Minggu, 20 Mei 2012

PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH[1


*Moh Khoiri
Sejarah Singkat Mu’tazilah.
Jika kitau telaah dari sudut pandang bahasa, kata Mu’tazilah berawal dari kata “I’tizal” yang berarti meninggalkan, menjauh, dan memisahkan diri[2].  Sedangkan jika kita kaji dari segi istilah, maka para peneliti berbeda pendapat dalam memahami nama Mu’tazilah[3]. Sebagin ada yang berpendapat bahwa Mu’tazilah adalah sebutan yang diberikan oleh rival mereka, yaitu kaum ahlu sunnah. Dan sebagin lain mengatakan bahwa nama Mu’taziah adalah nama yg diberikan oleh mereka sendiri(kaum Mu’tazilah). Sebagian lagi mengatakan bahwa munculnya Mu’tazilah adalah erat kaitannya dengan situasi politik pada masa perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Syufyan.
Dari berbagai pendapat tersebut, pendapat pertama yang diberikan oleh rival mereka patut untuk dipertimbangkan. Bahwa nama Mu’tazilah yang diberikan oleh mereka adalah berkaitan dengan keluarnya Wasil bin Atha’ al Ghazzal dari forumnya Hasan al Bashri terkait dengan peseteruan diantara mereka seputar pelaku dosa besar. Wasil mengatakan bahwa pelaku dosa besar yaitu mereka yang tidak mukmin dan tidak kafir, mereka berada di 2 tempat(al Manzilah bayina Manzilatain). Dan pendapat inilah yang akhirnya mengakibatkan Hasan al Bashri mengusir Wasil dari forumnya. Dan hal ini pula yang menjadikan Wasil untuk terus mempertahankan  pendapatnya, hingga pada akhirnya dia menemukan sekumpulan orang yang berada di Masjid Bashrah, hingga akhirnya dia mendeklarasikan pendapatnya tersebut.
Diantara mereka yang sepakat dengan pendapatnya antara lain, adalah: Amir bin Ubaid dan beberapa orang lain yang berada di masjid Bashrah. Dari sinilah mereka akhirnya dinamakan Mu’tazilah. Karena mereka telah berpendapat menyalahi aturan umat Islam, dan mereka juga telah mendakwakan bahwasannya orang fasik adalah mereka yang tidak mukmin dan tidak kafir. Dan diantara ayat a Qur’an yang menjadi pijakan kaum Mu’tazilah diantaranya adalah (Qs:al Muzammil:10)[4].
÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã $tB tbqä9qà)tƒ öNèdöàf÷d$#ur #\ôfydWxŠÏHsd ÇÊÉÈ  
10. Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.
Dalam pandangan mereka, ayat al Qur’an  di atas dipahaminya bahwa menjauhi mereka adalah menyingkir atau meninggalkan dunia.
Diantara ayat lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah (Qs:al Maryam:40).
$¯RÎ) ß`øtwU ß^̍tR uÚöF{$# ô`tBur $pköŽn=tæ $oYøs9Î)ur tbqãèy_öãƒ ÇÍÉÈ  
40. Sesungguhnya Kami mewarisi bumi[5] dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan.
(Qs: al Kahfi:16).
ÏŒÎ)ur öNèdqßJçGø9utIôã$# $tBur šcrßç6÷ètƒ žwÎ) ©!$# (#ÿ¼ãrù'sù n<Î) É#ôgs3ø9$# ÷Žà³^tƒ ö/ä3s9 Nä3š/u `ÏiB ¾ÏmÏGyJôm§ ø×Ähygãƒur /ä3s9 ô`ÏiB /ä.̍øBr& $Z)sùöÏiB ÇÊÏÈ  
16. Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu[6].
Sedangkan pendapat yang masyhur mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah menjukuki dirinya sendiri dengan sebutan “Ahl al Adl wa al Tauhid”(penegak keadilan dan Tauhid). Maksud dari Tauhid disini adalah mereka yang meniadakan sifat-sifat Tuhan. Karena dalam akidah mereka, adanya sifat-sifat bagi Tuhan akan menyebabkan penyerupaaan. Adapun al Adl mereka bermaksud untuk mensucikan Allah dari sifat Dzalim(menganiaya).
Darisinilah mereka berkeyakinan bahwa manusia memiliki kehendak sendiri dan bebas menentukan pilihannya sendiri, bukan karena Qadha’ dan Qhadar yang telah ditetapkan sejak zaman azali[7].
Dengan demikian dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya sebab eksplisit yang melarbelakangi munculnya Mu’tazilah adalah peristiwa keluarnya Wasil bin Atha’ dari forumnya Hasan al Bashri terkait tentang peristiwa“al Manzilah bayna al Manzilatain” . Dan didukung dengan berbagai referensi yang menyebutkan bahwasannya Wasil bin Atha’ adalah orang pertama yang mencetuskan ide itu[8]. Dan aliran ini baru muncul pada akhir abat pertama pada masa Hasan al Bashri, tepatnya Mu’tazilah lahir di kota Bashrah yang pada saat itu adalah pusat peradaban yang dipenuhi oleh berbagai aliran pemeikiran[9].

Sumber Mazhab Mu’tazilah.
Mayoritas para pemuka Mu’tazilah mereka berusaha untuk menisbatkan mazhab mereka kepada Nabi Muhammad SAW. dan yang lebih ekstrim mereka menggangap hanya mazhab merekalah yang sambung kepada Nabi dan tak ada golongan lain yang menyamainya[10]. Mereka yang berusaha menisbatkan mazhabnya kepada Nabi Muhammad SWA, dengan argument sebagaimana dikutip dari al Bulkhi.
Menurut al Bulkhi, Wasil dan Amer bin Ubaid menuntut ilmu dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al Hanafiyah, yang belajar dari ayahnya Muhammad bin al Hanfiyah, dan ayahnya belajar dari Ali bin Abi Thalib, sedangkan Ali yang sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa dia adalah orang yang dekat dengan Nabi, dia tumbuh dan berkembang dalam didikan Nabi, secara tidak langsung Ali menerima ilmu dari Nabi. Meskipun Ali belajar dengan Nabi tidak lebih dari 10 tahun lamanya, akan tetapi banyak hal dan peristiwa besar yang disaksikannya bersama Nabi, hingga pada meninggalnya Nabi Ali masih bersama beliau.
Meskipun demikian, Mu’taziah memiliki keungguan-keunggulan bila dibandingkan dengan golongan lain, diantara keungulan-keunggulan tersebut adalah[11]:
1.      Adanya keterikatan serta rasa bangga terhadap mazhab mereka.
2.      Adanya perasaan superioritas yang mereka miliki karena telah berani menyalahi pandangan umat islam pada umumnya.
3.      Dan kebanyakan dari pokok-pokok dan cabang mazhab mereka di adopsi dari sumber-sumber filsafat dan
ajaran agama lain. Dan hal inilah yang menjadikan kaum muslimin pada umumnya menjauhi kaum Mu’tazilah.

