Senin, 18 Juli 2011

KLASIFIKASI HADITS AHAD KEPADA SHAHIH, HASAN, DHAIF

          Seperti yang telah kita ketahui, Hadits Ahad merupakan macam dari hadits jika ditinjau dari segi banyak  atu sedikit rawi yang meriwayatkan suatu hadits. Karena Hadits jika ditinjau dari segi banyak  atau sedikit rawi yang meriwayatkan, hadits tersebut terbagi menjadi 2 macam,  yaitu: Hadits Mutawatir dan Hadits Aziz.  Hadits Mutawatir sebagaimana yang telah kita ketahui, meruakan hadits  yang memberikan faidah “ yaqin bil qath’I”(sepositif-positifnya), bahwa nabi Muhammad SAW. benar-benar bersabdah, berbuat atau menyatakan ikrar(persetujuan) didepan para sahabatnya, berdasarkan sumber-sumber yang banyak kita ketahui, yang mustahil mereka mengadakan persepakatan untuk berkata dusta. Melihat ta’rif Hadits mutawatir yang sudah sedemikian ketat, dan melihat sumber-sumber yang sangat meyakinkan akan kebenarannya, maka untuk menelaah dan mendeteksi akan identitas para perowinya dirasa tidak perlu. Berlainan dengan Hadits Ahad, yang masih memberikan faidah “dhanny”(prasangka yang kuat akan kebenarannya). Hal tersebutlah yang menjadikan kita mengadakan penelitian mengenai rawi-rawi yang meriwayatkan Hadits Ahad tersebut, supaya Hadits tersebut dapat diterima sebagai hujjah, atau ditolak, bila ternyata terdapat cacat-cacat yang mengakibatkan Hadits tersebut ditolak sebagi hujjah. Adapun pembagian Hadits Ahad sendiri terbagi menjadi 3 yaitu: shahih, hasan, dan dha’if.
            Dimulai dari yang pertama yaitu Hadits Shahih, seperti yang telah dikemukakan para Muhaditsin mengenai ta’rif hadits shahih yaitu Hadits yang dinukil/diriwaytkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung, tidak terdapat Illat(cacat), dan tidak jangal haditsnya. Setelah mengethaui ta’rif hadits shahih seperti yang telah disebutkan para Muhaditsin diatas, maka ada syarat yang bisa menjadikan suatu hadits supaya dapat digolongkan kedalam hadits yang shahih. Adapun  syarat-syarat tersebut, diantaranya adalah: rawinya bersifat adil, sempurna ingatannya, sanatnya bersambung, tidak terdapat cacat/illat, dan tidak janggal. Salah seorang Muhaditsin (Ibnu’s Shalah) berpendapat, syarat-syarat tersebut merupakan syarat-syarat yang telah disepakati oleh para Muhaditsin.
           

Pengertian dari adil pada pengertian hadits shahih di atas adalah seperti yang telah diungkapkan oleh Ar razi, menurutnya, adil adalah mengerahkan seluruh tenaga jiwa guna untuk selalu bertaqwa, meninggalkan  dosa-dosa besar, dan berusaha menjauhi dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-erbuatan mubah yang dapat menghilangkan keperwiraan(muru’ah). Syarat yang selanjutnya untuk hadits shahih adalah, perawi yang dhabith, dhabith atau kuat ingatannya dalam artian disini maksutnya ingatannya lebih kuat daripada lupanya, dan kebenaranya lebih banyak dilakukan dari pada berbuat salah. Adapun dhabith didsini terbagi menjadi 2 yaitu: dhabith shadri dan dhabith kitab. Pengaertian dari dhabith shadri disini adalah seorang yang mempuyai ingatan yang kuat, sejak dari dia menerima sampai ia meyalurkannya kepada orang lain, dan ingatannya itu dapat ia keluarkan kapan saja dan dimana saja ia kehendaki, maka ini dinamakan dhabith shadri. Adapun yang dinamakan dengan dhabith kitab adalah seorang yang mempunyai ingatan yang kuat, tetapi ingatannya itu tidak sekuat dhabith shadran, adapun kalau dhabith kitab, dia menyampaikan berita itu berdasarkan catatan, dan tidak bisa dikeluarkan kapan saja seperti dhabith shadran.
