mengetahui makna mulai dari Metode, Metodologi, dan Sistem. Maka, Pembahasan yang selanjutnya adalah korelasi atau hubungan antara Metode, Metodologi, dan Sistem dengan Tafsir. Maka dapat kita simpulkan, bahwasannya seseorang Mufasir yang ingin melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur’an, hendaknya mempelajari dan menggunakan metode-metode(kaidah dan cara yang teratur serta berfikir baik), dan tersisitem atau tersusun, yang harus dimiliki oleh seorang Mufassir, guna untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud oleh Allah SWT. Yang termuat dalam Al Qur’an. Dan ilmu untuk menelaah metode-metode terdebut dinamakan Metodologi Tafsir. Dan apabila  seorang Mufasir yang menafsirkan Al Qur’an tanpa menerapkan metode, maka bisa dipastikan, bahwa penafsirannya akan keliru(kh).
F.  Sejarah Tafsir
1. Tafsir pada masa Nabi Muhammad SAW.[8]
Dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat Al Qur’an, Nabi Muhammad SAW. Tidak menggunakan bahasa yang bertele-tele atau bahkan berpanjang lebar atau sampai keluar kepada hal-hal yang tidak di inginkan . Pada tataran teknisnya, penafsiran yang dilakukan Nabi adalah selalu berdasarkan ilham dari Allah SWT. Atau terkadang nabi menasfsirkannya dengan ayat Al Qur’an yang lain, bahkan kadang juga dengan ijtihat beliau sendiri.
2. Tafsir pada masa Sahabat(paska kemangkatan Nabi Muhammad).
            Dalam menafsirkan ayat-ayat Al qur’an, sahabat terlebih dahulu mencarinya dalam Al qur’an apakah ada ayat yang bisa menafsirkannya atau tidak ada sama sekali. Kemudian setelah tidak menemukan ayat Al qur’an yang bisa menafsirkan ayat yang lainnya, maka para sahabat beralih ke sunah/hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Kemudian apabila dalam al qur’an dan as sunah tidak ditemukan juga ayat yang bisa menafsirkan ayat yang dikehendakinya, maka para sahabat melakukan penalaran dan mengambil Ijtihat dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Dan apabila dari ketiga jalam ini belum juga menemukan penafsiran yang dikehendakinya, maka para sahabat melakukan usaha yang terakhir yaitu menyandarkan penafsirannya pada orang-orang Yahudi dan Nasrani(ahli kitab)[9].
            Diantara sahabat yang banyak terkenal sebagai mufassir diantaranya adalah: al Khulafah al Rasyidin yaitu(Abu bakar al shidik w 13 H, Umar bin al Khatab w 23 H, Utsman bin Afwan w 36 H,  ali bin Abi Thalib w 40 H), Abdullah bin Mas’ud w 32 H, Abdullah bin Abbas w 68 H, Ubay bin Kaab w 33 H, Zait bin Tsabit w 48 H, Abu Musa al Asy’ari w 52 H, dan Abdullah bin Zubair w 73 H.[10]
3. Tafsir pada masa Tabi’in
            Seperti halnya pada masa sahabat, para tabi’in dalam menafsirkan al qur’an terlebih dahulu mencarinya dalam Al qur’an apakah ada ayat yang bisa menafsirkannya atau tidak ada sama sekali. Kemudian setelah tidak menemukan ayat al qur’an yang bisa menafsirkan ayat yang dikehendakinya, maka para tabi’in beralih ke sunah/hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Kemudian apabila dalam al qur’an dan as sunah tidak ditemukan juga ayat yang bisa menafsirkan ayat yang dikehendakinya, maka para tabi’in menafsirkannya berdasarkan perkataan dan ijtihat para sahabat. Dan apabila dari ketiga jalan ini tidak ditemukannya penafsiran yang dikehendaki, maka para tabi’in melakukan ijtihat, dan jalan terakhir yang ditempuh tabi’in dalam menafsirkan ayat adalah bertanya kepada ahli kitab. [11]
            Perbedaan penafsiran yang dilakukan pada masa sahabat dengan pada masa tabi’in diantaraya adalah:
  1. Frekwensi penafsiran yang dilakukan tabi’in lebih banyak dari pada penafsiran yang dilakukan pada masa sahabat.
  2. Periwayatan yang dilakukan pada masa tabi’in adalah dengan bertatap muka secara langsung(talaqi), sedangkan pada masa sahabat tidak demikian.
Diantara para tabi’in yang terkenal sebagai mufassir pada masanya diantaranya adalah: Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Thawus, yang mewarisi tafsir dari Ibn Abbas. Abu Aliyyah al Rayyahi, Zaid bin Aslam dan Muhammad bin Ka’ab al Qurzhi yang meneruskan riwayat dari guru mereka yaitu Ubay bin Kaab. Dan Masruq, al Nakha’i, Murrah al Hamdani, Qatadah al Sadusi, Amir al Syi’bidan, al Hasan al Bashri meneruskan jejak tafsirnya Ibn Ma’ud[12].