Antara Mu’tazilah, Qadariyah dan Jamhiyah/Jabariyah.
Keterkaitan antara ketiga aliran tersebut adalah meskipun aliran Qodariyah dan Jabariyah telah lama tiada. Akan tetapi ajaran-ajarannya masih tetap lestari. Hingga pada akhirnya kedua ajaran aliran tersebut segar kembali ketika diadopsi oleh kaum Mu’tazilah. Sehingga tidak heran jika al Syafi’i menyebut Wasil, Umar, Ghailan al Dimasyq sebagai 3 serangkai yang seide. Diantara paham-paham aliran yang telah diadopsi oleh Mu’tazilah dari kedua aliran tersebut diantaranya adalah:
1.      Dari golongan Qadariyah, Mu’tazilah mewarisi paham mereka tentang penolakan adanya takdir atau Intervensi Allah, dan menyandarkan semua perbuatan manusia  kepada dirinya sendiri[12].
2.      Dari golongan Jabariyah, Mu’tazilah mewarisi banyak paham-paham dari mereka, diantaranya adalah: meniadakan sifat Allah, al Qur’an adalah Makhluk, serta pengingkaran mereka terhadap kemungkinan manusia melihat Allah dengan mata telanjang di akhirat kelak.

Iman Menurut Pandangan Mu’tazilah.
Dalam pandangan Mu’tazilah, seseorang baru dikatakan beriman apabila mereka telah mengerjakan semua kewajiaban yang telah diperintahkan-Nya, serta meninggalkan segala dosa besar. Menurut Mu’tazilah Iman bukan hanya pengucapan dalam lisan an sich, akan tetapi mengucapkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati, serta melaksanakannya dengan perbuatan[13].

Dasar Pemikiran Kaum Mu’tazilah.
Dasar pemikiran, atau landasan dasar kaum Mu’tazilah dalam memahami iman terletak pada 5 dasar pilar kebangsaan kaum Mu’tazilah. Dimana seseorang menamakan dirinya sebagai bagian dari Mu’tazilah, maka mereka harus memegang erat-erat 5 dasar pokok ini. Selain itu, seseorang tidak akan dijuluki sebagai kaum atau aliran Mu’tazilah apabila salah satu dari 5 iman tersebut tidak ada. 5 dasar iman tersebut diantaranya adalah:
1.                  Al Tauhid(keesaan Allah).
2.                  Al Adl(keadilan Tuhan).
3.                  Al Manzilah Baiyna Manzilataini(tempat diantara 2 tempat).
4.                  Al Wa’d al Wa’id(Janji dan ancaman).
5.                  Al Amar bi al Ma’ruf wa al Nahy an al Munkar(Memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan).
Pada dasarnya konsep Mu’tazilah “al Ushul al Khamsah” dan cabang-cabang pemikiran yang lainnya bukanlah murni dari pemikiran mereka, dan bukan berdasarkan sumber ajaran islam yang diakaui. Karena pada hakikatnya, pemikiran mereka telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran teologi Yahudi, Nasrani, Filsafat Yunani serta agama-agama Persia[14]. Ini semua bisa kita temukan di dalam buku-buku aliran pada masa sekarang ini, yang hampir semuanya menjelaskan tentang pemikiran Mu’tazilah yang banyak dipengaruhi oleh sumber-sumber asing. Misalnya saja, dalam buku-buku Yunani kita menjumpai adanya kesamaan pemikiran mereka dengan pemikiran kaum Mu’tazilah[15].
Meskipun pendapat Mu’tazilah lebih banyak bergantung kepada pemikiran para filosof untuk mendukung pendapat mereka, akan tetapi sebenarnya mereka hanya ingin memahaminya dengan rasional. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hamilton, dia berpendapat bahwasannya kaum Mu’tazilah sedang berusaha memaparkan dasar-dasar agama dalam bentuk rasional kepada para Intelektual islam, supaya dapat diterima oleh akal fikiran, dan untuk menutup celah yang banyak menyebabkan orang terjerumus dalam lembah kezindiqkan(atheis)[16].

1.   Konsep “al Manzilah Bayina Manzilatain”(posisi diantara 2 posisi).
Konsep ini berkaitan erat dengan Mu’tazilah, dimana Mu’tazilah muncul adalah karena ada konsep ini sebagaiman telah dijelaskan dibelakag. Wasil bin Atha’ sendiri menagkui bahwasannya untuk mempertahankan pendapat dia, maka disusunlah kitab dengan judul “al Manzilah Bayina Manzilatain”(posisi diantara 2 posisi).

2.   Konsep “al Tauhid”(keesaan Allah).
Muncunya konsep ini adalah karena terikatnya kaum Mu’tazilah dengan keadilan Tuhan(al Adl) dan ketauhidan (al Tauhid), yang akhirnya mereka menamakan dirinya dengan “Ahli al Adl wa al Tauhid”. Mereka beranggapan bahwa hanya merekalah yang mampu menyandarkan akidah ini, serta paling mampu dalam rangka melindungi dari berbagai aliran yang berpotensi untuk menghancurkannya, baik agama yang menyeleweng maupun filsafat yang sesat.
Mereka terlalu berlebihan dalam memahami serta mengesakan dan mensucikan Allah, akhrirnya mereka terjembab dalam hal-hal yang melenceng  dan jauh dari jalan yang lurus. Dan penyebab yang menjadikan mereka jatuh pada keadaan seperti ini adalah karena mereka terpengaruh oleh filsafat luar, yang kemudian menjadikannya sebagai landasan teoritis untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran mereka dalam berbagai masalah, hingga pada akhirnya mereka berani berpendapat sebagai berikut:
a.      Meniyadakan sifat Azaly(kekal adanya tanpa permulaan) Allah SWT.
Adapun tujuan mereka meniadakan sifat Alah(nafy sifat al al Bari), adalah ingin memurnikan konsep Tauhid, karena mereka berargumen bahwasannya seandanya sifat Tuhan tersebut adalah Qadim(dahulu), maka ia telah menyekutui-Nya dalam sifat ketuhanan. Menurut mereka sesuatu yang disifati adalah jasad, sedangkan sifat adaah a’rad(aksiden), sementara aksiden tidak dapat beraktifitas sendiri tanpa adanya jasad.  Oleh karena itu mereka menjaadikan sifat Allah sebagai esensi-Nya. Yang pada intinya adalah semua yang melakat pada Allah baik itu sifat, ilmu, kemampuan, kehidupan, dan wajah kesemuanya adalah esensi dari Allah sendiri. Mu’tazilah membedakan antarasifat esensi(shifat al Zad) dengan sifat yang merupakan perbuatannya(shifat a Fi’l).
b.      Meniyadakan firman Allah SWT, sehingga mereka mengatakan bahwa al Qur’an adalah makhluk.
Sebagai kelanjutan dari konseb bahwasannya hanya Allah lah yang Qadim(azali) dan sifat-sifatnya adalah esensi dari-Nya, maka mereka berpendapat bahwasannya al Qur’an adalah mahluk, sesuatu yang baru (hadits), yang menenpati ruang, dan al Qur’an bukan merupakan esensi dari Allah SWT. Dalam pandangan mereka, al Qur’an adalah firman atau perkataan, sedangkan firman atau perkataan adalah jiwa yang membutuhkan gerakan, sementara gerakan adalah sesuatu yang baru, dan segala yang baru tidak bisa beraktifitas kecuali memallui media badan.
c.       Menafikan Ru’yah(melihat Allah dengan mata telanjang di hari kiamat kelak).
Kongkusi dari ketiga konsep mereka terakait dengan keesaan Allah(al Tauhid) adalah meniadaakn atau pengingkaran mereka terhadap melihat Allah SWT dengan mata telanjang kelak di hari kiamat. Dengan alasan memurnikan keesaan Alllah, maka mustahil melihat Tuhan dengan mata telanjang. Karena seperti yang telah dikatakan Abu al Qasim al Balkhi yang terkenal dengan al Ka’bi berkata: Mu’tazilah telah bersepakat bahwasannya Dzat Allah adalah berbeda dengan yang lainnya, Dia bukanlah benda, dan Dia pula bukan Dzat. Namun Dialah Dzat yang menciptakan benda dan Dzat. Oleh sebab itu organ tubuh tidak mampu meihatnya baik ketika di dunia maupun di akhirat, karena mata manusia hanya mampu melihat yang menempel pada benda.