            Syarat yang selanjutnya dari Hadits shahih adalah sanadnya bersambung, artinya sanadya selamat dari keguguran rawi. Dengan kata lain, bahwa setiap rawi yang meriwayatkan dapat saling bertemu, dan langsung menerima dari guru yang memberinya hadits. Kemudian syarat yang selanjutnya yaitu rawinya selamat dari illalul hadits, ilalul hadits adalah suatu penyakit yang yang secra dhahir selamat dari cacat, tetapi pada hakikatnya terdapat penyakit yang dapat menodai suatu hadits. Syarat yang terakhir dari hadits shahih adalah terhindar dari kejanggalan matan(redaksi hadits), artinya kejanggalan itu teletak pada suatu hadits disebabkan adanya suatu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul(yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang lebih rajih(kuat) dari padanya, disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad atau rawi atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
Adapun klasifikasi dari hadits shahih terbagi menjadi 2 yaitu shahih lidhatih dan hasan lighairih. Adapun pengeertian dari shahih lidhatih adalah seperti yang telah disebutkan diatas yaitu suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, kuat ingatannya, bersambung sanandnya tidak terdapat illat didalamnya dan terhindar dari kejanggalan matan. Sedangkan kalau hadits shahih lighairih adalah suatu hadits yang  turun derajdnya dari hadits shahih lidhatih, disebabkan kehdabitan seorang rawi yang kurang sempurna, dan kedudukannya turun menjadi hadits shahih lighairih.
            Klasifikasi hadits Ahad yang selanjutnya atau yang kedua adalah hadits Hasan. Definisi Hadits hasan adalah seperti yang dikemukakakn oleh Jumhurul Muhaditsin,  Hadits hasan yaitu suaatu Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang adil, tetapi tidak begitu kuat ingatannya seperti hadits shahih, serta bersambung sanatnya dan tidak terdapat illat dan kejanggalan dalam matannya(redaksi hadits). Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan juga terbagi menjadi 2 yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairihi. Definisi hadits hasan lidhatih adalah seperti yang telah disebutkan diatas, suatu hadits yang memenuhi syarat-syarat dari hadits hasan yaitu rawinya adil, ingatannya tidak begitu kuat, sanadnya bersambung, tidak terdapat illat, dan redaksi haditnya (matan) tidak terdapat kejaggalan. Sedangkan definisi dari hadits hasan lighairih adalah hadits dhaif  yang disebabkan bukan karena rawinya pelupa,  banyak salah dan fasik, yang mempunyai mutabi’ atau syahid.
            Klasifikasi hadits Ahad selanjutnya atau yang terakhir adalah Hadits Dhaif, definisi dari hadits Dhaif adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Fachur Rahman, dalam bukunya “Ikhtisar Musthalah Hadits”. Dalam bukunya tersebut, dia memberikan ta’rif mengenai “Hadits Dhaif yaitu suatu Hadits yang telah kehilangan salah satu syarat dari hadits shahih atau hadits hasan”. Adapun pembagia atau klasifikasi hadits dhoif sendiri terbagi menjadi 3 bagian  yaitu: Dhaif berdasarkan kecacatan rawinya, Dhaif berdasarkan gugurnya rawi, dan Dhaif berdasarkan sifat matannya.
Fathur Rahman dalam bukunya “ Ikhtisar Musthalah Hadits”, telah mengemukakan bahwa pembagian Hadits Dhaif berdasarkan kecacatan rawi yang meriwayatkan, terbagi menjadi 12 hadits sebagai berikut: hadits maudlu’, matruk, (mungkar dan ma’ruf), muallal, mudraj, maqlub, mudltharrib, muharraf, mushahhaf, (mubham, majhul, dan matsur), (syadz dan mahfudz), dan hadits mukhtalif. Kemudian hadits Dhaif jika ditinjau dari segi gugurnya rawi, maka hadits tersebut terbagi menjadi 5 macam yaitu: hadits muallaq, mursal, mudallas, munqhati’ dan hadits mu’dhol. Adapun macam yang selanjutnya yaitu hadits Dhaif jika ditinjau dari segi sifat matannya(redaksinya), maka hadits tersebut terbagi menjadi 2 yaitu: hadits mauquf, dan hadits maqthu’.