 















KETERANGAN:
  1. Komponen Eksternal: segala hal yang berkaitan dengan penyajian tulisan tafsir, seperti sistematika penulisan tafsir, dam bentuk penulisan atau penyajian tafsisr.
  2. Sistematika Penulisan: Rangkaian penulisan yang dipakai dalam penyajian tafsir.
  3. Sistematika Runtut: sebuah model penyajian tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada urutan ayat dan surat yang terdapat dalam al qur’an, atau mengacu pada urutan turunnya wahyu.(model ini umum dipakai oleh para mufassir). Seperti halnya tafsir:Tafsir al Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al Jalalain, hingga tafsir kontemporer seperti tafsir al Manar.[13]
  4. Sistematika Tematik/Maudhu’i: rangkaian karya penulisan tafsir yang struktur pemaparannya mengacu pada suatu tema tertentu atau pada ayat, surat, atau juz tertentu yang ditentukan oleh mufassir sendiri. Diantara tafsir yang menggunakan sitematika tesebut diantaranya adalah: Tafsir ayat al Ahkam, yaitu didalamnya khusus mengkaji mengenai nasikh mansukh, I’jaz al qur’an, dan balaghoh.[14]
  5. Bentuk Penyajian Tafsir: suatu bentuk uraian dalam menyajikan tafsir yang ditempuh oleh mufassir dalm menafsirkan Al qur’an.
  6. Bentuk Penyajian Global: suatu bentuk uraian dalam menyajikan karya tafsir yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al qur’an secara ringkas, tetapi mencakup seluruh kandungan ayat dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca. Model pemyajiannya berkaitan erat bahkan suatu representasi dari tafsir al Ijmali. diantara mufassir kontemporer yang menggunakan bentuk penyajian seperti ini adalah al Mahaali dan al Suyuthi, dalam kitap “Tafsir al Jalalain”[15]
  7. Bentuk Penyajian Rinci: suatu bentuk penyajian tafsir yang menjelaskan secara panjang lebar dan sangat luas pembahasannya. Model pemyajiannya berkaitan erat bahkan suatu representasi dari tafsir al Tahlili. Diantara kitap tafsir yang menggunakan bentuk penyajian ini adalah “Tafsir al Thabari”(Jami’ al Bayan)
  8. Komponen Intenal: segala hal yang terlibat dalam kegiatan penafsiran al Qur’an.
  9. Sumber Tafsir: sumber-sumber penafsiran yang dijadikan rujukan oleh para mufassir dalam menafsirkan al Qur’an. Baik sumber tersebut berasal dari Hadits Nabi Muhammad SAW. Tafsir para sahabat, tabi’in maupun dari ulama’-ulama’ tafsir yang sebelumnya.[16]
  10. Bil Ma’tsur/Riwayat: tafsir yang menggunakan riwayat sebagai pedoman dan landasan dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an. Riwayat yang dipergunakan yang pertama yaitu ayat-ayat al Qur’an, riwayat nabi Muhammad SAW. Riwayat para sahabat, dan riwayat dari para tabi’in. (penfsiran yang pertama kali muncul dalm khazanah intelektual tafsir al qur’an). Diantara kitab tafsir yang menggunakan tafsir macam ini adalah: “Tafsir al Thabari”, “Tafsir Ibn Ktsir”, “Tafsir Ibn Atiyah”, dan yang lainya.
  11. Bil Ra’yi/Logika: penafsiran yang menggunakan logika/rasio sebagai titik tolak dalam menafsirkan al Qur’an. Diantara kitab tafsir yang menggunakan peanafsiran ini, diantaranya adalah: “Mafatih al Ghaib” karangan Fakhr al Din al Razi, “Anwar al Tanzil wa Asrar al Ta’wil” Karangan Nashir al Din al Baidhawi, “Madarik al Tanzil wa Haqaiq al Ta’wil” Karangan Abu al Barkat al Nazafi, “Lubab al Ta’wil fi Ma’ani al Tanzil” karangan Abu Hayyan, “Tafsir al Jalalain” karangan Jalal al Din al Mahalli dan Jala al Din al Suyuthi, “Ruh al Ma’ani” karangan Syihab al Din al Alusi, “Mahasin al Ta’wil” karangan Jamal al Din al Qasimi dan lainnya.
  12. Bi al Isyari/Intuisi: penafsiran yang menggunakan Intuisi sebagai sumber utama dalam menafsirkan al Qur’an, atau penafsiran ayat-ayat al qur’an yang tidak sesuai dengan makna yang Nampak secara lahir, yaitu dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang tak terlihat/tersembuyi yang tampak oleh orang-orang yang sedang menjalani suluk, dan bisa dikompromkan dengan makna lahir/dhohir.(penafsiran yang berusaha memahami makna ayat-ayat al Qur’an dengan makna yang berada dibalik teks).