3.   Konsep Keadilan(al Adl).
Mu’tazilah menjadikan konsep keadiah Tuhan sebagai kajian inti dalam konsep pemikiran mereka. Mereka enggan menggunakan dalil-dail syar’i dan mereka lebih senang menggunakan filsafat dalam beristimbat, dan dengan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan akidah yang rambu-rambunya telah jelas. Klimaks dari kesesatan mereka dapat dilihat tentang konsep keadilan menurut mereka yang lebih mendahulukan sumber-sumber asing dari pada pendapat-pendapat para ulama’ salaf terkait dengan hal-hal dibawah ini:
a.      Mengingkari Takdir.
Untuk memperlihatkan sifat keadian Allah maka mereka menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas perbuatan tersebut baik ataupun buruk. Manusia dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang mereka miiki, manusia bebas melakukan apa saja yang mereka kehendaki, dengan penuh kebebasan dan kemerdekaan tanpa terikat dengan faktor-faktor luar lainnya. Dari sinilah maka kelak manusia akan berhak mendapatkan pahala dan siksaan terkait dengan apa yang selama ini telah diperbuatnya ketika hidup di dunia. Mu’tazilah berargumen bahwasannya takdir baik dan buruknya seseorang adalah kembali kepada dirinya sendiri. Namun mereka berpendapat bahwasannya usaha manusia hanya terbatas kepada keinginan saja, sedangkan perbuatan yang yang lainnya bersumber dari mereka sendiri.
b.      Sumber Pemikiran.
Sumber pemikiran Mu’tazilah banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan agama-agama non Islam(Nasrani, Zoroaster). Itu semua karena mereka membahas tentang Qadr(kemampuan manusia). Dan ada pendapat yang mengatakan bahwasannya orang pertama kali yang membahas terkait dengan Qadr manusia adalah Ma’bab a Juhani dan Ghailan al Dimasyqi, dan keduanya ini berasal dari agama Nasrani, yang kemudian menganut agama Islam dan pada akhirnya kembali lagi kepada agamanya(Nasrani).
c.       Baik dan Terbaik(al Shalah wa al Ashlah).
Adanya konsep Mu’tazilah terkait dengan keadilan Allah dan menssucikannya, ini mengakibatkan munculnya konsep “al Shalah wa al Ashlah”. Maksud dari konsep ini adalah Allah tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak baik, serta tidak menguntungkan bagi umat-Nya. Munculnya konsep tersebut dinilai dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk kebebasan hamba(freedom) dalam segala aktifitasnya dalam segala aturan sampai sampai menafikan adanya Qadha(keputusan ) dan Qadr(ketetapan). Faktor lainnya adalah mereka menbatasi Allah, bahkan dalam hal kekuasan-Nya dengan dalih keadilan, dan bahkan mereka mengharuskan supaya Allah berbuat baik[17].
Berkaitan dengan hal tersebut, Ibrahim  al Nazam berkomentar, bahwasannya Allah tidak mampu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan hamba-Nya. Allah tidak mampu menambah siksa penghuni neraka walaupun hanya sebesar biji jagung, dan sebaliknya Allah tidak mampu mengeluarkan umatnya dari surga, dan tidak mampu memasukan orang yang bukan penduduk neraka kedalam neraka. Sebagaiman Allah tidk mampu membutakan orang yang melihat, serta menyakitkan orang yang sehat, dan memiskinkan orang yang kaya, karena Allah mengetahui masalah yang terbaik sesuai dengan keadaan sekarang.[18] Mu’tazilah mengambil konsep ini dari filosofi klasik yang menyebutkan bahwa orang yang berlaku adil adalah orang yang tidak boleh menyimpan sesuatu yang tidak dikerjakannya. Maka segala sesuatu yang dikerjakan dan diciptakan-Nya, maka itulah kemampuan-Nya.
d.      Kebaikan dan Keburukan yang Rasional.
Dalam pandangan Mu’tazilah, supaya keadilan Allah tidak berkurang dan balasan hambnya sesuai dengan apa yang dikerjakannya ketika di dunia, maka mengetahuinya merupakan kewajiaban bagi akal, meskipun syari’at tidak menjelaskannya[19].  Bahkan mereka telah berpendapat bahwasannya akal harus menjadi standar dalam menentukan kebaikan dan keburukan. Karena mengatahui kebaikan dan keburukan adalah sesuatu yang rasional[20]. Konsep inilah yang dinilai telah mengelincirkan mereka pada sikap meninggakan syari’at, karena mereka menggantikan syari’at dengan akal, dan mereka menentukan hukum dengan ketentuan akal.
Konsep inilah yang akhirnya menimbulkan konsep baru bahwa manusia yang berakal mampu mengenal Allah melalui metode penelitian dan silogisme[21].