Setelah mengetaui definisi  serta klasifikasi dari hadits Ahad seperti yang telah didemonstrasikan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa,  hadits Ahad merupakan salah satu  cabang dari hadits jika dilihat dari segi banyak ataupun sedikit rawi yang meriwayatkannya. Dan hadits Ahad sendiri terbagi menjadi 3 bagian yaitu: hadits shahih, hasan, dan dhaif. Adapun klasifikasi selanjutnya yaitu hadits shahih terbagi menjadi 2 yaitu shahih lidhatih, dan shahih lighairih, dan begitupun juga  dengan hadits hasan yang terbagi menjadi 2 yaitu, hasan lidhatih, dan hasan lighairih.
Sedangkan hadits dhaif ini sendiri terbagi menjadi banyak sekali ragamnya, karena hadits ini bisa kita kaji dari berbagi perspektif, kalu kita kaji dari perspektif berdasarkan cacatnya seorang rawi yang meriwayatkan, maka hadits ini terbagi menjadi 12 hadits,  seperti yang telah disebutkan diatas. Adapun kalau kita kaji dari perspektif gugurnya seorang rawi yang meriwayatka, maka hadits ini terbagi menjadi 5, seperti yang telah disebutkan diatas. Sedangkan perspektif yang terakhir dalam menkaji sebuah hadits dhaif yaitu berdasarkan sifat matannya(redaksinya), maka hadits ini terbagi menjadi 2 yaitu: hadits mauquf dan hadits maqthu’. (kh)
           
           

TELAH SEPUTAR NASIKH DAN MANSUKH

         Telaah seputar Nasikh dan Mansukh merupakan salah satu pembahasan dalam Ulumul Qur’an, dimana dalam pembahasan Nasikh dan Mansukh ini masih menuai kontradiksi.  Dari sebagian golongan ada yang mengatakan bahwa Nasikh dan Mansukh itu tidak ada. Terjadinya kontradiksi seputar Nasikh dan Mansukh ini akan menembah khazanah ke Islaman, dan memperluas cakrawala keilmuan kita. Karena disamping kita mengetahui Nasikh dan Mansukh dari segi Ulumul Qur’an, kita juga bisa mengetahui Nasikh dan Mansukh dari berbagi aspek yang ada. Oleh sebab itu terjadinya kontradiksi seputar Nasikh dan Mansukh mutlak terjadi, dan yang terpenting dari perbedaan tersebut bukanlah menganggap pendapat yang paling benar, tetapi bagaimana kita bisa menyatukan berbagi perbedaan tersebut sehingga saling bersinergi dan saling menguatkan antara pendapat satu dengan pendapat yang lain. Tentunya dalam menyatukan berbagi pendapat yang berlainan tersebut, haruslah memakai kaidah-kaidah yang dibenarkan oleh syara’, supaya pengertian Nasikh dan Mansukh tersebut tidak menjadikan kontradiksi lagi.
            Telaah seputar Nasikh dan Mansukh, sebenarnya merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas dan menelaah seputar ayat-ayat Al Qur’an yang dihapus dan ayat-ayat Al Qur’an yang menghapus.  Karena hampir semua Ulama’ menamakannya dengan ilmu Nasikh dan Mansukh. Dimulai dari pengertia Mansukh, Kalau ita telaah secara etimologi/bahasa, ini akan memunculkan wacana yang banyak sekali, diantara wacana yang banyak tersebut, dan yang dianggap sesuai dengan pengertian arti terminologi/istilah adalah”At Tagghyir wal Ibthaal wa Iqaamatisy Sya’I Maqaamahu”(mengubah dan membatalkan sesuatu yang lain sebagai gantinya).
            Karena inti dari pembahasan Nasakh secara terminologi/istilah, merupakan mengganti atau mengubah/membatalkan hukum syara’/peraturan, dengan cara membatalkan hukum syara’/peraturan yang pertama, diganti dengan hukum syara’/peraturan yang baru, yang berlainan ketentuan hukumnya.  Sedangkan pengertian dari Mansukh  dalam pengertian etimologi/bahasa adalah sesuatu yang dihapus/dihilangkan, dipindah, ataupun disalin/dinukil. Adapun Mansukh dalam pengertian terminologi/istilah, adalah dalil/hukum syara’ yang diambil dari hukum syara’ yang pertama yang telah dihpuskan oleh hukum syara’ yang baru, atau yang datangnya belakangan. Singkat kata, Mansukh merupakan ketentuan hukum  syara’ yang pertama yang telah dihapuskan oleh hukum syara’ yang baru, disebabkan oleh perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penghapusan hukum tersebut.
            Kalau kita telaah secara menyeluruh, pembahasan Nasakh(yang menghapus) dan Mansukh(yang dihapus), tidak hanya berkutat pada pembahasan ayat yang menghapus(nasakh), dan ayat yang dihapus(mansukh)saja,  Karena itu kita perlu membahas Nasakh, Nasikh, dan Mansukh. Nasikh kalau kita lihat dari pengertian etimologi/bahasa, merupakan sesuatu yang menghapuskan, atu menghilangkan, atau memindahkan, mengganti dan mengubah. Kalu kita lihat, pengerian nasikh disini hampir sam dengan pengertian Nasakh, bedanya kalau Nasikh adalah isim Fa’il(pelaku), sedangkan Nasakh masdar (objeknya).
            Adapun kalau Nasikh kita telaah secara terminologi/istilah, merupakan hukum syara’ yang menghapuskan, mengubah, dalil syara’ yang terdahulu, dan menggantinya dengan ketentuan dalil atau hukum syara’ yang baru. Dalam pengertian Nasikh secara terminologi tersebut, ada pendapat yang mengatakan bahwa Nasikh ini adalah Allah SWT. Seperti yang telah diungkapkan oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. dalm bukunya yang berjudul “Ulumul Qur’an”. Dalam bukunya tersebut, tepatnya dalam bab Nasikh dan Mansukh, Dia menggukapkan bahwa Nasikh adalah Allh AWT. Artinya, bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum syara’ tersebut, pada hakikatnya adalah Allah SWT, tidak ada yang lain. Karena semua hukum syara’ itu datangnya hanya dari Allah SWT, dan tidak dapat dirubah/diganti oleh orang lain. Definisi seperti ini, sejalan dengan firman Allah dalam (QS Al An’am:57). Yang artinya:”Sesungguhnya tidak ada hukum selain dari Allah”.
            Setelah mengetahui pengertian Nasakh, Nasikh  dan Mansukh seperti yang telah didemonstrasikan diatas, maka ada benang merah yang dapat kita tarik, bahwa pembahasan Nasakh dan Mansukh dalam Al Qur’an tidak hanya berkutat pada ayat yang menghapus(nasakh), dan ayat yang dihapus(mansukh) saja. Pembahasannya juga harus melibatkan Nasikh(yang menghapus) hukum, yaitu Alla SWT. Karena semua hukum syara’itu datangnya dari Allah, dan tidak ada seorangpu yang bisa menggantikannya. Dan terjadinya kontradiksi seputar Nasakh dan Mansukh itu mutlak terjadi, melihat begitu banyaknya ta’rif yang menjelaskan seputar hal tersebut. Terjadinya kontradiksi tersebut,  bukan berarti antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain saling bertentangan dan tidak dapat disatukan. Timbulnya perbedaan pendapat tersebut akan menambah kebendaharaan ilmu kita, dan akan menambah khazanah ke Islaman. Terjadinya kontradiksi seputar Nasakh dan Mansukh itu mungkin karena masih minimnya kita dalam menelaah Nasakh dan Mansukh, dan masih terbatas oleh pengetahuan yang kita miliki. Tetapi pada prinsipnya terjadinya kontradiksi tersebut mempunyai tujuan dan pengertian yang sama yaitu sama-sama mencari sebuah kebenaran, dan kebenaran itu mutlak diperoleh.(kh)