  13. Metode Tafsir: cara yang terartur dan berfikir baik-baik guna untuk mencapai maksud(dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya),atau sebuah cara yang bersistem untuk mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu yang di inginkan.
  14. Metode Atsari Nadlori: metode tafsir yang berusaha menafsirkan al qur’an dengan menggabungkan 2 sudut pandang metode tafsir, yaitu tefsir bil ma’sur dan bil ra’yu. Metode ini muncul sebelum adanya tafsir bil ra’yu, dan dikatakan pula bahwa tafsir ini adalah tafsir yang menjembatani antara tafsir bil matsur dengan tafsir bil ra’yu.
  15. Metode Tahlili/Analisis: suatu cara kerja penafsiran ayat-ayat al qur’an yang sesuai runtutan ayat dan surat yang terdapat dalam al qur’an, dengan menjelaskan segala hal-hal yang berhubungan setiap ayat, baik berupa makna, kosa kata, gramatika, satra, hukum, dan asbabun nuzul/sebab-sebab turunnya sebuah ayat, dan lain-lain. Metode tahlili menitik beratkan pada uraian penafsiran yag detail, mendalam dan komperhensip. Sehingga dapat memberikan informasi tentang sejarah, linguistic, kondisi social dan hal-hal yang berkaitan dengan teks ayat yag ditafsirkan.[17] Kondisi sosial dan hal-hal yang berkaitan dengan teks ayat al qur’an yang ditafsirkan. Dengan luasnya cakupan  yang terdapat dalam metode ini, banyak banyak tafsir yang masuk kedalam metode ini, mulai dari tafsir klasik hingga tafsir era modern. Beberapa tafsir yang menggunakan metode ini, antara lain adalah: “Tafsir al Thabari”(Jami’ al Bayan), “Tafsir Ibn ‘Athiyah”, “Tafsir al Wahidi”, “Tafsir Ibn Katsir”, “Tafsir al Kabir”(Mafatih al Ghaib), “Tafsir al Khazin”, “Tafsir al Syaukani” dan lainnya.
  16. Metode ijmali/Global: Penafsiran yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al Qur’an secara ringkas, tetapi dengan menggunakan bahasa yang popular, mudah dimegerti, dan enak dibaca. Beberapa kitab tafsir yang masuk kategori ini diantaranya adalah[18]: “Tafsir al Jalalain” karya Jalal al Di al Mahilli dan Jalal al Din al Syuyuthi, “Tafsir al Qur’an al Karim” karya Farid Wajdi, “Tafsir Kalam al Manan” karya Abd al Rahman Sai’id, “Tafsir al Ajza al Asyrah al Ula” karya Muhammad Syaltut dan lainnya.
  17. Metode Muqarran/Perbandingan: metode penafsiran yang mengumpulkan berbagai keterangan-keterangan tentang penafsiran sebuah ayat yang masih dalam satu pembahasan. Baik perbandingan tersebut antara ayat dengan ayat, ayat dengan Hadits Nabi, ayat dengan pendapat para sahabat, tabi’in, ataupun antara mufassir dengan mufassir lain, atau bahkan dengan kitab-kitab samawi(Taurat dan Injil). Kemudian menyelesakannya dengan dall-dalil yang lain.  Diantara kitab Tafsir yang menggunak metode ini, diantaranya adalah[19]: “al Qur’an al Karim wa al Taurah wa al Injil wa al Ilm”, buah karya Maurice Bucaille, dan “Muhammad fi al Taurah wa al Injil wa al Qur’an” buah karya Ibrahim Khalil.
  18. Metode Maudhu’i/Tematik: penafsiran yang pembahsannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al Qur’an. Tafsir ini terbagi menjadi 2 yaitu: pertama membahas satu surat secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum, dan khususnya secara garis besar dengan menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, antara satu pokok masalah dengan pokok  masalah yang lain. Diantara kitap tafsir yang menggunakan penafsran model ini adalah[20]: “al Tafsir al Wadhid” karya Muhammad Mahmud al Hijazi, “Nahwa Tafsir Maudhu’i Li Suwar al Qur’an al Karim” karya Muhammad al Ghazali, “Surat al Waqi’ah wa Manhajuhu fi al Aqa’id” karya Muhammad Gharib dan lain-lain.
  19. Corak Tafsir: arah penafsiran yang dihasilkan  dan kecenderungan sang penafsir dalam menafsirkan al Qur’an.
  20. Corak al Shufi/Tasawuf: corak penafsiran yang menggunakan teori analisis sufistik atau menta’wilkan ayat al Qur’an dari balik teks(esoterik) dan berdasarkan isyarat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya.[21] Tafsir ini terbagi menjadi 2  yiatu: sufi al Nazhari dan sufi al Isyari.