4.   Konsep Janji dan Ancaman(al Wa’d wa al Wa’id).
Konsep ini (al Wa’d wa al Wa’id).adalah konsep yang dihasilkan dari konsep sebelumnya yaitu konsep tentang keadilan. Dalam pandangan mereka seorang mukmin jika telah meninggal dalam keadaan taat kepada Allah dan bertaubat, maka ia berhak untuk mendapatkan pahala. Namun apabila mereka enggan bertobat, maka mereka kekal didalam neraka. Namun siksanya lebih ringan bila dibangdinkan orang kafir. Allah tidak akan mengingkari janji-Nya, karena Allah maha terpercaya, dan tidak akan merubah keputusan-Nya kecuali setelah mereka bertaubat.

5.   Konsep al Amar bil al Ma’ruf wa al Nahi an al Munkar.
Dalam pandangan Mu’tazilah terkait dalam memahami konsep al Amar bil al Ma’ruf wa al Nahi an al Munkar. Bahwasnnya mereka memahami Ma’ruf(kebaikan) adalah sesuatu yang kebaikannya disepakati oleh banyak orang. Sedangkan al Munkar(keburukan) adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebaikan yang telah disepakati oleh banyak orang. Konsep al Amar bil al Ma’ruf wa al Nahi an al Munkar(mengajak kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran) pada dasarnya memang tidak dirubah oeh Mu’taziah, hanya saja pemahaman dan penerapan mereka yang keliru. Karena konsep al Amar bil al Ma’ruf wa al Nahi an al Munkar(mengajak kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran) merupakan inti dari akidah ajaran Islam.

Sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah.
Kaum Mu’tazilah dalam menyikapi Sunnah, mereka berpedoman pada kaidah pokok mereka yaitu al Ushul al khamsah( 5 kaidah pokok). Mereka menjadikannya dasar serta asas dalam berdebat dan berinteraksi dengan al Qur’an dan Hadits. Dalam memahami al Qur’an apabila bertentangan dengan kaidah al Ushul al Khamsah, maka mereka akan menakwilkannya dengan memberikan interpretasi lain. Dan apabila yang menyalahi Hadits Nabi, maka mereka akan mengingkarinya. Pandangan mereka terhadap Hadits Nabi adalah seperti halnya  orang yang mengingkari akan keotentikan Hadits. Karena pada dasarnya mereka menggunakan akal dalam menghukumi Hadits, bukannya Hadits yang menghukumi akal.
Dalam pandangan Mu’tazilah, mereka menmpatkan akal pada level posisi paling atas dalam memahami dalail-dalil syar’i. Berbeda jauh dengan uama’-ulama’ lain yang dimana mereka menenmpatkan akal pada posisi terakhir setelah al Qur’an, Hadits, dan Ijma’ para Ulama’. Alasan yang dipakai Mu’tazilah adalah dengan akal maka seseorang akan mengetahui fungsi dan kedudukan al Quran dan Hadits. Memang tidak ada yang kontradiktif antar ulama’ terkait dengan peranan akal dalam memahami al Qur’an dan Hadits, akan tetapi peranan akal tersebut harus proporsional dan tidak menyalahi aturan-aturan syari’at.
Dalam hal ini Mu’tazilah memiiki pandangan terhadap unsur-unsur  yang  terkait Hadits Nabi, diantaranya adalah:
1.      Pandangan terhadap Sahabat.
Berbeda jauh dengan apa yang telah menjadi pandangan agama selama ini, Mu’tazilah memandang sahabat dengan melakukan tuduhan yang kejih dan memalukan. Niat hati yang jelek lebih mendominasi pikiran mereka, daripada memahami makna sahabat yang sebenarnya. Diantara tuduhan mereka yang patut diwaspadai terhadap para sahabat adalah, ketika para sahabat menerapkan Ijtihat ra’yi, maka meraka menganggap bahwa itu merupakan suatu aib yang tidak bisa dima’afkan dan pelakunya harus mendapatkan balasan dan menanggung akibatnya, dan mereka harus dihukum.
Diantara mereka yang melakukan tuduhan terhadap para sahabat adaah Nizam al Mulk, dia banyak mengkritik para sahabat dan bahkan amirul mukminin yang telah dijamin oleh Rosululah akan masuk surga tidak lepas dari kritikannya. Diantara kritikan yang di lontarkan kepada Amirul Mukminin Ustman bin Afwan, dan sekaigus menyebutnya sebagai aib adalah:
a.   Tinakan Usman yang memberikan tempat perlindungan kepada al Hakam bin Umaiyah, sementara ia adalah orang yang diusir oleh Nabi.
b.   Pengansingan Abu dzar al Ghifari ke Zabadah, sementara dia adalah sahabat Nabi, dll.
Pada dasarnya apa yang telah dilakukan oleh Mu’tazilah menurut IbnTaimiyah merupakan suatu kedustaan yang kejih dan harus ditolak[22]. Bukti yang dapat melemahkan tuduhan-tuduhanmereka, diantaranya adalah Hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhori dari riwayat Imran bin Husain bahwa Nabi bersabdah, yang artinya: “sebaik-baik umatku adalah masaku, kemudian orang-orang  sesudahnya, dan orang-orang berikutnya”[23]. Dan Ibn Hajar menjelaskan bahwa lafadz “al Qarni” itu adalah masa Nabi masih hidup, dan itu adalah masa sahabat[24].
Bahkan Nabi telah bersabdah yang artinya sebagai berikut: “jangan kalian maki sahabatku, karena jika salah seorang diantara kamu menginfakan emasnya sebesar Gunung Uhud, maka tidak akan sampai satu mud pun dari bagian mereka, bahkan separo pun tidak ada”[25].

2.      Menolak Hadits Mutawatir.
Meskipun Hadits Mutawatir masih diperdebatkan dalam hal Hadits, akan tetapi orang yang mengingkarinya boleh dikatakan sebagai orang fasiq[26]. Dalam pandangan Mu’tazilah, mendustakan Hadits Mutawatir diperboehkan karena kemungkinan terbatasnya para periwayat dalam hal Hadits. Dan mereka beranggapan, bahwa menggingkari Hadits adalah sesuatu yang hal yang lumrah dan tidak memimiliki konsekwensi, meskipun itu merupakan Ijma’, dan mungkin juga menurut mereka umat bersepakat dalam kesesatan[27].
Pengingkaran mereka terhadap Hadits Mutawatir dan penetapan mereka supaya Hadits tersebut dapat diterima, diantaranya adalah: adanya orang atau rawi yang meriwayatkan Hadits tersebut adalah orang yang termasuk ahli Jannah. Dan ini jelas merupakan penolakan  hadits-hadits yang berkenaan dengan  hukum syar’I, dan bisa dipastikan bahwasannya mereka telah mencabut perintah-perintah dan larangan-larangan, serta telah lepas sama sekali dan telah keluar dari koridor syari’at.

