Kamis, 22 Maret 2012

MENGENAL LEBIH DEKAT ZAMAKHSYARI LEWAT KARYANYA


               Salah satu Ulama’ yang mempunyai peran besar terhadap penyebaran ilmu tafsir, terkhusus dalam hal kebalaghahan(sastra) serta kebahasaannya, diantaranya adalah Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad al Zamakhsyari al Khawarizmi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abu al Qasim, yang juga dijuluki sebagai “Jar Allah”(tetangga Allah). Julukan tersebut diberikan kepada Zamakhsyari karena dalam beberapa tahun dia pernah tinggal dekat ka’bah, yang pada akhirnya dijuluki “Jar Allah” yang berarti tetangga Allah.
            Zamaksyari lahir pada hari rabu tanggal 27 Rajab Tahun 467 H. didaerah Zamaksyar, pada masa pemerintahan Jalal al Dunya wa al Din Abi al Fatah Malak Syah, yang digambarkan merupakan Dinasti terbesar yang belum pernah ada sebelumnya, baik pemerintahan Romawi maupun pemerintahan Arab. Terutama dalam bidang perdagangan, industri(pabrik), seni dan sastra arab. Zamaksyari wafat pada tahun 538 H dan dimakamkan didaerah Jurjaniyah Khawarizm.
            Zamaksyar merupakan salah satu daerah yang terletak di kawasan Khawarizm (Bukhara’) Asia tenggara. Dan Bapaknya adalah salah seorang Ulama’ besar yang cukup berpengaruh di daerahnya. Dan dari bapaknyalah, Zamaksyari mulai belajar ilmu pendidikan dasarnya, serta mulai menghafal al Qur’an, yang kemudian melanjutkan studinya di Khawarizm(Bukhara). Dalam kehidupannya sejak kecil, Zamksyari terbiasa hidup dalam keluarga yang susah. Disamping itu, dia harus menggunakan kaki palsu untuk dapat berjalan, karena kakinya telah patah. Dalam hal ini terdapat riwayat yang menceritakan tentang perihal patah kakinya. Dalam satu riwayat ada yang menyebutkan bahwasannya ketika Zamaksyari melakukan perjalanan dengan menunggang kuda dimusim dingin, tiba-tiba ada salju jatuh menimpa Zamaksyari yang akhirnya dia terjatuh dari kudanya dan  mengakibatkan kakinya patah.
            Dalam riwayat lain(menurut Zamaksyari sendiri), bahwa patah kakinya tersebut karena do’a ibunya. seperti dalam pengakuannya karena pada waktu kecil dia sering bermain burung yang diikat kakinya. Dan ketika burung tersebut masuk pada sebuah lobang, dengan tanpa sengaja, ia menarik burung tersebut yang akhirnya kakinya patah. Melihat kejadian itu, ibunya menaruh kasian terhadap burung tesebut, seraya berkata: “Allah akan memotong kakimu sebagaimana engkau memotong kaki burung tersebut”.
            Meskipun ditimpa tuntutan hidup dan ekonomi yang begitu berat, namun hal tersebut tidak menyurutkan niat dan tekat ilmiahnya yang begitu kuat, kemudian dia putuskan untuk meninggalkan daerahnya dan menuju Khawarizm(Bukhara). Yang pada saat itu merupakan pusat perkembangan bahasa dan sastra arab, yang telah banyak melahirkan pujangga-pujangga besar, dan juga ilmuan-ilmuan besar muslim yang diantaranya adalah al Biruni (w.440 H), yang digambarkan dia merupakan salah satu tokoh terbesar pada zamannya, dan bahkan dia merupakan salah satu tokoh legendaris sepanjang zaman.
            Dalam petualangannya menuntut ilmu, Zamaksyari adalah salah seorsng yang bertuntung, karena dapat belajar bahasa dan sastra arab secara langsung kepada seorang yang mempunyai otoritas didalam bidangnya, yang telah menjadi rujuksn oleh para ahli bahasa dan sastra arab lainna. Dia adalah Mamud Jarir al Dhabbi al Asfahani yang biasa dipanggil Abu Musa al Nahwi (w. 507 H). bahkan Zamaksyari merupakan salah seorang murid al Dhabbi yang menonjol dalam hal keilmuan, bahkan Zamaksyarilah yang mampu menciptakan metode yang berbeda dengan metode yang telah diajarkan oleh gurunya tersebut. Dalam hal bahasa dan sastra arab, al Dhabbi mendapatkan julukan “Farid al Ashr  wa Wahid al Dahr” yang artinya satu-satutunya tokoh yang tiada tandingnya dalam hal  bahasa, dan satra ararb serta ilmu nahwu. Dan dialah yang pertama kali membawa paham Mu’tazilah ke daerah Khawarizm, yang dengann keluhuran budi pekertinya akhirnya dia mendapatkan banyak pengikut.