  21. Corak al Ahkam/Fiqh: corak tafsir yang digagas oleh para ahli huku(fuqoha’) yang  berorientasi pada seputar persoalan-persoalan hukum islam(fiqh) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul Fiqh.[22] Diantara kitap tafsir yang membahas secara khusus ayat-ayat hukum adalah “al Ahkam al Qur’am” Karya al Kiya  al Harrasi(w 504 H), “Ahkam al Qur’an li al Imam al Syafi’i”(kumpulan tafsir hukumnya imam Syafi’i)  karya Imam al Baihaqi (w 458 H), “al Ikil Fi Istimbath al Tanzil” karya Jalal al Din al Syuyuthi
  22. Corak al Falsafi/Filsafat: Penafsiran al Qur’an yang menggunakan frame filosof, baik berusaha melakukan sintesis (perpaduan) ataupun singkretisasi (penyesuaian) antara terori filsafat dengan ayat-ayat al Qur’an maupun yang berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan al Qur’an.[23] Diantara ulama’ yang mendalami corak tafsir ini, diantaranya adalah: al Farubi(w 339), Ibn Sina(370-428 H), dan Ibn Rusyd(1126-1198 M). Corak ini mulai masuk diranah tafsir yaitu dipelopori oleh al Razi dalam kitabnya “Mafatih al Ghaib” yang bertujuan untuk menolak ilmu filsafat itu sendiri.
  23. Corak al Ilmi/Ilmu pengetahuan: Corak tafsir yang berusaha menafsirkan ayat-ayat al Qur’an untuk mengukuhkan berbagai istilah ilmu pengetahuan, dan berusaha untuk melahirkan ilmu baru dari al Qur’an.[24] (tafsir yang didalamnya membahs mengenai kejadian-kejadian  alam/kauniyah, dan berusaha membuktikan bahwa didalam al Qur’an terapat berbagai macam ilmu pengetahuan, baik ilmu yang telah lewat maupun yang yang akan datang). Diantara ulama’ klasik yang mendukung corak ini adalah: imam al Ghazali dan al Syuyuthi. Dan diantara kitab tafsir kontemporer yang mendudung corak ini diantaranya adalah “al Asrar al Nuraniyah al Qur’aniyah” karya Mhammad bin Ahmad al Iskandarani, “al Jawahir fi Tafsir al Qur’an al Karim” atau “Tafsir al Jauhari”  karya Thanthawi Jauhari, “al Qur’an Yanbu’ al Ulum wa al Irfan” karya Ali Fikri, “al Tafsir al Ilmi Li al Ayat al Kauniyah” karya Hanafi Ahmad
  24. Corak al Adap al Ijtima’i/sosial masyarakat: Corak Tafsir yang berusaha menafsirkan al Qur’an dengan keadaan sosial yang ada di sekitar penafsir.[25] Tafsir ini muncul pada era kontemporer yang pertama kali dipelopori oleh Muhammad Abduh, yang kemudian diadopsi oleh para murid-muridnya dan para tokoh islam kontemporer lainnya. Tafsir ini lahir akibat ketidak- puasan para pengkaji tafsir, atas penafsiran yang selama ini berlaku. Diantara tafsir yang bercorak demikian diantaranya adalah: “Tafsir al Manar” Karya Rasyid Ridha (salah satu murid dari Muhammad Abduh), “Tafsir al Maraghi” Karya Muhammad Musthafa al Maraghi (salah satu murid dari Muhammad Abduh) “Tafsir al Qur’an al Karim” Karangan Mahmud Syaltut dan “Fi Zhilal al Qur’an” karya Sayyid Qutub
  25. Corak al Bayani/Sastra: Corak ini menitik beratkan pada pendekatan retorika keindahan bahasa(sastra), sehingga sering dan bahkan melupakan sisi lain dari al Qur’an yang layak untuk ditampilkan seperti kemukjizatan yang terkandung dalam makna-maknanya, ajaran-ajaran syari’at hukum-hukumnya, dan berbagai pedoman umat manusia lainnya.  Corak Tafsir ini sudah ada sejak pada masa nabi hingga sampai sahabat.  Diantara sahabat yang sering memakai corak ini adalah Ibn Abbas. Pada pada era berikutnya banyak tafsir yang bermunculan yang menggunakan metode ini, diantaranya adalah: “I’jaz al Qur’an” Karya Abu Ubaidah, “Ma’ani al qur’an” karya al Farra, dan kitab “Nazahm al Qur’an” karya al Jahizh.
  26. Corak al Lughawi/bahasa: Corak tafsir yang berusaha menjelaskan makna-makna al Qur’an melaluia pendekatan bahasa. Oleh karenanya mufassir harus mengetahui bahasa yang digunakan al qur’an, yaitu bahasa arap dan seluk beluknya, baik yang trkait itu ilmu nahwu, balaghoh, maupun satanya.