3.      Menolak Hadits Ahad.
Pada dasarnya Mu’tazilah telah mengingkari Hadits Ahad, mereka menolak kalau dalam Hadits periwayatnya hanya satu rowi. Dalam hal ini mereka menetapkan 3 syarat supaya Hadits Ahad dapat diterima, diantaranya adalah:
a.      Hadits tersebut diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil lainnya.
b.      Teks Hadits tersebut tidak bertentangan dengan al Qur’an.
c.       Dan Hadits tersebut telah diamalkan oleh sebagian sahabat.
Meskipun demikan, kadang mereka juga menerima Hadits Ahad, akan tetapi dalam meriwayatkan, mereka tidak menggunakan redaksi yang pasti (Syighat al Jazm), akan tetapi mereka menggunakan redaksi yang lemah(Syiyahgh al Tamrid)[28].

4.      Meragukan Dan Menolak Hadits.
Dalam memahami Hadits Nabi, sebagaimana yang telah dibahas pada sikap mereka terhadap sunah. Dimana mereka sangat mengunggulkan “Ushul al Khamsah” sebagai dasar dalam memahami al Qur’an dan Hadits  Nabi, dimana mereka menjadikan akalnya sebagai cara untuk menentang Allah dan Rasulnya[29]. Puncak dari penolakan mereka terhadap Hadits Nabi adalah mereka tidak menerima Hadits shohih. Seperti mereka mengingkari adanya hadits tentang Syafa’at (pertolongan Nabi kepada para umatnya kelak di hari Qiyamat), dan Hadits tentang terbelahnya bulan.

5.      Memalsukan Hadits.
Sebagaimana disebutkan dalam pendahuluan kitab Shohih Muslim, bahwasannya Amr bin Ubaid pernah memalsukan Hadits[30]. Yaitu Hadits yang disandarkan kepada Hasan al Basri tentang orang yang  mabuk sebab minum anggur tidak dicambuk. Dan Abu Ayub pernah ditanya tentang Hadits ini, kemudian beliau menjawab bahwasannya dia(Mu’tazilah telah bohong), saya menedengar bahwasannya Hasan al Basri berkata bahwa orang yang mabuk karena minun anggur maka ia akan dicambuk[31].
Dari sini maka bisa kita mengetahui sikap mereka terkait dengat Hadits. Dimana mereka telah banyak mengkritik para sahabat, mengingkari Hadits Mutawatir,menolak Hadits Ahad, serta menagingkari dan meragukan banyak Hadits, dan yang terakhir mereka akan memalsukan Hadits untuk memperkuat pendapatnya.

Sikap Mu’tazilah terhadap Ijma’ dan Qiyas.
Dalam hal ini, mereka telah menolak Ijma’ dan Qiyas secara bersamann, kerena menurut mereka Hujah itu terbatas hanya kepada pemimpin  yang maksum(terjaga dari melakukan dosa besar). Disisi lain pandangan Mu’tazilah terpecah mengenai masalah Qiyas, tetapi mereka hampir semuanya menolak Ijma’ dan disisi lain mereka ada yang menerima Ijma’ berdasarkan Hadits Nabi “Umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan[32]”.
Dalam hal Ijma’ ini, mereka memahami bahwa  Ijma’ tidak berkaitan dengan jumlah, akan tetapi berkaitan dengan kadar keimanan seseorang hamba kepada Allah dan konsistensinya pada jalan yang lurus. Dengan demikian, ijma’ dalam hal ini dapat dilakukan walaupun hanya satu orang. Mereka berusaha menjastifikasi pendapatnya pada Hadits yang disandarkan kepada Ibn Mas’ud. “Jumlah adalah yang apa yang sesuai dengan taat kepada Allah, meskipun hanya satu orang”[33].

