Jumat, 29 Juli 2011

PUASA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

                  Puasa yang merupakan salah satu dari rukun islam, merupakan suatu ibadah yang mempunyai nilai lebih, bila dibandingkan dengan ibadah-badah yang lain. Berbeda dengan ibadah yang lain, puasa merupakan ibadah yang bersifat prifat(pribadi), yaitu ibadah yang hanya diketahui oleh orang yang berpuasa dengan tuhann-Nya. Hal ini berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, misalnya saja  sholat,  ibadah yang satu ini, selain diketahui oleh orang yang melakukan sholat dan Tuhan-Nya, ibadah ini juga bisa dinilai oleh orang lain, begitu juga dengan ibadah yang lain, zakat, haji, dan sebagainya. Ibadah-badah yang semacam ini berbeda halnya dengan berpuasa, kita bisa saja bilang sedang berpuasa, meskipun orang lain tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kita sedang tidak berpuasa. Akan tetapi yakinlah bahwa Allah SWT maha melihat, dan maha tahu atas segala sesuatu.
            Meskipun bersifat prifat, yaitu hubungan simbolik antara Tuhan dan makhluknya guna untuk mendapatkan motifasi simbolik, yang mengantarkan seseorang menuju keseimbangan antara iman dan kesalehan. Dalam menjalankan puasa, kita banyak dijanjikan oleh Allah dengan berbagai macam pahala, dan kenikmatan yang akan kita raih kelak dihari kemudian. Akan tetapi, sering kali puasa kita lakukan hanya ingin mendapatkan pahala dan kenikmatan-kenikmatan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT. kelak dihari kemudian. Dan sering kali kita melupakan tanggung jawab sosial, yang sebenarnya itu merupakan puncak dari ibadah ritual kita, seperti halnya bersedekah, menolong orang yang kekurangan, memberi makan bagi orang yang mau berbuka dan yang lain sebagainya.

            Hal yang demikian, seperti bersedekah, menolong orang yang membutuhkan, dan memberi ta’jil(makanan buat berbuka), merupakan  perintah Allah yang bersifat simbolik, agar kita lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat sosial, disamping mengerjakan ritual yang bersifat prifat/pribadi(puasa). Iman merupakan simbol dari perbuatan-perbuatan yang bersifat ritual, sedangkan amal shaleh merupakan simbol dari amal-amal yang bersifat sosiologis. Ironisnya, yang terjadi sekarang, kesalehan yang bersifat sosiologis sering kali dilupakan,  demi mengerjakan kesalehan yang sifatnya ritual, seperti sholat, puasa dan sebagainya. Seperti halnya orang yang sedikit mengeerjakan amalan yang sifatnya ritual, dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan ibadah yang sifatnya soaial yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi), dan aktif diberbagai kegiatan sosial, ini sering kali dianggap tingkat religiusnya rendah. Sebaliknya orang yang sibuk melaksanakan ibadah yang sifatnya ritual, dianggap lebih tinggi tingkat religiusnya.
Lebih Ironisnya lagi, antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosiologis, dianggap tidak memiliki hubungan apa-apa. Akibatnya banyak orang yang setiap tahun mengeerjakan ibadah haji, akan tetapi mereka tidak memperhatikan persoalan yang terjadi disekitarnya. Ini semua terjadi karena mereka lebih senang mengerjakan ibadah yang sifatnya ritual dan pribadi, yang telah dijanjikan pahalanya oleh Allah SWT. kelak dihari nanti,  dari pada mengerjakan ibadah yang sifatnya sosial, yang melibatkan oleh banyak orang. Dari perspektif ini, kita bisa memahami, sekalipun banyak orang yang mengerjakan ibadah dimana-mana, kuantitas orang naik haji semakin meningkat dari tahun ketahun, jama’ah majlis ta’lim tubuh dan berkembang di kantor-kantor, akan tetapi pada saat yang sama, korupsi semakin merajalela, dana anggaran pemerintah bocor dimana-mana, bahkan diberbagai sektor, mulai dari bawahan sampai atasan. Ternyata hal yang demikian, korupsi dan sebagainya, dilakukan oleh orang yang secara ritual keagamaan dinilai cukup taat, seperti mengerjakan sholat, puasa zakat, haji dan sebagainya.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa, ibadah ritual yang kita lakukan, seolah-olah tidak mempunyai dampak positif bagi ibadah sosiologis, yang sifatnya sosial dan menyeluruh, yang semestinya itu merupakan puncak dari ibadah ritual yang kita kerjakan. Lebih ironisnya lagi, ada sekelompok orang yang mengatas namakan kesalehan, dan ketaaan beragama, melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang melakukan perusakan kehidupan sosial, yang akhirnya fenomena seperti ini lebih dikenal dengan kekerasan spiritual. Dari fenomena tersebut, kita harus mendefinisikan ulang terhadap konsep pahala dan dosa.
Selama ini, kita mengenal bahwa pahala adalah kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah SWT. yang akan kita rasakan di kemudian hari. Dan dosa adalah balasan atas apa yang telah kita lakukan didunia, dan akan kita pertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Pahala yang dimaknai sebagi tabungan kita kelak dihari kemudian, musti kita wujudkan dan kita orientasikan dalam pengertian yang bersifat sosiologis. Artinya, ibadah yang kita lakukan, baik itu bersifat sosial maupun indifidul, harus kita konsepsikan sebagi sarana untuk melakukan ibadah sosial, demi terwujudnya hukum sosial yang sesuai dengan tatanan syariat, dan hukum sosial. Seperti halya, kita musti berjalan melalui jalur kiri. seandanyai kita berjalan dari jalur kanan, meskipun secara teologis kita tidak berdosa, tapi secara sosiologis sebenarnya kita telah bertdosa. Apa dosanya? Mungkin saja kalu kita berjaln dari jalur kanan mengakibatnya terjadinya kecelakaan.
Artinya dosa tidak selamanya kita artikan secara eskatologis, tetapi dosa juga harus kita artikan secara sosialis, atau sebagai sesuatu yang dapat menghambat dan mengganggu terjadinya keseimbangan sosial. Begitupun dengan pahala, jangan selamanya pahala kita artikan secara eskatologis saja, akan tetapi, pahala juga harus kita maknai sebagai sesuatu yang mendorong terjadinya keteraturan, keserasian dan keseimbangan sosial. Karena iu, puasa yang didalamnya terdapat larangan makan, minum dan sebagainya, sebenarnya merupakan simbol untuk melatih diri agar tidak berbuat rakus dan serakah. Kemudian pusa sebagi tameng untuk tidak tamak dan rakus terhadap sesuatu yang bukan milik kita. Dan yang paling urgen dari puasa sebenarnya adalah kita dilatih untuk lebih peduli dengan apa yang ada disekitar kita, seperti sadakah, zakat, memberi ta’jil(makanan untuk berbuka puasa) dan sebaginya. Jika seandanya kita rajin mengerjakan puasa Ramadhan, shalat malam setiap malam, dan mengerjakan puasa sunah dan kebajikan-kebajikan yang lainnya, tetapi kita tidak mempunyai kepedulian sosial disekitar kita, maka ibadah ritual kita tidak akan bermakna apa-apa. Karena, dari ibadah yang sifatnya ritual tersebut, diharapkan akan ada dampak nyata pada prilaku-prilaku soaial (kh).