[1] Husain bin Ali al Harbi, “Qawaid al Tarjih inda al ufassirin”, vol I(Riyadh: Dar al Qasim, 1996) hal 29
[2] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 190
[3] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 191
[4] Jalal al Din al Syuyuthi, “al Itqan”, vol II hal 173
[5] Muhammad Husain al Dzahabi, “al Tafsir wa al Mufassirun”, Vol I, hal 20
[6] Muhammad Husain al Dzahabi, “al Tafsir wa al Mufassirun”, Vol I, hal 23
[7] Muhammad Husain al Dzahabi, “Ilmu al Tafsir”, (Kairo Dar al Ma’rifat, thj), hal 53-54

[8] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 201
[9] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 202-203
[10] Jalal al Din al Syuyuthi, “al Itqan”, vol II, hal 187
[11] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 209
[12] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 208

[13] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 224
[14] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 224
[15] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 226

[16] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 232

[17] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 227
[18] Fahd Ibn Abd al Rahman al Rumi, “Buhuts fi Ushul al Tafsir wa al Manahijuhu”, hal. 60
[19] Fahd Ibn Abd al Rahman al Rumi, “Buhuts fi Ushul al Tafsir wa al Manahijuhu”, hal. 60-62

[20] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 231
[21] Muhammad Husain al Dzahabi, “Ilmu al Tafsir”, (Kairo Dar al Ma’rifat, thj), hal 70
[22] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 244
[23] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 247
[24] Muhammad Husain al Dzahabi, “al Tafsir wa al Mufassirun”, Vol II, hal 349
[25] Forum Karya Ilmiyah PURNA SISWA 2011, “Al Qur’am Kita: Studi sejarah dan Tafsir Kalamullah”  hal 250

Tidak ada komentar:

Posting Komentar