Bentuk-Bentuk Penyimpangan Mu’tazilah Terhadap Sunnah.
a.   Wajib menegetahui Allah dengan rasio.
Salah seorang Mu’tazilah Abd al Salam bin Muhammad bin Abdul Wahhab al Jubba’I bin Abi Ali al Jubba’I, dia berpendapat bahwasannnya seorang yang tidak mengetahui Allah dengan rasio, maka ia kafir.
b.   Pengingkaran Melihat Allah di Hari Kiamat.
Kaum Mu’taziah telah bersepakat bahwa Allah adalah tidak berjisim dan tidak berdzat, dan indra apapun tidak akan dapat melihatnya baik dia dunia maupun kelak di akhirat. Klimaknsnya mereka mengkafirkan orang yang  berpandangan dapat melihat Allah seperti orang tersebut melihat pandangan yang ada dihadapannya, atau berlawanan arah dengannya, atau ia menempat ditempat tertentu bukan ditempat lainnya[34].
Megenai melihat Allah dengan mata hati, dalam Mu’tazilah terjadi perbedaan,  satu sisi berpendapat bahwa kita bisa melihat Allah dengan mata hati, akan tetapi disisi lain ada yang menafikannya. Dalam mengukuhkan pendapatnya, mereka menolak kemungkinan dapat melihat Allah dengan mata teanjang, dengan tidak menerima hadaits-hadits Ahad, dan hadits Ahad dapat diterima apabila ada pengalaman sahabat[35].
Adapun dalam menyikapi al Qur’an yang menerangkan bahwa Allah dapat dilihat, maka mereka mena’wilaknnya dari makna yang sebenarnya. Seperti pandangan al Zma’syari dalam memahami QS: al Qiyamah: 23.
4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ  
23. kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Zama’syari dalam memahami kata “otÏß$tR”(melihat) adaah “منظرة” (menunggu). Orang-orang beriman yakni mereka yang sedang menunggu hari tersebut. Dia menjelaskan bahwa didahulukannya objek  memberikan arti khusus, yakni wajah-wajah orang-orang beriman yang khusus menanati Tuhannya, dan bukan menanti yang lainnya. Dan sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa di padang Makhsyar kita menunggu banyak hal,  yang tak bisa diprediksikan dan tak terhitung jumahnya. Dengan demikian kekhususan mereka menunggu Allah adalah sesuatu hal yang mustahil.
c.       Pengingkaran Muktazilah Terhadap Syafaat Rasulullah SAW.
Kalau dalam golongan Ahlu Sunnah telah diketahui adanya 4 syafaat yaitu:1.Syafaat yang terbebas dari kengerian hari Qiyamat (hanya diberikan kepada Nabi Muhammad SAW). 2.Syafaat kepada manusia yang masuk surga tanpa dihisab(perhitungan). 3.Syafaat untuk menaikan derajat ke surga. 4.Syafaat yang mengeluarkan manusia dari neraka, mereka masuk neraka karena dosa-dosanya(diberikan oleh Nabi SAW).
Untuk Syafaat yang ke 4, kaum Mu’tazilah telah mengingkarinya. Dimana mereka tidak mempercayai adanya syafa’at dari Nabi Muhammad SAW. mereka menyandarkan pemikirannya dengan memahami ayat-ayat Mutasyabihat, seperti dalam QS: al Mudatsir:48.
$yJsù óOßgãèxÿZs? èpyè»xÿx© tûüÏèÏÿ»¤±9$# ÇÍÑÈ  
48. Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa'at dari orang-orang yang memberikan syafa'at.
d.      Pengingkaran Mu’tazilah Terhadap Mu’jizat Rasulallah SAW.
Dalam memahami tentang Mu’jizat Nabi Muhammad SAW, kaum Mu’tazilah berbeda pendapat. Satu sisi mengatakan bahwa kenabian merupakan pahala dan balasan atas amal shalih yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga Allah berhak memberikan balasan atas amal baik tersebut dengan kenabian. Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah Abbad bin Sulaiman. Dan disisi lain menyatakan bahwa kenabian bukanlah balasan dan pahala[36], melainkan pemberian Allah sejak dini. Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah Abu Ali al Juba’i[37]. Atas dasar inilah maka mereka sepakat bahwasannya Hujjah telah ditetapkan dengan akal, dan bukan dengan kenabian[38].
e.      Sikap Mu’tazilah Terhadap Hukuman Bagi Peminum Khamar dan Anggur.
Sebagian orang Mu’tazilah berpegang teguh dengan berpendapat bahwa Nabi tidak mewajibkan adanya hukum bagi orang yang meminun khamar(menengguk minuman keras). Dan hal ini bertentangan dengan pendapat mayoritas Ulama’ ahli Fiqh, bahwa mereka telah bersepakat bahwasannya seseorang yang telah minum anggur atau minuman keras, dengan hukuma cambuk 80 kali, tidak peduli minuman tersebut memabukan ataupun tidak[39].
f.        Sikap Mu’tazilah Terhadap Hukuman bagi Pencuri.
Diantara permasalahan yang diingkari oleh golongan Mu’tazilah diantaranya adalah hukuman potong tangan bagi pencuri. Dimana mereka menilai bahwa orang yang melakukan pencurian tidak harus dipotong tangannya, namun mereka cukup dianggab sebagai orang yang fasik yang kelak akan kekal dineraka. Dan diantarayang berpendapat demikian adalah:Abu al Hudzail al ‘Allaf dan al Jubba’i.
Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan ayat al Qur’an yang telah dengan jelas menginformasikan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian. Sebagaimana disebutkan dalam QS: al Ma’idah:38.
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ  
38. laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dan ayat al Qur’an diatas telah diperinci oleh Hadits Nabi terkait dengan batasan barang yang dicuri dengan mengharuskannya dijatuhi hukumam potong tangan, serta batasan tangan yang boleh dipotong. Dengan demikian, mereka telah menyalahi dan menghancurkan sendi-sendi syari’at Islam. Dan mereka telah menyelewengkan hukum-hukum Allah, serta menggunakan hawa nafsu mereka untuk menilai terhadap apa-apa yang mereka sampaikan dan dakwakan.
g.      Mengekalkan Pelaku Dosa Besar Dalam Neraka.
Dalam memahami pelaku dosar besar, mereka telah menetapkan bahwa mereka pelaku dosa besar telah berada di dua tempat(al Manzilah Bayin al Manzilatain). Dan ketika dikhirat kelak, mereka akan berada di Neraka selamanya, selama mereka belum bertobat. Namun siksaan mereka lebih ringan dari pada siksaan orang kafir[40]. Diantara mereka ada yang membedakan antara pelaku dosa besar, dan pelaku dosa kecil. Dosa besar yaitu dosa yang disertai dengan adanya ancaman, sedangkan dosa kecil tidak disertai dengan adanya ancaman.
h.      Pengingkaran Terhadap Siksa Kubur.
Siksa kubur merupakan masalah yang telah ditetapkan kebenarannya oleh sunah. Akan tetapi Mu’tazilahmengingkarinya. Seanjutnya al Qadhi Abdul Jabbar mulai memilah Mu’tazilah menjadi 2 bagian. Satu bagian mereka mengingkari adanya siksa kubur, dan satu bagian lagi membenarkan adanya siksa kubur.
Diantara mereka yang mengingkari adanya siksa kubur adalah Dharar bin Amr(salah seorang pengikut Wasil bin Atha’). Dia menuturkan bahwasanya orang yang telah dikebumikan, maka ia sudah tidak bisa mendengar, melihat, tidak merasakan, dan tidak merasa enak. Lalu bagaimana dia mau disiksa seteah mati? Selanjutnya ia berkata “kami telah mengingkari keberadaan siksa kubur dalam setiap keadaan”[41].

Pemikiran Mu’tazilah yang Tidak Logis dan Menyalahi Sunah.
Sejarah telah mencatat bahwasannya Mu’tazilah adaah golongan yang selalu mengagungkan akalnya dalam memahami al Qur’an dan Hadits. Kerancauan  pemikiran mereka telah banyak digambarkan oleh beberapa permaslahan, diantaranya adalah:
1.      Pembahasan tentang orang mukmin yang kafir setelah tangannya dipotong, dan orang kafir yang mukmin setelah tangannya dipotong[42].
2.      Pembahasan mengenai penggantian wujud binatang, dalam haini 5 pendapat dianataranya adalaH:
Sebagian menyatakan bahwa Allah akan mengganti wujud binatang dalam bentuk lain, dihari pembalasan. Kemudian Allah akan memberikannya kenikmatan di surga dan menggantinya dengan bentuk yang indah. Nikmat yang diperolehnyapun tidak akan putus.
a.      Menurut Ja’far bin Harb dan al Iskafi binatang-binatang seperti ular, kalajengking, singa, dan binatang –binatang buas lainnya kemungkinan bentuk mereka tidak akan berubah dihari pembalasan kelak, dan binatang-binatang tersebut kelak akan dimasukan kedalam neraka jahannam untuk menyiksa orang-orang kafir.tetapi mereka tidak merasakan panasnya neraka jahannam sebagaimana yang dirasakan oleh penjega neraka jahannam.
b.      Mereka juga membehas mengenai penerapan hukum Qishahsh antar binatang[43].
c.       Mereka menyatakan bahwa beberapa jenis binatang adalah umat, dan mereka mempunyai rasul masing-masing[44].
d.      Sebagian mereka ada yang membahas mengenai siksaaan bagi anak-anak kecil, mereka telah bersepakat bahwa Allah akan menyiksa mereka khususnya yang telah mengingkjak masa dewasa. Namaun segaian diantara mereka ada yang berpendapat bahwa Allah tidak akan menyiksa mereka di akhirat[45].
e.      Dan pendapat mereka yang paling aneh adalah sebagian dari mereka pernah menyatakan bahwa mereka adalah golongan al Khatibiyah dan al Haditsiyah yang menyatakan bahwa Isa adalah Tuhan[46].
f.        Pemikiran mereka tentang keharusan Allah berbuat baik dan terbaik.
g.      Mereka telah melarang penggunaan akal dalam berfatwa.

A.                 Sebab-Sebab Hilangnya Kaum Mu’tazilah.
Diantara sebab-sebab yang mendorong kaum Mu’tazilah dalam melakukan penyimpangan-penyimpangan sangat banyak dan beragam diantaranya adalah berkaitan dengan karatristik Mazhab mereka, metode penerapannya, dan penyebaran Mazhab tersebut. Dan sebagian lainnya adalah brkaitan dengan upaya mencari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh kaum Ahli sunnah, diantaranya adalah:
1.      Menerapkan keyakinan mereka trentang Iman.
2.      Banyak terjadi perselisihan pendapat.
Jika kaum Mu’tazilah sering kali menempatkan akalnya dalam memahami al Qur’an dan Hadits. Maka kita bisa melihat bahwa pada kenyataannya hasil pemikiran akal dan pemahaman itu sering kai berbeda, dan terjadinya pertentangan. Dan yang lebih Ekstrim karena pertentangan-pertentangan tersebut berkaitan dengan masaah-masalah akidah.
Bentuk-bentuk perselisihan dan pertentangan itu banyak sekali kita temukan dalam karya-karya mereka. Maka ketika suatu terungkap boroknya, maka pendapat yang lain pun akan segera ketahuan cacatnya. Sebagai contoh Bisyr bin al Mu’tamar menyusun buku “al Radd ‘ala al Dharar” sebagai bentuk penolakan terhadap al Dharar bin ‘Amar al Mu’tazili[47]. Dan bahkan diantara golongan mereka saling mengkafirkan, Abu Hudzail al Allaf, al Nidzam, dan para pemuka Mu’tazilah lainnya secara silih berganti mereka saling mengkafirkan satu dengan yang lainnya[48].
3.      Pemikiran Kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan Islam.
Sering kali kita temukan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah yang bertentangan dengan Islam, kebanyakan pemikiran mereka dipengaruhi oleh filsaat skripturalisme Yunani. Diantara pemikiran mereka yang bertentangan dengan Islam adalah mereka meniadakan sifat-sifat Allah,(al Nufat), mereka juga dikatakan sebagai kaum  yang tidak mempercayai adanya taqdir(al Qadariyah), mereka menganggap al Qur’an adalah makhluk, dan mereka tidak mempercayai adanya ru’yah(melihat Allah kelak di hari qiyamat). Bahkan sebagian dari mereka ada yang meragukan tentang adanya sesuatu yang ditangkap oleh panca indra.
4.      Perlawanan Terhadap Kaum Mu’tazilah Secara Teoritis.
Diantara golongan yang melakukan perlawanan terhada Mu’tazilah, mereka  adalah golongan Ahlu Sunnah. Mereka melakukan perlawanan dengan tulisan-tulisan yang menyingkap serta membongkar kebusukan-kebusukan Mu’tazilah, yang dinilai telah keluar dari Syari’at dan Ijma’kaum Muslimin. Dalam tulisannya mereka juga menginformasikan seputar pertentangan dikalangan Mu’tazilah dan kebodohan mereka, sehingga diharapkan kaum Muslimin dapat mengetahui hakikat mereka dan menjauhi mereka[49].

Keutamaan-Keutamaan Kaum Mu’tazilah.
Meskipun sering kita temukan kejanggalan-kejanggalan pemikiran kaum Mu’tazilah, bahkan mereka telah dicap sebagai golongan yang telah keluar dari jalan Islam karena melakukan penyimpangan-penyimpangan. Namun terlepas dari itu semua, ada sisi positif yang bisa kita ambil dari Mu’tazilah. Misalnya mereka  para pemuka Mu’taziah yang konsisten menerapkan konsep Amr Ma’ruf Nahi Mungkar(perintah kepada kebaikan dan melarang terhadap kemungkaran). Selain itu, Wasil bin Atha’ pernah mengasingkan Basysyar bin Bard dari Bashrah ke Kharan. Dia tidak berani kembali ke Bashrah sebelum Wasil meninggal, sebenarnya dia telah diancam hukuman mati, tetapi Wasil tidak mau membunuhnya. Sikap Wasil yang seperti ini jelas kontras dengan pemuka Mu’tazilah pada umumnya yang cenderung membolehkan adanya hukuman mati.
            Kelebihan lain dari kaum Mu’tazilah, mereka mempunyai etos kerja dalam rangka berdakwah dengan mengirim para da’i-da’i mereka kepenjuru dunia untuk menyebarkan ajarannya[50]. Para pemuka Mu’tazilah ikut serta dalam penjelajanan mereka keseluruh dunia, mereka mengadakan forum-forum diskusi yang digunakan sebagai ajang dalam mendebat orang-orang atheis, dan para oposan, serta menolak paham Khawarij dan Murji’ah[51]. Dalam berdebat, mereka menggunakan metode filsafat agar keserupaan dan keraguan terhadap Islam dapat terpecahkan. Dan mereka sangat menguasai metode tersebut, dikarenakan mereka sering berkecimpung dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan pemikiran-pemikiran keagamaan lainnya.
            Selain itu, mereka juga menggunakan metode tulis-menuis sebagai wahana untuk menopang dan melestarikan Mazhab mereka. Dalam berfikir, mereka melepaskan dalil-dalil syar’i. karena mereka berkeyakinan bahwa akal sebagai dalil yang utama. Dengan akal mereka berusaha untuk mengetahui ayat-ayat yang sulit ditangkap maksudnya. Dengan demikian memang benar apa yan telah disampaikan oleh Dr. Musthafa al Shawi al Jauni. “Meskipun awal  munculnya kaum Mu’tazilah merupakan upaya untuk membela Islam dari musuh-musuhnya, namun pada akhirnya mereka terjebak pada sikap fanatisme madzhab yang berlebihan”[52].


Penutup.
Kebebasan berfikir seperti yang telah diaplikasikan oleh kaum Mu’tazilah memmpunyai indikasi besar yang tak terbendung dalam dunia islam. Kebebasan berfikir yang dipraktekan oleh kaum Mu’tazilah, mengakibatkan sering kali Mu’tazilah dicap sebagai  “kaum Rasionalis Islam”. Dalam menyikapi kitab suci umat Islam misalnya, Mu’tazilah sering kali bertentangan dengan umat Islam yang lain. Kebebasan mereka dalam berfikir bukanlan inspirasi dari agama Islam secara murni. Akan tetapi banyak hal yang telah mempengaruhi pola berpikir mereka. Pada dasarnya mereka telah banyak terpengaruh oleh aliran-aliran filsafat yang telah dikembangkan kaum filosofis, serta ajaran agama non islam, (nasrani dan Yahudi).
            Implikasi terbesar dari penngunaan akal secara berlebihan mengakibatkan mereka terjembat dalam jurang kebrorokan moral dan etika, karena mereka telah menempatkan akalnya paada lefel pertama, beda halnya dengan kaum Muslim yang lain, mereka menempatkan akal pada lefel terakhir, yaitu setelah al Qur’an, Hadits, dan Ijtihat para sahabata dan para Ulama’ slafus shalih. Sepertihalnya pembahasan dalam buku tersebut, banyak fakta-fakta yang diungkap oleh penulis dalam menelanjangi Mu’tazilah, terkait dengan pemikiranya yang Liberal. Kita boleh saja berasumsi demikian, akan tetapi kita juga harus melihat sisi positif dan negatifnya terkait dengan asumsi yang kita keluarkan dalam rangka menjas Mu’tazilah dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
            Selain itu tolak ukur kebenaran seseorang pada hakikatnya tidak ada yang mengetahui, akan tetapi kita semua hanya berusaha dengan segala upaya untuk mendampingi kebenaran tersebut. Dan yang terpenting, dalam mensejajarkan kebenaran yang kita ketahui dengan kebenaran orang lain, kita musti melihat patokan ataupun standar yang dijadikan panutan dalam memahami sebuah kebenaran. Dengan demikian kita akan mengetahui sejauh mana kita dapat mensejajarkan kebenaran kita dengan standar kebenaran yang telah ditetapkan.
            Yang patut untuk dikritisi dari buku tersebut diantaranya adalah munculnya subjektifitas penulis dalam menuliskan aliran yang mungkin berbeda dengan madzhabnya, sehingga subjektifitas untuk membela madzhabnya akan kita temukan dalam tulisan-tulisan penulis. Selain itu, dalam buku tersebut juga telah kita temukan adanya rasa  ketidaksepakatan pendapat terhadap aliran yang ditulisnya, yang akhirnya menjadikan aliran yang telah ditulisnya menjadi diam tak dapat berkata apa-apa. Selain itu, penulis juga telah banyak menggunakan sumber yang tidak langsung(primer) dari aliran yang dituliskannya.
            Itulah sekedar wacana yang telah berhasil penulis rangkum dari kitab “PEMIKIRAN HADITSMU’TAZILAH, Karya Abu lubabah Husain, dan tentunya apa yang telah penulis sampaikan masih jauh dari sempurna. Maka dari itu,penuis berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman demi terwujudnya tulisan yang lebih baik lagi. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih kepada rekan-rekan kajian “Majlis Galau Tafsir Hadits”, semoga tulisan yang singkat ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca sekalian. Semoga dengan selesainya tulisan ini menjadi titik awal penulis dalam memasuki gerbang Intelektul pemikiran islam, dan sekaligus menjadi penyemangat penulis untuk terus menuis dan berkarya. Amien…..
                                                                                                                                   

             
Jakarta, 21 Mei 2012.
                                                                                                                                    Penulis


                                                                                                                                    Moh Khoiri



[1] Dipresentasikan dalam diskusi mingguan  “Majlis Galau Tafsir Hadits”, 21 Mei 2012. oleh Moh Khoiri, penulis adalah Mahasisiwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , Fak Ushuuddin, Jurusan Tafsir Hadits, semester 4.
[2] Fadhl al I’tizal, hal 12 menurut C.A Nallino, elaborasi permasalahan diatas erat kaitannya dengan sebab-sebab penamaan  mereka.
[3] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 6
[4] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 12. 
[5] Mewarisi bumi Maksudnya: setelah alam semesta ini hancur semuanya, Maka Allah-lah yang kekal.
[6]Perkataan ini terjadi antara mereka sendiri yang timbulnya karena ilham dari Allah.
[7] Fajr al Islam, hal 296.
[8] Mizan al I’tidal, 3/275. Fadhl al I’tizal hal 17.
[9] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 19-23.
[10] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 19-23.
[11] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 19
[12] Adab al Mu’tazilah, hal 122.
[13] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 29.
[14] Adab al Mu’tazilah, hal 123.
[15] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 34.
[16] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 35.


[17] Fathul Bari, 14/286.
[18] Al Farq baiyna a Firaq, hal133.
[19] Fajr Islam, hal 198.
[20] Al Mial wa al Nihal, 1/45dan 81.
[21] Ibid 1/58.
[22] Al Ba’it’s a Hatsits, hal 182.
[23] Fath al Bari, 8/5 dan 8. A Kifayah ha, 94.
[24] Ibid hal 8/6.
[25] Maksud dari Hadits diatas adalah, sekiranya salahs eorang diantara kamu menginfakan emes sebesar gunung Uhud, maka iatidakakan memdapatkan keutamaan dan pahala yang didapat oleh para sahabat karena menginfakan satu mud makannannya atau separuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh imam al Bukhari dalam kitab Jami’ a shahih dalam bab tentang keutamaan para sahabat. Lihat juga Fath al Bari, 8/33. Dan Shahih Muslim 4/1962. Sunan Abi Daud, 2/512. Al Taqyid wa al Idhah, hal 301.
[26] Muhadoroh Ulum al Hadits hal 43.
[27] al Farq baiyna al Firaq hal 228.
[28]  Fadhl al I’tizal, hal 71.
[29] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 82.
[30] Muqadimah Sohih Muslim, 1 hal 22.
[31] Ibid, 1/23.
[32]Jami’ al Bayan al Ilm wa Fadhilihi, 2/32.
[33] Fadhl al I’tizal, hal 138.
[34] Maqalah al Islamiyyin, 1/238.
[35] Fathu al Bari 17/195.
[36] Mizan al I’tidal, 3/277.
[37] Ibid hal 1/294.
[38]Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 113.
[39] Risalah Abu Zaid al Qoyroiwani, hal 440.
[40] al Milal wa al Nihal, 1/45, 48, 70, dan 80.
[41] Fadhl al I’tizal, ha 202.
[42] Maqalat al Islamiyyin, 1/317.
[43] Maqalat al Islamiyyin, 1/319-320.
[44] Al Milal wa al Nihal, 1/63.
[45] Maqalat al Islamiyyin, 1/319.
[46] Al Milal wa al Nihal, 1/60.
[47] Maqalat al Islamiyin, 1/246. Catatan kaki no. 2 dan 1/339. Pada catatan kaki no. 1.
[48] Al farq Baiyna al Firaq, hal 166.
[49] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH , diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 113.
[50] Adad al Mu’tazilah, 150.
[51] Fadhl al I’tizal, hal 165. Mizan al I’tidal, 4/339. Syadzarat al dahab, 3/202. Al A’lam, 9/122.
[52] Majalah al Arabi edisi 122, hal 143.