            Perjalanan ilmiyah Zamaksyari telah banyak dipengaruhi oleh al Dhabbi, bahkan hubungan antara keduanya sudah seperti antara anak dengan bapak, bahkan al Dhabbi sangat memperhatikan kehidupan Zamaksyari. Dan disamping hubungan tersebut, al Dhabbi telah memiliki hubungan yang baik kepada Nizam al Mullk yang pada akhirnya berpengaruh juga terhadap Zamakzyari. Hingga pada akhirnya mengantarkan Zamaksyari memperoleh banyak fasilitas dari seorang Sultan, dan bukan hanya itu, Zamaksyari juga berharap untuk bisa mendapatkan pangkat dan jabatan dari seorang Sultan tersebut. Dan untuk hal itu, dia banyak menyusun syair’-sayair yang berisi pujian-pujian terhadap sang Sultan.  Pada hakikatnya dia merasa kagum terhadap orang-orang yang begitu tulus dan ikhlas untuk berkhitmat pada islam tanpa mengharapkan pangikut dan jabatan. Dan hal inilah ternyata yang mengusik jiwanya, yang pada akhirnya menjadikan dia jatuh sakit. Dan ketika Zamaksyari jatuh sakit, dia menyadari bahwa kesalahannya selama ini adalah berharap pangkat dan jabatan yang akan diberikan sang Sultan kepaadanya. Untuk menghindari hal tersebut, dia memutuskan untuk menjauhkan diri dari sang Sultan, yang pada akhirnya dia pergi ke Makkah, dan tinggal beberapa tahun disana, yang pada akhirnya dia dijuluki sebagi “Jarrullah”.
            Dan di Mekkah inilah Zamaksyari mulai mempelajari buku-buku imam Sibawaih dengan membacanya didepan Abdullah bin Thalhah al Yabari(w. 518 H.), bahkan dia sempat tinggal beberapa tahun bersama Abdullah bin Thalhah. bersama Thalhah inilah Zamaksyari mengunjungi beberapa kawasan yang ada tanah arab. Dan setelah tinggal beberapa tahun di Makkah bersama Thalhah, rasa rindu pada daerahnya, dan rasa ingin memiliki pangkat dan jabatan timbul lagi, dan saat itu dia putuskan untuk pulang ke daerahnya. Dalam perjalanannnya pulang menuju Khawarizm, ditengah-tengah perjalanan tiba-tiba dia menangis dan menyesali dirinya karena hampir-hampir melakukan kesalahan untuk yang kedukalinya. Dia juga sangat menyesal mengapa sampai meninggalkan Makkah.
            Dan setibanya di Khawarizm, ia menjumpai suasana yang berbeda dari suasana yang dahulu, karena saat itu Khawarizm telah dipimpin oleh seorang ilmuan sekaligus seorang Ulama’, yaitu Muhammad Khawarizmsyah (w. 521 H.). setelah dia wafat, kedudukan akhirnya digantikan oleh anaknya yang bernama Atasz (w 551 H.).  lewat anaknyalah tulisan Zamaksyari, “Muqaddimah al Adap” mendapatkan perhatian. Dalam bukunya tersebut, Zamaksyari berbicara tentang ketinggian ilmu dan sastra.
            Setelah usianya mulai agak lanjut, kerinduannya kepada Makkah mulai terasa lagi, yang pada akhirnya dia melakukan perjalanan ke Makkah untuk kedua kalinya. Dan di Makkah inilah dia mulai menyusun kitab “Al Khasyaf”setelah itu ia kembali lagi ke kota asalnya, Khawarizm. Dan dalam perjalanan pulannya menuju Khawarizm, ia menyempatkan diri untuk singgah di Bahdad, tahun 533 H. dengan menyempatkan diri untuk membaca buku-buku bahasa dan sastra karya Abu Manshur al Jawaliqi. Dalam pandangan Abu al Yaman Zabid bin al Hasan al Kindi atau Taj al Din (w 613 H) bahwa Zamaksyari adalah orang non Arab yang pada masa itu sangat menguasai bahasa dan saatra Arab.
             Dalam kehidupannya sehari-hari, Zamaksyari disibukan dengan aktifitasnya yang bergelut dengan ilmu pengetahuan serta penyusunan kitab-kitap. Dan hal inilah yang akhirnya dipilihnya hingga sampai masa tuanya, dan hingga akhir hayatnya dia belum menikah. Dalam pandangannya, dia berpendapat bahwasannya: “seorang wanita di nikahi bukan hanya karena kecantikannya saja, akan tetapi yang terpenting adalah melindunginya”. Oleh karena itu apabila kecantikan dan perlindungan berkumpul menjadi satu, maka itulah kehidupan yang sempurna. Akan tetapi meskipun dia berpendapat demikian, dia lebih senang bergelut dengan ilmu pengetahuan, dan penyusunan kitab, serta berada di tengah-tengah muridnya.
            Hal ini diduga karena pengaruh dari keluarganya yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung, dan juga kondidisi fisiknya yang cacat sejak kecil. Sehingga kekurangan inilah yang dijadikan Zamaksyari untuk tergerak hatinya untuk dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Dan hal ini di buktikannya dengan belajar bergbagai cabang disiplin ilmu pengetahuan seperti kalam, fiqih, hadits, tafsir, bahasa dan sastra arab, seni dan lain sebagainya. Maka tidak heran jika pada akhirnya Zamaksyari dijuluki sebagaoi ulama’ ensiklopedis dengan berbagai julukan yang telah diberikan oleh kalangan ulama’ pada zamannya. Sam’ani misalnya, mengatakan bahwa Zamaksyari adalah Ulama’ yang mencapai derajat tertinggi dalam bidang bahasa dan sastra arab. Sedangkan Ibn al Anbari memujinya sebagai seorang Ulama’ ahli ilmu nahwu yang tiada bandingnya.
            Adapun menurut Ibn Kalkan, Zamaksyari adalah tokoh  dizamannya terutama dalam bidang seni. Sementara itu, Ya’qut menilai bahwa Zamaksyari adalah tokoh dalam bidang tafsir, nahwu, bahasa dan sastra arab. Selain itu, Zamaksyari juga seorang ulama’ yang yang luas ilmunya, memiliki keagungan serta memiliki berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan dia menyifati dirinya sebagai barometer sastra  (Ka’bah al Adab)di Khawarizm. Untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmunya tersebut, Zamaksyari mendirikan sebuah Madrasah guna untuk menyebar luaskan ilmunya kepada para muridnya, selain itu, dia juga berusaha menanamkan idiologi Mu’tazilah kepada para muridnya tersebut. Dalam penilain muridnya, kebanyakan menganggap bahwa Zamaksyari adalah seorang ulama’ yang ahli dalam bidang bahasa arap, sastrawan, faqih, serta  ahli syi’ir dam lain sebagainya. Selain itu para santrinya juga menilai bahwa Zamaksyari merupan seorang ulama’ yang berakhlak mulia serta berkepribadian ilmiyah.
Sedangkn untuk karyanya “Al Khasiyaf” ini, merukan kitap tafsir yang sangat menonjol di bidang ilmu Balaghahnya. Selain itu, dari sudut bahaghahnya, Zamaksyari mampu menunjukan kei’jazan Al Qur’an. Maka tidak heran apabila karyanya ini mampu menyihir para pengikutnya, hal itu karena kepiawaian Zamaksyari dalam menampilkan bentuk penafsiran dalam bentuk kebahasan(al Lughawi). Selain itu, kitap inilah yang selalu dijadikan rujukan oleh para mufassir dalam hal balaghahnya.
            Melihat perjalanan hidup serta karya-karya yang di hasilkannya  lewat kegiatan ilmiyah yang telah digelutinya sejak kecil, maka untuk sementara bisa diambil kesimpulan bahwa Zamaksyari adalah salah seorang Ulama’ yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, serta memiliki keahlian dibidang bahasa dan sastra arab. Sementara itu kecenderungannya terhadap Mu’tazilah bisa kita lihat dari pengaruh gurunya, yaitu al Dhabbi. Dimana seperti yang kita ketahui bersama bahwa al Dhabbi lah yang pertama kali memperkenalkan Mu’tazilah terhadap penduduk Khawarizm, yang pada akhirnya aliran tersebut menjadi mayoritas bagi penduduk Khawarizm.(kh).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar