Sabtu, 07 Desember 2013

Islam Toleran Islam Universal [1]

Dengan kehendak dan kekuasan-Nya, Tuhan sendiri yang akan memutuskan sesuai dengan amal pembuatan setiap hambanya, tak terkecualai Yahudi, Kristen, Sabi’in ataupun Nasrani. Polemic memeng, pernyataan tersebut mengundang polemic ditengah public. Seperti yang dinyatakan oleh Syafi’I Maarif dalam pengantarnya pada bukunya Zuhairi Msrawi yang berjudul “al Qur’an Kitab Toleran: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lilalâmin”. Berkaitan dengan pernyataan diatas, Syafii Ma’arif mencoba menafsirkan Qs: al Baqarah: 62 dan Qs: al Maidah: 69 sesuai dengan penafsiran Hamka seperti yang ditulis dalam kitab Tafsirnya al Azhar.
Polemic tersebut muncul akibat adanya pernyataan yang menyatakan bahwa ayat tersebut telah diabrogasi oleh ayat lain, khususnya Qs: Ali Imran: 85. Disisi lain Hamka sendiri menyatakan bahwa ayat tersebut Qs: al Baqarah: 62 dan Qs: al Maidah: 69 tidak dihapuskan oleh Qs: Ali Imran: 85, melainkan ayat tersebut lebih tepatnya adalah sebagai penguat atas ayat sebelumnya. Karena pada hakikatnya Islam merupakan agama yang menyuruh umatnya untuk percaya kepada Allah SWT dan percaya akan adanya kebangkitan hari akhir. Ini artinya imam atau rasa kepercayaan tersebut hendaknya melingkupi segala kehendandak dan segala firman-Nya, tak terkecuali para Nabi dan utusan-Nya Nabi Muhammad SAW dengan tak terkecuali. Dan hendaklah keimanan tersebut termanifestasikan kedalam amal ibadah yang nyata dan diikuti oleh amal saleh sebagai bentuk pentaukitan atas keimanan yang kita amalkan.
Memahami Islam hakikatnya belajar atas segala kebesaran dan kekuasan Tuhan atas segala makhluknya, karena pada hakikatnya Islam adalah rahmat bagi seluruh alam(Is;lam Rahmatan Lilallâmin). Berkaitan dengan kedua ayat diatas, Hamka menambahkan bahwa“Apabila Qs: al Baqarah: 62 dan Qs: al Maidah: 69 dinasakh oleh Qs: Ali Imran: 85, maka yang timbul akibat ambrogasi atas ayat tersebut adalah fanatisme Islam, walaupun pada hakikatnya tidak pernah mengamalkan ajaran Islam”. Dan ini jelas bertentangan dengan pesan universal Islam itu sendiri, yaitu Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama hadirnya keberagaman adalah suatu keniscayaan, itu artinya dalam kehidupan social kita tidak bisa lepas dengan perbeedaan. Perbedaan itu muncul dalam banyak hal, suku, budaya, ras, dan agama sekalipun. Selain itu sudah merupakan sunatullah adanya perbedaan di dunia ini. Dan sunatullah tersebut merupakan landasan dasar untuk setiap manusia agar saling berinteraksi dan bersosialisasi antar sesama umat manusia.
Meskipun demikian, kita tidak bisa melegitimasi bahwa pendapat Hamka-lah yang dinilai benar, melainkan ada juga berbagai kalangan yang contra atas penafsiran ayat-ayat tersebut. Mereka yang kontra akan pendapat Hamka menyatakan bahwa, hadirnya al Baqarah: 62 dan Qs: al Maidah: 69 dinaskh oleh Qs: Ali Imran: 85. Adalah kebenaran Islam yang universal karena setelah dihapusnya 2 ayat diatas, maka Allah tidak menerima agama-agama lain selain Islam. Namun, apakah benar demikian?
Perbedaan atas penafsiran al Qur’an sendiri merupakan khazanah islam yang begitu besar dan patut kita syukuri bersama. Adanya perbedaan tersebut bukanlah hadir untuk saling menjatuhkan dan mengangap pendapatnya yang paling benar, melainkan perbedaan tersebut hadir untuk saling memamahami, mengerti, dan belajar atas perbedaan yang ada. Karena pada hakikatnya peradaban yang besar tidak dilahirkan atas kefanatikan dan legeitimasi atas kelompok pribadi melainkan atas kerjasama dan kerja keras antar semua manusia yang hadir dengan perbedaan yang mereka miliki.(kh)



 Penulis adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
 Sabiin merupakan sebutan bagi kaum sebelum Nabi Muhammad yang mengetahui serta mempercayaai adanya Tuhan yang maha esa, serta mempercayaai adanya pengaruh bintang-bintang.
 Bunyi ayat tersebut adalah
Qs: al Baqarah: 63
62. those who believe (in the Qur'an), and those who follow the Jewish (scriptures), and the Christians and the Sabians,- any who believe In Allah and the Last Day, and work righteousness, shall have their reward with their Lord; on them shall be no fear, nor shall They grieve.
Qs: al Maidah: 69
69. those who believe (in the Qur'an), those who follow the Jewish (scriptures), and the Sabians and the Christians,- any who believe In Allah and the Last Day, and work righteousness,- on them shall be no fear, nor shall They grieve.
 Bunyi ayat tersebut adalah 
85. if anyone desires a Religion other than Islam (submission to Allah., never will it be accepted of him; and In the Hereafter He will be In the ranks of those who have lost (All spiritual good).\
 Kata pengantar disampaikan oleh Prof.Dr. Ah Syafi’I Maarif dalam bukunya Zuhairi Misrawi “al Qur’an Kitab Toleran: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil Alâmin”
 Bunyi ayat tersebut adalah
19. the Religion before Allah is Islam (submission to His Will): nor did the people of the Book dissent therefrom except through envy of Each other, after knowledge had come to them. but if any deny the Signs of Allah, Allah is swift In calling to account.


Rabu, 01 Mei 2013

Sunnah Fersi Jamal al Bana[1]


          Selama ini sering kali kita memaknanai bahwa sunnah adalah sinonim(persamaan) dari Hadist, namun apakah benar demikian?..Jamal al Bana(adik kandung Hasan al bana/pendiri Ikhwanul Muslimin) membahas panjang lebar pergeseran makna sunnah menjadi Hadis baik dalam pandangan ulama fiqh klasik maupun kontemporer dalam bukunya “Naẖwa Fiqh jadîd 2: al Sunnah Wa Dauruhȃ fi al Fiqh al Jadid”(manifesto Fiqh baru2: Redefinisidan dan Reposisi al Sunnah). Dalam bukunya tersebut Jamal al Bana mendefinisikan bahwa sunnah secara etimologi(bahasa) berarti jalan, metode, dan adat yang berlaku. Sedangkan Sunnah Nabi diartikan sebagai jalan yang diikuti Nabi dalam ibadah, tingkah laku dan pekerjaan lain. Definisi seperti ini sesuai dengan pernytaan Zamahsyari dalam kitabnya “Asȃs al Balȃghah” seperti yang dikutip jamal al Bana, dikatakan bahawa “Sanna sunnatan”(dia merintis jalan baik), “Tharraqa Tharîqatan Hasanatan”(dia merintis jalan baik), dan “Fulȃnun mutasanninun”(fulan mengikuti sunnah).
            Dalam sebuah Hadis Nabi mengatakan “Seseorang yang tidak mau mengikuti sunahku bukan bagian dariku”. Artinya seseorang yang tidak mengikuti metode dan jalanku dalam hal kebaikan dan keadilan baik didunia maupun diakhirat, maka mereka bukanlah bagian dari umatku. Sunnah dalam pemaknaan seperti ini memberikan pemahaman yang sangat umum, mencakup metode yang spesifik yang diikuti Nabi dalam kehidupannya yang mulia. Artinya pemahaman Sunnah menyakup segala perbuatan dan tindakan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, dan ini bertentangan dengan makna sunnah karena sunnah bukanlah perkataan maupun perbuatan Nabi.
            Dalam hal ini pemahaman Sunnah dan Hadits secara umum bukanlah demikian, melainkan Hadis dan Sunnah sering kali disatukan. Dalam al Qur’an sendiri kata sunnah dalam bentuk tunggal disebutkan kurang lebih sebanyak 14 kali, sedangkan dalam bentuk plurar(sunan) disebutkan sebnayak dua kali. Adapaun makna yang terkandung didalamnya tidak jauh dari makna Sunnah secara kebahasaan. Dan hal ini pasti berbeda dengan Hadis. Adapun tujuan Allah menyebutkan Sunnah dalam al Qur’an adalah untuk menunjukan jalan pada prinsip tertentu, dasar, dan sebagai jalan untuk masyarakat tertentu. Adapun faktor yang menjadikan Sunnah dan Hadits menjadi disamakan artinya antara lain adalah; adanya subjektifitas yang disengaja, dan objektifitas fundamental. Diantara subjektifitas yang disengaja antara lain adalah: pertama, tindakan Muawiyah yang menyebarkan kisah-kisah didalam masjid, terutama kisah yang dibawa oleh Ka’ab. Meskipun hal tersebut tidak mendapatkan respon dari golongan intelektual islam pada saat itu, namun tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang dilakukan Muawiyah tersebut adalah bermuatan politis, yaitu untuk menutup ruang perdebatan diseputar khilafah. Lebih jauh lagi hal tersebut bertujuan untuk memalingkan masyarakat islam agar berpindah dari urusan keduniaan (masalah khilafah) menuju urusan akhirat. Dan hal inilah yang mendorong lahirnya hadis-hadis palsu, seperti siksa kubur, hari perhitungan dan lain-lainnya. Dan tujuan dari misi tersebut adalah menakut-nakuti masyarakat pada saat itu supaya tidak lagi memikirkan masalah dunia(khilafah), dan beralih untuk urusan akhirat.
            Kedua, secara tidak langsung peristiwa tersebut bersamaan dengan yang dilakukan oleh kalangan Yahudi, Munafiq, dan musuh-musuh islam yang lain. Yaitu mereka yang mengimani hadits pada pagi harinya dan mengafirinya disore hari.  Mereka tidak segan-segan mengatakan bahwa al Qur’an tidak lain hanyalah dongeng-dongeng orang-orang terdahulu dan seterusnya. Hal inilah yang pada perkembangannya dinilai sebagai abrogasi Nasikh dan Mansukh dalam al Qur’an. Yang pada akhirnya pendapat orang Yahudi dikaitkan sebagai pendapat para sahabat. Dan lebih ironis lagi pendapat-pendapat tersebut telah dikutip oleh ulama-ulama tafsir pada masanya, bahkan masih ada dalam  kitabnya sampai sekarang.
            Ketiga, hal ini ditambah dengan beredarnya peran pemalsu Hadits yang shaleh. Dimana hadits-hadits tersebut dihembuskan untuk menakut-nakuti masyarakat. Mereka dengan dalih mengkampanyekan keutamaan-keutamaan tertentu dalam al Qur’an, tidak tangung-tangung mereka juga menyeritakan siksa-siksa kubur secara menakutkan. Keempat, selain itu bertambah luasnya kekuasaan islam menjadikan pencarian hadis(walaupun palsu), akibanya pemalsuan hadis-hadis tidak dapat dihindarkan, apalagi hal tersebut didorong bahwa al Qur’an hanya menginformasikan permasalahan yang sifatnya global dan tidak menyentuk masalah-masalah yang terperinci. Dan hal inilah yang melatarbelakangi pemburuan hadis untuk menemukan Hadis yang benar-benar tidak tereksplorasi. Namun diakaui ataupun tidak, hal tersebut menjadikan munculnya hasdis-hadis palsu baru manakala tidak ditemukannya hadis yang benar, akhirnya hadis palsu pun menjadi pilihan.
            Kelima,  selain keempat faktor diatas politik penguasa menjadi faktor yang cukup dominan. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muawiyah dalam membungkam peran politik para ahli fiqh seperti yang dilakukan terhadap 4 mazhab(Maliki, Hambali, Syafi’I dan Hanafi) . Akibatnya Ulama Fiqh tidak menemukan lahan lain kecuali ibadah. Keenam, selain itu para penguasa juga menyebabkan banyaknya hadis seputar khilafah. Dimana hadits tersebut bertujuan untuk meruntuhkan keklompok atau golongan tertentu, seperti dinasti Umaiyyah dan Abasiyah. Tidak sedikit Hadits yang dijadikan golongan syi’ah yang awalnya digunakan untuk melegitimasi kelompoknya yang hingga pada akhirnya dijadikan dasar oleh ulama fiqh dari golongan syi’ah dalam memberikan hukum.
            Ketujuh, perkembangan islam yang cukup signifikan mau tidak mau patsinya merangkul semua golongan dari berbagai suku, etnis, dan bahasa yang berbeda. Dimana mereka sudah memiliki tradisi yang sudah mengakar kuat dalam dirinya, dan ditambah dengan dendam mereka kepada Romawi dan Yunani. Oleh karenanya mereka menggunakan kesempatan tersebut untuk menghembuskan hadits-hadits palsu yang dapat merusak aqidah. Hingga pada  pertengahan abad kedua hijriah umat islam diguyur dengan jutaan hadits palsu. Hingga pada akhirnya hadits tersebut dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum. Perjuangan Ulama dalam hal ini sangatlah besar, terbukti dengan lahirnya kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ulama pada zamannya. Diantara Ulama hadits pada masa itu antara lain adalah: Yahya bin Mu’in madini, ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahwih, dan yang lainnnya.
            Sunnah telah menjadi basis intelektual para Ulama, dimana mereka menempatkan posisi sunnah pada urutan kedua setelah al Qur’an(al Qur’an II). Dengan demikian sunnah telah menjadi Hakim atas al qur’an, dalam artian al Qur’an dan hadits adalah 2 pondasi utama pedoman umat islam. Namun dalam tradisi sejarah, para sahabat sangat berhati-hati dalam menuliskan sunnah. Hal ini terlihat seperti yang dikatakan Aisayah(salah seorang istri nabi) yang mengatakan “al Qur’an saja sudah cukup”, kita juga melihat sahabat yang menceritakan hadits kemudian melarang orang untuk menulisnya, dengan berkata “apakah kalian akan menjadikannya sebagai mushaf?”.
            Dari riwayat sahabat diatas menjelaskan bahwa; pertama, penulisan Hadis Nabi telah berklangsung sejak masa Nabi, sahabat, dan terus berkembang sampai sekarang. Kedua, sesungunhnya Nabi, Abu Bakar, Aisyah dan sahabat-sahabat yang lain telah melarang dan menghalangi penulisan hadis pada waktu itu. Namun atas faktor subjektifitas dan objektifitas telah memosisikan hadits pada level tertinggi dalam hukum islam setelah al Qur’an. Ketiga, larangan para sahabat atas penulisan Hadits tersebut memang berpedoman bahwa “cukup al Qur’anlah yang benar-benar dijaga oleh Allah”, dan ini murni karena kebenaran. Bukan seperti mereka yang datang setelah masa sesudahnya yang telah menjadikan Hadits sebagai profesi, produksi dan modal. Hingga akhirnya mereka akan membelanya meskipun dengan cara yang kurang tepat.
Terakhir, meskipun penyaringan Hadits palsu telah dilakukan, namun hal tersebut tetap memiliki imbas terhadap kehidupan umat islam, karena hal tersebut bersamaan dengan didikrikannya “Madrasah Hadits”, secara tidak langsung hal tersebut telah menjadi “badan pengesah” atas hadits-hadits palsu yang kemudian dijadikan dasar hukum dalam islam. Jamal al Bana menilai bahwa “meskipun hadits telah mengalami penyaringan secara kuantitas, namun tidak secara kualitas ”. Karena hal ini tidak mampu merubah keadaan semula yang menjadikan al Qur’an sebagai sumber pertama dan utama dalam islam. Artinya penyaringan tersebut hanya menjadikan keadaan menjadi tidak lebih buruk.
            Seorang akan dikejutkan dengan penemuan yang memperlihatkan bahwa banyak hadits tentang penghalalan dan pengharaman dalam musnad-musnad yang tidak seuai dengan ayat al Qur’an, dan hanya sebagian kecil saja yang sesuai dengan ayat al Qur’an. Hadits tersebut tersedot dalam dua pembahasan utama; pertama, perinciaan tentang ibadah seperti anjuran berdo’a dan sholat dengan menggunakan do’a-do’a tertentu dihari tertentu , dan bulan tertentu pula. Kedua,  hadits tersebut bertujuan untuk menakut-nakuti seperti pemberitahuan akan siksa kubur, surga neraka, sampai datangnya al Mahdi. Dua pembahasan inilah yang akhirnya membentuk psikologi umat islam hingga akhirnya menjadi muslim yang ideal. Hal ini bisa kita lihat dari aktifitas orang islam setiap harinya, dimana mulai bangun tidur hingga mau tidur lagi mereka selalu mengawalinya dengan do’a, dan begitulah aktifitas yang berjalan berikutnya. Beberapa Hadits yang telah ditulis dalam kitab-kitab Musnad antara lain.
“Adakah yang lebih membangkitkan harapan dari nama Agung Allah?, yang mana seorang berdo’a melalui nama agung ini bisa terkabul! Adakah yang lebih menakutkan melebihi siksa kubur yang dapat menghancurleburkan tubuh anak Adam? Adakah yang lebih menenangkan jiwa dengan do’a disetiap gerakan sholat yang dapat menjadikan seorang suci seperti baru lahir”
Ribuan hadits seperti ini telah mewarnai kitab-kitab sunan dan telah disahkan oleh para ahli hadits. Bahkan dari sebagian mengangapnya sampai tingkatan mutawair. Inilah yang pada akhirnya menjadi corak resmi umat islam sebagaimana hadits tersebut telah memadamkan api pemberontakan terhadap kekuasaan dan mematikan kreatifitas umat muslim. Hingga pada akhirnya umat islam hanya terpaku pada urusan ibadah, taklid, menyerah, dan terjatuhkan dari kreatifitas.
            Darisinilah kita bisa berkesimpulan bahwa “Ulama terdahulu memang brilian, namun mereka bukanlah malaikat yang terlepas dari salah. Mereka juga memiliki keterbatasan, kekeliruan, dan kealpaan, utamanya pemikiran mereka tentang fiqh”. Meskipun demikian itu bukanlah satu-satunya penyebab terbesarnya, namun politik penguasa disini memiliki peran yang sangat vital, dimana ditangan merekalah telah mengurung umat islam dari keterbelakangan dan kebodohan. Dan pada akhirnya hadits-hadits palsu tersebut membuat umat islam untuk menerima apa yang dilakukan para penguasa, dengan menerima kenyataan meskipun terbelakang sebagaiman telah terjadi dalam praktek tasawuf.
            Sebagamana telah disampaikan diatas, seandaidanya gerakan dan tradisi yang telah terkomando tersebut tidak hanya dalam hal agama pastinya sangat luar biasa dampaknya bagi umat islam sekarang. Sayangnya hal tersebut hanya terjadi dalam hal ibadah saja yang jauh dari inti kehidupan.(kh).


[1] Artikel dikutip dari  kitab “Naẖwa Fiqh jadîd 2: al Sunnah Wa Dauruhȃ fi al Fiqh al Jadid”(manifesto Fiqh baru2: Redefinisidan dan Reposisi al Sunnah) karya Jamal al Bana oleh Moh Khoiri, Penulis adalah mahasiswa Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.

Sabtu, 20 April 2013

Bagaimana Ulama Indonesia Melahirkan Hukum[1]?.....



Islam yang sejatinya agama samawi, Islam juga sebagai agama rahmatan lil alamin(petunjuk bagi semesta alam). Dalam konteks ke-Indonesiaan Islam dituntut untuk menjadi problem solving dalam memecahkan permasalahan yang ada di Indonesia, tentunya dalam memberikan hukum, Islam disamping menjadikan al Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW sebagai sandaran pertama dan utama, Islam juga harus melihat sisi ke-Indonesiaan dimana Hukum itu akan diterapkan, dan akhirnya dijalankan oleh masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan pengambilan Hukum, MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU yang bertindak sebagai kontrol atas berlakunya hukum di Indonesia selalu melihat sisi kemaslahatan dan kebijaksanaan dalam melahirkan hukum di Indonesia.
Keberagaan Indonesia yang tidak bisa kita alpakan ini, sejatinya merupakan kekayaan dan keberkahan yang Allah berikan kepada kita semua. Tentunya dalam melahirkan Hukum Negara, MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU dalam hal ini tidak hanya mengedepankan sisi religiusitas yang berpatokan pada al Qur'an dan Hadis Nabi. Lebih dari itu, selain menggunakan dua unsur pokok tersebut, MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU tetap mengedepankan sisi Demokratis, Dinamis dan berwawasan luas. Demokratis karena hukum yang dihasilkan selalu mengedepankan pendapat yang paling kuat, tidak heran jika dalam merumuskan hukum tidak ada perdebatan antar Ulama maupun santri, ataupun peserta yang lain. Dan dikatakan Dinamis karena persoalan/masalah(masail) yang dislesaikan selalu mengikuti perkembangan (tren) hukum yang berlaku di Masyarakat. Sedangkan dikatakan berwawasan luas karena dalam memberikan jawaban tidak ada dominasi Mazhab, karena NU terkenal dengan menggunakan mazhab yang 4(syafi'i, maliki, hambali dan hanafi). Dengan demikian maka hukum yang dihasilkannya selaras dengan perkembangan zaman, dan yang pasti tidak meninggalkan sisi religiusitasnya, karena itulah pokok utama ajaran al Qur'an(shohih likullli zaman wa al makan).
Sebagai contoh misalnya; dalam menetapkan hukum bunga bank, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan Haram, ada juga yang memperbolhkan/menghalalkan, dan ada juga yang menganggap bunga bank tersebut termasuk subhat. Permasalahan ini terus berkembang dan hingga pada akhirnya NU memutuskan masih pada tiga pendapat tersebut. Hal ini sebagai antisipasi NU untuk memberikan ruang bagi masyarakat, dan ternyata setelah diberlakukannya hukum tersebut, banyak bermunculan bank-bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara professional.
MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU berpandangan bahwasannya, "Bagaimana mungkin fiqih yang dikopntruksikan ratusan tahun yang lalu mampu menjawab semua permasalahan yang ada saat ini". Dari sinilah akhirnya NU berusaha untuk menhadirkan fiqih baru yang sesuai dengan ruang dan waktu saat ini. Dimana fiqih tersebut berusaha untuk mengakomodir semua permasalahan yang ada di masyarakat dengan memberikan jawaban yang tepat dan sesuai syariat.
 Dalam proses pengambilan Hukum(istimbath al hukum) MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU tidak langsung merujuk kepada al Qur'an dan Hadis Nabi sebagai sumber utama, melainkan memberlakukan(mentahkikan) sikap dasar bermazhab  secara dinamis sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang dicari solusinya. Dalam NU dikenal dengan istilah "bahtsul masaail" yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah(yang terjadi) melallui sumber(maraji') yaitu kitab-kitab Ulama' ahli fiqih terdahulu. Dalam hal Fiqih NU menggunakan 4 mazhab yaitu; Maliki, Syafi'i , Hambali, dan Hanafi. Sedangkan dalam hal tasawuf NU menggunakan metode al Ghazali dan Junaid al Baghdadi yang mengintehrasikan antara tasawuf dan syari'at.
Dan yang pasti pemberlakuan atas Hukum fiqih Ulama' NU telah bersepakat bahwasannya fiqih bukanlah hal yang sakral melainkan produk Ijtihadi yang suatu saat akan terus berkembang mengawal keberlangsungan hukum di Indonesia yang setiap saat, waktu, dan zamannya pasti akan terus berubah. Hal ini terbukti ketika KH Bisri Syamsuri(salah seorang kyai pendiri NU) memberlakukan dibolehkannya KB, beliau memperbolehkannya KB karena berpandangan terhadap pendapat Imam al Gzazali yang memperbolehkan KB, meskipun pada saat itu Ulama NU sangat ketat dalam hal KB. Ini membuktikan bahwasannya NU secara praktek telah memberlakukan pendapat diluar mazhab syafi'i, meskipun dalam struktur kajiannya masih banyak Ulama NU yang menggunakan kitab-kitab Mazhab Fiqih Imam Syafi'i, mulai dari yang terkecil “safinat al shalah” sampai yang paling besar seperti kitan “al Umm” karya Imam as Syafi'i.
Pandangan yang menyatakan bahwa fiqih adalah hukum sakral yang tidak dapat berubah adalah pendapat yang kurang tepat. Karena biar bagaiman persoalannya yang namanya fiqih adalah “suatu hukum yang digali, artinya lahirnya hukum fiqih adalah melalui suatu proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang hingga akhirnya dinyatakan sebagi hukum praktis, dalam istilah fiqih dikenal dengan "al ilmu bi al ahkam al sya'iyyah al amaliyah al muhtasab min adillatiha tafshiliyah". Sebagai contoh proses pencetusan hukum yang dilakukan Imam Syafi'i dalam memberikan hukum seputar  menstruasi(haid). Contoh lain bisa  kita klihat bagaimana Ulama NU dalam menentukan awal ramadhan yang menggunakan metode hisab(falaq) dan ikhtilaf al matla'. Itu semua menunjukan bahwasannya fiqih itu bukanlah hukum final yang tidak dapat berubah. Namun meskipun demikian dalam penalaran/istimbat hukum kita dituntut untuk bisa mengetahui dan memahami dengan baik dan benar akan permasalahan yang sedang digali hukumnya.
Tentunya Imam Mazhab dalam mencetuskan hukum, selain berpatokan dengan al Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Mereka juga selalu mempertimbangkan formulasi hukum yang akan dihasilkan dengan tetap melihat sisi sosial dan kultur masyarakat sekitar. Yang patut dijatikan pelajaran disini adalah,meskipun para Ulama satu dengan Ulama yang lain berbeda pendapat terkait dengan hukum yang dihasilkannya, namun mereka tidak ada yang beranggapan/mengklaim bahwa Ijtihatnya yang paling benar. Hal ini seperti yang kita saksikan dalam mazhab al arba'ah(mazhab yang empat) itu semua memperlihatkan betapa luasnya samudra ilmu islam. Dalam hal ini mereka berpandangan bahwa "Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan Ijtihad lain"(al Ijtihad la yunqadhu bi al Ijtihad). Artinya semua bentuk Ijtihad memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dengan demikian antara Ulama yang satu dengan Ulama yang lain tidak bias saling mengklaim bahwa Ijtihad-nyalah yang paling benar. Darisinilah kita bisa mengetahui bahwa fiqih bersifat fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak permanen.
Lebih jauh lagi KH. Sahal Mahfud(rais Am PBNU) mengemukakan bahwasannya muara hukum fiqih adalah terciptanya keadilan sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini beliau mengutip salah satu pepatah arab yang mengatakan "Ambillah yang jernih dan tinggalkanlah yang keruh"(khudz ma shafa wa da' ma kadara). Pendapat ini diperkuat dengan perkataan Imam Ali yang mengatakan "Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma' al kufri dan negara itu akan hancul dengan kezaliman meskipun ma'a al muslimin". Hal ini selaras dengan pendapat Ibn Taimiyah bahwasanyya "Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun negara kafir, dan Allah akan menghaculkan negara yang zalim meskipun negara muslim". Jika berpandangan menggunakan kerangka ini, maka apabila ada hukum fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya keadilan dimayarakat, maka fiqih harus ditinggalkan.
Dalam hal ini Nabi pernah berpesan "Antum a'lamu biumuuri dunyakum" artinya pada wilayah non ibadah, misalnya perpolitikan umat islam diberi kebebasan untuk memutuskan  dasar-dasar politik yang adil, dan egaliter sehingga bisa diterima semua pihak. Selain itu, dalam mensikapi masyakat NU sering kali mengedepankan sikap tawasut dan i'tidal(moderat), tasamuh(toleran), tawazun(seimbang), dan Amar ma'ruf nahi Mungkar(mengajak kepada kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran). Dan paling tidak rumusan yang dihasilkan harus memenuhi tahapan dalam Maqasid as syari'ah yaitu:1). Melindungi agama(hifzh al din), 2) Medlindungi jiwa dan keselamatan fisik(hifal an Nafs), dan 3). Melindungi keturunan(hifzh al nasl) 4. Melindungi fikiran(hifzh al Aql), dan 5). melindungi harta benda (Hifzh al mal), Rumusan 5 Maqasid as Syari'ah ini membuktikan bahwasannya Islam mengajarkan pemahaman bahwa dalam melakukan ibadah tidak hanya menhkhususkan dirinya pada penyembahan kepada Tuhan semata yang sifatnya ritualistik dan kadang susah dipahami makna dan manfaatnya. Dengan demikian semakin jelas bahwasannya Islam sebagai agama samawi dan sebagi agam arahmatan lil alamin sudah selayaknya menjadikan dirinya sebagai agama petunjuk bagi semua umat manusia(kh).


[1] Artikel diambil dari Pengantar Rais Am PBNU Dr. KH. Shal Mahfudh, dalam buku “Solusi Problematika Aktual Hukjum Islam: Keputusan Mukhtamar, Munas, dan Kombes Nahdhatul Ulama” tahun 1926-2004, dan dari “Buku Agenda Kerja 2010  Nahdhatul Ulama”.

Kamis, 18 April 2013

*Ilmu atau Sains?.....



Dalam Epistemologi Barat Sains berbeda dengan  knowledge, sebagaimana ilmu dalam epistemologi Islam berbeda dengan opini. 
Ilmu merupakan pengetahuan tentang sesuatu sebagaiman adanya, dengan demikian ilmu bukanlah sekedar opini/dugaan semata, melainkan sebuah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya.
Pada prinsipnya, Ilmu dan Saincs bukanlah dua entitas yang berbeda, melainkan dua unsur yang memiliki kesamaan, hanya saja sains terbatasi hanya pada bidang fisik saja, sedangkan ilmu melampaui itu semua termasuk metafisika. Dalam hal ini akan didiskusikan permasalahan seputar Ilmu dan Sains. Dalam hal ini penulis mengawali pembahasan kali ini dengan mengemukakan pengertian Sains.
Pertama, Dalam pengertiannya Saincs berasal dari kata latin “scire” yang artinya mengetahui. Sedangkan dalam arti bahasa Sains diartikan sebagai “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil arti ilmu pengetahuan(knowlege) yang dikontraskan dengan intuisi atau kepercayaan”.
Dalam perkembangannya Saincs diartikan sebagai “pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi indrawi”. Dari  sinilah kita akan menetahui bahwasannya Saincs hanya melakukan kajiannya pada alam dan  wilayah/dunia fisik. Dengan menyaratkan observasi, maka Sains dituntut untuk mampu berhubungan dengan benda-benda fisik seperti; kimia, biologi, astronomi, bahkan bidang-bidang psikologi dan sosiologi.
Dalam hal ini Aguste Comte salah seorang bapak sosiolog asal Jerman menyatakan bahwa “sains itu bersifat positivistic”. Dan inilah yang kita katakan sebagai unsur paling mendasar dari sains.
Dalam realitas keilmuaan saat ini timbul perdebtan, 1. Apakah matematika bagian dari ilmu atau Sains?...pertanyaan ini bisa kita tepis dengan pengetahuan Sains yang menjadikan dunia fisik/hukum positivistic sebagai landasan dasar Sains. Dengan demikian tidak berlebihan kiramnya menjadikan Matematika sebagai bagian dari Sains. Hal tersebut bisa kita ketahui bahwa objek kajian Matematika dasar adalah bertumpu pada benda-benda fisik walaupun pada dirinya tidak bersifat fisik.
Kedua, Secara bahasa Ilmu berakar kata  “‘Ilm/alima” yang artinya mengetahui, pengertian Ilmu disini sama halnya dengan pengertian Sains seperti yang penulis ungkapkan diatas. Lantas Apa perbedaan Ilmu dan Sains? Adakah perbedaan antara keduanya? ……..dalam hal ini Ilmu memiliki kriteria seperti halnya sains sebagai pengetahuan yang sistematis dan terorganisasi. Namun yang membedakan antara keduanya adalah; “Kalau sains membatasi dirinya pada bidang-bidang empiris positivistic, sedangkan ilmu melampaui itu semua dengan melibatkan pembahasannya pada bidang non empiris, seperti matematika dan metafisika”.
Dengan demikian maka bisa kita ambil kesimpulan, bahwasannya antara Sains dan Ilmu memiliki pengertian yang sama. Namun dalam perjalanannya Sains membatasi dirinya pada dunia fisik ansich (dengan segala kompleksitasnya). Sedangkan ilmu tetap konsisten dengan tetap menjadikan Matematida dan Metafisika sebagai lahan kajiannya(kh).
 *Kuliah Filsafat Ilmu Oleh: Prof. Dr. Mulyadi kartanegara, MA. Materi Pertama “Sains, Ilmu, dan Opini”

Senin, 15 April 2013

Sejarah masuknya Pers ke Indonesia


  1. PENDAHULUAN
Pers merupakan media komunikasi yang mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Setiap pemberitaan yang diterbitkan oleh pers itulah yang membuat masyarakat mau tidak mau terpengaruh. Bentuk media komunikasi tersebut adalah elektronik dan cetak. Contoh media cetak seperti: koran, majalah, artikel, dan lain-lain. Sedangkan media elektronik di antaranya radio, film, televisi, dan internet. Dari dua contoh tadi, jelas itu menimbulkan dua pengertian pers yaitu yang pertama, dalam arti kata sempit pers adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti kata luas adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik.  
         Pers Indonesia berkembang pasca Orde Baru untuk menjamin kebebasan pers yang bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat dari informasi yang sesuai dengan etika dan moralitas masyarakat. Di satu sisi, ini merupakan pembebasan pers yang mengutamakan etika yang berkembang di masyarakat. Di sisi lain, Sistem Pers Indonesia menjadi alat kritik yang berlebihan dan tidak sesuai dengan etika terhadap pemerintahan pasca Orde Baru. Jelasnya, Sistem Pers Indonesia pasca Orde baru menyimpang dari sistem awalnya yang seharusnya mengutamakan etika tetapi malah menjadi berlebihan dalam pemberitaan sehingga menimbulkan immoralitas.
Berdasarkan latar belakang masalah/konteks di atas, pertanyaan mayor berkaitan dengan Sistem Pers Indonesia pasca Orde Baru dan penyimpangannya. Dari pertanyaan mayor ini dapat dikembangkan menjadi pertanyaan minor yang berhubungan dengan Sistem Pers yang memang mengatur jalannya pers di Indonesia. Maka pertanyaan mayor dan minor memerlukan jawaban dari beberapa pertanyaan. Jelasnya, Sistem Pers yang berisi aturan dalam pers banyak menimbulkan banyak pertanyaan.
Dalam merumuskan kedua pertanyaan tersebut di atas, maka pertanyaannya terdiri atas mayor atau utama dan minor atau turunan. Pertanyaan mayor atau utama adalah bagaimana perkembangan Sistem Pers Indonesia? Kemudian pertanyaan minor atau turunan adalah siapakah yang memengaruhi SPI? Di manakah Posisi SPI? Apakah yang menjadi landasan SPI?
        Perkembangan Sistem Pers Indonesia memang membawa dampak yang sangat besar. Diawali dari tumbangnya rezim Orde Baru yang menandai awal perubahan Sistem Pers Indonesia. Sistem Pers Indonesia mengalami perkembangan, yang sebelumnya pers dikuasai dan dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah. Sebelum penerbitan berita oleh pers, pers harus melewati salah satu lembaga yang dibuat pemerintah untuk perizinan penerbitannya yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP). Sehingga pers yang tidak pro terhadap pemerintahan maka akan dibredel. Namun hal itu berbanding terbalik sejak Orde Baru runtuh pemerintah menjamin penuh kebebasan pers yang termaktub dalam UU pokok pers namun sesuai dengan koridor-koridor yang ditentukan. Koridor yang ditentukan berdasarkan tanggung jawab pers dalam pemberitaan. Pemberitaan yang beretikalah yang menjadi landasan utama Sistem Pers Indonesia.                                                   
 Namun di balik hal itu, kadang kala ada di antara salah satu pers yang berlebihan dalam pemberitaan yang sifatnya destruktif/menjatuhkan dan tidak sesuai dengan fakta yang ada di masyarakat. Dan hal ini bertentangan dengan UU pokok pers No. 21 Tahun 1982 yang menyebutkan bahwa pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat kontruktif yaitu membangun. Jelasnya, SPI pasca Orde Baru harus bertanggung jawab.

B.     PENGERTIAN PERS DAN SEJARAHNYA HINGGA SAMPAI Ke INDONESIA
Seiring dengan ditemulkannya mesin cetak munculllah istilah Pers(Belanda) atau Pres(Inggris). Dari segi bahasa(etimologis) pers/pres artinya menekan/pressing, karena mesin cetak menekan kertas untuk memnculkan tulisan. Dan Istilah Pers sendiri baru muncul setelah J Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1456[1] yang tugasnya untuk menekan kertas supaya menghasilkan tulisan, yang pada awalnya diartikan sebagai persuratkabaran. Namun belakangan ini ada yang mengartikan media elektronik adalah bagian termasuk dari pers[2].
  Dari sini bisa kita ketahui bahwasannya secara umum, pengertian Pers terbagai menjadi 2 bagaian. Yaitu; pers dalam arti sempit dan pers dalam arti yang lebih luas. Dalam arti yang sempit. Pers diartikan sebgai kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan dalam arti yang luas merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan baik dengan barang cetakan maupun media elektronik seperti; radio, tv, maupun internet[3].
Meskipun mesin cetak telah ditemukan, akan tetapi surat kabar belum ditemukan/muncul. Hingga samapi abad ke 17 surat kabar masih belum muncul di Eropa, hingga pada akhirnya ditemukanlah beberapa surat kabar yang diketahui sebagai sejarah munculnya jurnalisme, antara lain[4]:
Ø Mercurius Gallobelgius(Collonge, 1592) merupakan penerbitan periodic pertama     di dunia. Dan ini merupakan penerbitan semi tahunan yang disebarkan pada pameran buku.
Ø The Oxford Gazzete(1665) adalah penerbitan surat kabar secara rutin. Awal munculnya di pengadilan Oxford untuk menghindari wabah/gangguan di London.
       Perkembangan selanjutnya diikutinya atau ditemukannya mesin rotasi/silinder oleh Wiliam Bullock di Philadelpia pada tahun 1863. Dengan ditemukannya mesin rotasi tersebut proses percetakan menjadi cepat dan mudah. Setelah itu, perkembangan selanjutnya diikuti oleh perkembangan percetakan yang menggunakan set Linotip yang diciptakan oleh Mergethaler. Dengan ditemukannya mesin ini, maka percetakan tidak lagi menggunakan huruf-huruf terpisah seperti pada percetakan sebelumnya, melainkan menggukan satu set huruf  yang disatukan. Dengan demikian, maka proses percetakan akan semakin mudah dan cepat, dan yang pasti kualitasnya menjadi lebih baik.
        Akan tetapi meskipun berbagai penemuan telah berhasil ditemukan, namun itu semua belumlah cukup untuk menganggat  surat kabar menjadi alat komunikasi masal yang sesungguhnya. Dari sini diperlukannya alat atau media yang bisa menganggat surat kabar tersebut supaya bisa menjadi media komunikasi masal, konsekwensinya kebutuhan akan unsur politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan demografi modern menjadi hal yang sangat penting untuk mempercepat proses Pers menjadi alat komunikasi masal yang sesungguhnya. Dan yang pasti perkembangan Pers di suatu Negara sanagt dipengaruhi oleh keadaan pemnerintah dan kondisi masyarakatnya.
        Salah satu Negara yang menjadi acuan perkembangan pers didunia modern saat ini adalah Inggris. Dimana Koran dinegara ini selalu menjadi acuan bagi Negara lain dalam mengetahui pasang surutnya perkembangan surat kabar, bahkan di Amerika sendiri dipengaruhi oleh perkembangn Koran yang ada di Inggris[5].
         Dimana pada masa pemerintahan Raja Tudor di Inggris berkuasa sampai akhir abad 15 telah menggunakan media masa cetak sudah digariskana oleh sang Raja sebagai alat pendukung untuk melancarkan politik pemerintah. Adapun pada saat itu masyarakat menggunakan filsafat Authoritarian political philosophy (keyakinan yang menjadikan penguasa/raja sebagai wakil Tuhan) dan segala sesuatu adalah milik raja. Adapun perkataan Raja adalah sebagai Privelege (hak istimewa) yang haru ssenantiasa dipatuhi dan ditaati. Konsekwensinya Jika Raja berkehendak maka rakyat harus mendukungnya dengan melaksanakannya. Sistem seperti ini berlangsung hingga 2 Abad lamanya yaitu samapai kekalahan politik Raja Charles I terhadap parlemen Inggris pada tahun 1641. Sampai pada akhirnya baru pada tahun 1649 di Inggris berlaku kebebasan dalam menyiarkan informasi.
        Salah seorang yang getol menyuarakan kebebasan berpendapat yaitu John Look salah seorang ahli filsafat. Hingga pada akhirnya pada tahun 1695 muncullah jaminan atas kebebasan berpendapat. Sementara pada akhir abad 19 di Inggris sudah mengalami perkembangan dalam dunia tulis menulis, sehingga tidak ada lagi halangan yang berkaitan dengan surat kabar. Menjelang abad 20 perkembangan surat kabar di Inggris di pengaruhi oleh  Pers di Amerika serikat. Dimana pada waktu itu surat kabar di Inggris lebih mengedepankan/berorientasi pada pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang selanjutnya disebut sebagai surat kabar yang berkualitas(quality newsppaper).
      Diantara surat kabar yang terkenal pada waktu itu antara lain adalah Tims yang direktur utamanya adalah John Walter, kemudian diikuti lagi oleh surat kabar lainnya seperti Daily, Telegrafh, Morning Post, Manchester Guardian. Dengan dipengaruhinya surat kabar persebut dari pers Amerika yang lebih mengutamakan keinginan/selera pasar, maka tujuan dan fungi sebenarnya mulai terganggu. Dari sini bisa kita ketahui bahwa Pers di Amerika lebih mengutamakan selera pasar atau dengan kata lain “memberikan sesuai dengan yang diharapkan pasar”.
        Pengarus Pers Amerika tersebut dimulai dari Alfred Charles yang menilai bahwa pers di Amerika cerdas dalam mengemas berita, sehingga beritanya laku dipasaran meskipun pemeberitaan kecil namun bisa menarik minat pembaca. Itulah  sebabnya Alfred tertarik untuk mengikuti metode-metode yang digunakan Pers amerika dalam menarik perhatian pembaca. Dari sinilah maka muncul pendapat “If a dog Bites a man it is not news, but is a man bites a dog, that is new”(keyakinan pada pendapat itu mengakibatkan media harus menyajikan sesuatu yang luar biasa).
        Dalam perkembangannya Pers di Indonesia mulai berkembang semenjak adanya penjajahan yang di lakukan oleh Belanda. Dalam hal ini setidaknya ada 5 fase perkembangan Pers di Indonesia hingga sampai saat ini. Antara lain lima fase tersebut adalah:
Ø  Pers Indonesia pada masa penjajajahn Belanda.
Munculnya Pers pada masa ini dinulai dengan terbitnya surat kabar untuk yang pertama kalainya yaitu “memoria der Nouvells”. Dimana penulisannya masih menggunakan tulisan tangan. Karena meskipun di Eropa telah ditemukan mesin cetak, namun penguasaaannya/penggunaanaya hanya bisa dilakukan oleh para raja. Surat kabar ini pertamakali terbit pada tahun 1615.
Sedangkan untuk pembacanya pun beragam, mulai dari orang betawi sampai para pejabat  VOC. Hal inilah yang menjadikan para pembesar VOC bernama Jan Pieterzoom Coen untuk menerbitkan surat kabar tersebut. Maka muncullah  Koran bernama  MdN yang pada akhirnya digunaan untuk  mencapai tujuan VOC untuk menguasai Indonesia.
Beberapa informasi yang dimuat dalam Koran tersebut antara lain adalah: berita-berita pengumuman dari pemerintah yang berisi tentang perdagangan, jadi antara judul dan isinya tidak sesuai. Dari surat kabar ini juga bisa diketahui peranan kaum militer Belanda dan sejarah agama Kristen di Indonesia.
Surat kabar ini hanya bisa bertahan sampai 2 tahun, meskipun izinnya sampai 3 tahun. Hal tersebut karena De Heeren XVII pimpinan tertinggi VOC di Belanda tidak suka dengan surat kabar tersebut. Surat kabar tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 22 Juni 1746. Hal tersebut sesuai dengan keputusan De Heeren XVII di Negri Belanda pada tanggal 20 November 1744 yang menegaskan bahwa surat kabar tersebut tidak boleh terbit lagi.
Hingga pada tahun 1775 pemerintah Hindia Belanja memberikan surat izin Dominicu(salah seorang belanda dan pengusaha percetakan di batavia). Koran ini mulai terbit lagi pada tahun1776. Dimana Koran tersebut memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kegiatan pemerintah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Koran ini berhasil bertahan samapi pada tahun 1810. Hingga pada akhirnyya Koran ini resmi dibubarkan ketikan pemerintahan Hindia Belanda jatuh ke Tanggan Inggris. Dan Inggris sendiri menyadari pentinyya surat kabar sebagai media informasi, maka Inggris sendiri menerbitkan surat kabar yang diberi nama “Java Gavermens Gazzate”,(29 februari 1812). Dimana Koran tersebut digunakan  untuk mempulikasikan kebijakan pemerintah, bahkan diantara tulisan yang lain ada yang mengritik kebijakan pemerintah[6].
Hingga pada akhirnya muncullahh beberapa surat kabar yang terbit untuk pertama kalainya dengan menggunakan bahasa asli daerah. Diantara Koran tersebut antra lain adalah; Soerabajsch Advertentieblad(1835). Soerabajsch Nieus en Advertentieblad(1953) di Semarang, De Nius bode(1961) di Bnadung, dan tentunya masih banyak lagi. 
Ø  Pers nasional masa penjajahan Belanda.
Dimana pada masa itu surat kabar di Indonesia mengalami pasang surut. Sejarah Pers di Indonesia, tidak akan bisa lepas dari peran masyarakatnya, artinya satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Hingga pada akhirnya pada permulaan perang dunia II ada kurang lenih sekitar 350 sampai 400 surat kabar, majalah mingguan dan bulanan. Meskipun pada saat itu ada larangan dari Pemerintah Hidia Belanda untuk tidak menyebarkan perasaan permusuhan, maupun penghinaan terhadap pemerintah Belanda. Hal tersebut tertuang dalam pasal 144 dan 145.
Ø  Pers Indonesia dimasa Penjajahan Jepang.
Seperti pada sebelumnya ketika pemerintahan Indonesia jatuh ditangan Jepang seketika itu juga maka surat kabar maupun majalah yang sempat terbit pada masa pemerinthan Hindia Belanda resmi dibubarkan. Hingga pada akhirnya majalah maupun surat kabar secara resmi dikuasai oleh Jepang, dimana mereka menjadikan tiap ibukota propinsinya sebagai kantor berita. Dan tidak jauh dari masa pemerintahan Belanda, Jepnag juga menjadikan surat kabar sebagai alat pemerintahan jepang untuk mesukseskan program-program pemerintah yang pada intinya masyarakat diminta pro terhadap pemerintahan yang dijalankan Jepang. Dan untuk mengontol atau mensensor semua informasi yang akan dipublikasikan, mereka menempatkan pimpinan atau Shidoin yang tugasnya mengawasi semua pekerjaan yang berkaitan dengan dunia tulis menulis.
Begitulah Jepang melakukan tekanan dan pengawasan terhadap pers di Indonesia pada masa penjajahan jepang. Setelah jepang menyerah kepada sekutu 14 Agustus 1945 muncullah beberapa surat kabar yang diterbitkan oleh Regerings Voorlichting Diest(RVD). Hingga pada akhirnya setelah terjadi kesepakatan Roem-Royen (1949) surat kabar nasional mulai bangkit. Pelopor surat kabar setelah Revolusi adalah Berita Indonesia(BI).
Ø     Pers Indonesia menjelang Kemerdekaan.
Koran BI(berita Indonesia) yang menjadi pelopor pertamakalainya setelah revolusi menjadikan Koran tersebut sebagai surat kabar gelap/dicetak secara sembunyi-sembunyi. Dimana pendistribusiannya dari tangan ke tangan hingga akhirnya menjadi rebutan rakyat. Koran ini dicetak pertama kali sebanyak 5000 eksemplar dan selalu habis setiap kali terbit.
Ø  Pers Indonesia 1950-159
Sejak 1950 berlakulah undang-undang Repoblik Indonesia serikat (RIS). Dan beberapa bulan kemudian RIS dibubarkan dan diganti dengan UUDS (undang-undang dasar sementara). Dan pada saat itulah kebebasan Pers tercantum dalam UUDS, tepatnya pada bagian V yang mengatur hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia yang terdiri dari pasal 7 sampai pasal 34.
Dimana pada masa pemerintahan itu pemerintah masih kejam, dan banyak surat kabar yang dibredel serta banyak pula wartawan yang ditangkap. Berdasarkan undang-undang tersebut maka PERPERDA(Penguasa Perang Daerah) menetapkan keputusan bagi setiap penerbitasn surat kabar dan majalah untuk dapat mendaftarkan diri sebelum tanggal 1 oktober 1958 kepada PERPERDA(Penguasa Perang Daerah). Dan ini dilakukan untuk mendapatkan surat izin terbit(SIT). Meskipun demikian tidak selamanya surat izin lansung diterbitkan, hal ini terbukti ketika harian Nindonesia Raya(HI) begitu mengajukan SIT kepada PERPERDA(Penguasa Perang Daerah) tidak langsung diberikan SIT. Dengan tidak diterbitkannya SIT, maka surat kabar tersebut tidak bisa terbit lagi.
Tanggal 1 Oktober 1958 merupakan awal matinya kebebasan Pers di Indonesia. Dimana penguasa pada saat itu telah menjadikan Pers sebagai alat penguasa untuk memerdekakan tindakan-tindakan penguasa. Dan pada tahun inilah sejarah hitam Pers Indonesia, dimana pada saat itu telah tercatat kurang lebih 42 peristiwa yang dialami Pers Indonesia, sebagain besar mereka mengalami pembredelan, penahanan, dan penganiayaan wartawan.
Dalam sejarah kebebasan Pers di Inodonesia 1950-1959 yang lazimnya diartikan sebagai kebebasan Demokrasi Liberal yang digunakan sebbebas-bebasnya oleh Pers. Liberal pada saat itu diartikan sebagai kebebasan politik(saling mencaci, memfitnah lawan politik) serta sensai dan pornografi. Apalagi setelah munculnya Party Bound Press(pers dibawah kendali partai politik), seperti Abadi(Masyumi), Duta Masyarakat (NU), suluh Indonesia (PNI), harian Rakyat (PKI). Begitulah sejarah singkatpers mulai zaman klasik hingga modern, tepatnya ketika pers tersebut masuk ke Indonesia yang mengalami pasang surut[7](kh).

  1. SISTEM PERS Di INDONESIA
Pers dan Negra bagaikan 2 sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dimana keduanya tak dapat dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Pers baik yang berupa pemberitaan di media cetak(koran,majalah) maupun di media teknologi( radio, televisi) mempunyai porsi kegunaan masing masing. Di masa sekarang, pers menjadi media pengawas pemerintahan yang mampu menjembatani antara pemerintah dan rakyatnya dalam menciptakan suatu keadaan yang kondusif[8].
Pers sebagai media yang mempunyai pengaruh besar dalam berbagai bidang kehidupan. Pers merupakan medium pemberitaan paling penting yang memberikan informasi mengenai suatu kejadian yang terjadi di berbagai belahan dunia baik yang berbau politik, ekonomi dan sosial budaya. Era keterbukaan sekarang ini, membuat pers bebas untuk menyampaikan segala hal yang terjadi tanpa takut dengan adanya pembredelan dari pihak manapun termasuk pemerintah yang dapat menghambat penyampaian informasi kepada masyarakat karena hal itu merupakan hak asasi suatu warga negara untuk mendapatkan segala bentuk informasi
Pers sebagai media pemberitaan mengalami lika liku perjalanan yang panjang seperti yang telah penulis kemukakan dalam pembahasan Sejarah Pers sampai masuknya di Indonesia. “Pers selalu mengambil bentuk, warna dan sruktur social dan politik dimana ia beroperasi”[9].
Salah satu alasan kenapa kita perlu mempelajari berbagai macam sistem pers adalah untuk mengetahui sekaligus melakukan perbandingan antar-sistem pers. Di samping itu, agar kita menjadi lebih tahu di mana posisi sistem pers Indonesia. Adapun 4 sistem Pers yang berlaku didunia saat ini antara lain adalah[10]


a.    Teori Otoriter (Authoritarian Theory).
Teori atau sistem pers otoriter dikenal sebagai sistem pers paling tua, lahir  abad 15-16 pada masa pemerintahan absolut[11]. Pada saat itu, pemerintah menguasai sekaligus mengawasi media. Berbagai kejadian yang akan diberitakan dan dikontrol pemerintah karena kekuasaan penguasa sangat mutlak. Negara (dengan raja sebagai kekuatan) adalah pusat segala kegiatan. Karena itu, individu tidaklah penting, yang lebih penting adalah negara sebagai tujuan individu. Mussolini (Italia) dan Adolf Hitler (Jerman) adalah dua penguasa yang mewarisi sistem pers otoriter.
Dalam sistem yang otoriter maka media harus mendukung kebijakan pemerintah yang berkuasa. Di bawah kebijakannya ini negara secara aktif berpartisipasi dalam proses komunikasi dan menggunakan media massa sebagai alat penting untuk mencapai tujuannya.
b.    Teori Liberal (Libertarian Theory).
Sistem pers liberal (libertarian) berkembang  abad 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di Barat yang disebut aufklarung (pencerahan), dan mencapai puncaknya pada abad 19.
Esensi dasar sistem ini memandang manusia mempunyai hak asasi dan meyakini bahwa manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya  secara baik jika diberikan kebebasan. Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan akal dan bisa mengatur sekelilingnya  untuk tujuan yang mulia. Dan yang perlu ditegaskan bahwasannya system ini tidak hanya menjadi alat pemeintah untukk menyukseskan dan mendukung program-programnya, meliankan sebagai upaya pencarian us kebenaran. Dan untuk mewujudkan kebenaran maka setiap gagasan memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar akan tetap dipercaya sedangkan yang salah akan lenyap dengan sendirinya. Dan dari teori inilah, maka berkembannya tuntutan bahwa Pers harus mengasi pemerintah. .
Media massa dalam konsep liberal berfungsi sebagai penyampai informasi dan hiburan kepada masyarakat. Pers mendukung perkembangan ilmu dan ekonomi, yaitu fungsi pemasaran dari barang-barang atau produk yang diiklankan.
Pers sebagai lembaga politik (pengawas) yang bertugas menjaga agar pemerintah tidak melampaui batas wewenangnya. Dalam sistem ini, media dikuasai swasta dan tidak menerima bantuan pemerintah. Alasannya, dengan menerima bantuan, pemerintah akan menguasai kegiatan perusahaan pers seperti halnya dengan konsep otoriter.          
Menurut anggapan konsep liberal, lebih sedikit keterlibatan pemerintah dalam kegiatan komunikasi pers adalah lebih baik. Meski demikian, negara-negara yang menganut konsep liberal masih dapat mengawasi pers melalui sistem pos yang mendistribusikan media massa. Ada juga negara yang membatasi penggunaan telepon dan telegram. Sistem lain adalah pengawasan melalui bsistem impor-ekspor bagi media massa yang menggunakannya, terutama yang masih menggunakan pajak.
Di samping sistem di atas, masih ada cara lain yang dapat dilakukan negara untuk membatasi kebebasan pers, yaitu melalui sistem peradilan. Di Amerika Serikat, kedudukan badan-badan peradilan di atas segalanya. Mereka tidak dapat mengadili pers, dan dapat menentukan sejauhmana batas pemerintah dalam menerapkan kekuasaannya.
c.     Teori Komunis(Communist Theory)
Sistem pers komunis (sering disebut  sistem pers “totaliter Soviet/Soviet Totalitarian” atau “pers Komunis Soviet/Soviet Communist”) berkembang karena munculnya negara Uni Soviet yang berpaham komunias pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1917 M. 
Sistem ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh dialektika Hegel.
Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari negara. Pers menjadi alat atau organ partai yang berkuasa (Partai Komunis Uni Soviet). Dengan demikian, segala sesuatu ditentukan  oleh negara (partai). Kritik diizinkan sejauh tidak bertentangan  dengan ideologi partai. Media massa melakukan yang terbaik untuk partai yang ditentukan oleh pemimpin partai.
Menurut sistem ini, pers harus melayani kepentingan kelas dominan dalam masyarakat, yakni proletar. Pers harus menjadi collective propagandist, collective agitator, collective organizer. Adapun kaum proletar diwakili oleh partai komunis. Fungsi pers adalah indoktrinasi massa, pendidikan atau bimbingan massa yang dilancarkan partai.
Tanggung jawab utama untuk mengawasi pers Soviet ada di tangan partai, tidak pada pemerintah. Partai melaksanakan pengawasannya dengan tiga cara. Pertama, Departemen Propaganda dan Agitasi menempatkan redaksinya ke berbagai tingkatan disertai penetapan tugasnya. Pemilihan redaksi didasarkan atas pertimbangan bahwa secara politis mereka dapat dipercaya. Biasanya diambil orang dari partai karena mereka lebih dipercaya kemampuan politiknya, di samping pengetahuannya tentang Marxisme. Jadi, bukan atas dasar profesional. Kedua, Partai mengeluarkan sejumlah besar arahan yang menentukan bahan penyajian untuk pers melalui Departemen Propaganda dan Agitasi. Isinya sebagian besar merupakan bahan “siaran pers”, surat-surat dari pimpinan partai, pemerintahan, pidato pejabat, dan dokumen resmi partai dan pemerintah. Ketiga, partai berwenang mengkritik dan menilai pers dengan tanggung jawab yang sangat serius. Ada sebuah komite pada tiap-tiap tingkatan partai yang berwenang  menilai dan mengkritik pers sesuai tingkatannya.
Perbandingan dengan Teori Pers Otoriter
Meskipun konsep pers komunis lahir dari pemikiran teori otoriter yang lahir sebagai teori tertua, dalam perkembangannya antara kedua teori tersebut memiliki perrbedaan sebagai berikut:
Ø Dalam teori otoriter pers adalah alat penguasa, sedang dalam teori komunis media adalah bagian dari partai yang berkuasa dan merupakan milik negara.
Ø Pers otoriter melaksanakan kepercayaan yang diberikan penguasa dengan memperoleh imbalan baik berupa fasilitas maupun keuntungan.  Pers komunis motif tersebut ditiadakan, imbalannya adalah bentuk akibat pada pikiran publik seperti sifat ortodoksnya dan keahliannya dalam mempropagandakan tujuan partai.
Ø Pers otoriter tidak diizinkan mengkritik kelemahan penguasa atau berfungsi negatif, pers komunis berfungsi positif dalam arti bebas mengundang kritik dari penguasa dalam batas meningkatkan program dan dan efisiensi kerja sebagai alat partai.
Ø Tugas pers otoriter adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan pemerintahan yang berkuasa, teori pers komunis justru menggulingkan kapitalisme dan borjuis untuk mencapai tujuan masyarakat tanpa kelas.
Ø Pers otoriter bertugas mempertahankan kelas feodal, pers komunis sebaliknya. Pers komunis berusaha membangun konsep kesejahteraan dengan masyarakat tanpa kelas.
Ø Pers otoriter sedikit terintegrasi dalam kegiatan dengan pemerintah, pers komunis secara menyeluruh terintegrasi.
d.    Teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility Theory).
Sistem pers tanggung jawab sosial (social responsibility) muncul awal abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat.
Dasar pemikirannya adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan. Sistem ini muncul di Amerika Serikat ketika kebebasan yang telah dinikmati oleh pers Amerika  selama dua abad lebih dinilai harus diadakan pembatasan atas dasar moral dan etika.
Sistem ini juga lebih menekankan pada kepentingan umum dibanding dengan kepentiangan pribadi.
Sebagai konsekuensi dari tanggung jawab sosial ini, pada tahun 1923 masyarakat penerbit surat kabar di Amerika merumuskan kode etik jurnalistik. Kode etik ini mengimbau agar surat kabar bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat, ketulusan, kejujuran, tidak memihak, bermain seimbang, sopan, dan menghormati kehidupan pribadi atau perseorangan. Kode etik ini pada akhirnya mengilhami lahirnya kode etik industri film pada tahun 1930, Kode etik radio pada tahun 1937, dan kode etik televisi pada tahun 1952.
                     Kebebasan Menurut Liberal dan Tanggung Jawab Sosial
Libertarian lahir dengan kebebasan yang negatif yang membiarkan setiap orang bebas berusaha mencapai tujuannya sendiri. Sebaliknya, teori tanggung jawab sosial melihat kebebasan negatif murni seperti diatas tidak tepat dan tidak efektif. Kebebasan yang tepat adalah kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab etik/moral (tanggung jawab sosial).

  1.  PENUTUP
Ø  Kesimpulan
Dari informasi di atas dapat dimengerti bahwa pers Indonesia pada saat ini pasti bukan pers otoriter ataupun pers komunis. Pers Indonesia pada saat ini lebih mengarah ke pers tanggung jawab sosial(Social Responsibility Theory), yang menjaga sikap dan nama baik dengan kebenaran dan objektivitas dalam artikel. Namun, ada pula beberapa aspek pers liberal yang masih terasa dalam pers Indonesia pada saat ini. Opini seperti KPT reaksionis dan terbawa emosi, bukan logika.
Dalam opini-opini ada kebiasaan menyampaikan gagasan tanpa memeriksanya memeriksanya dengan ahli dalam bidang itu; dalam kasus KPT, ahli hukum.Oleh karena itu, pers Indonesia moderne tidak dapat disebut seratus persen pers tanggung jawab sosial. Namun, bisa dikatakan bahwa pers Indonesia pada saatini bersifat tanggung jawab sosial dalam artikel tetapi liberal dalam opini. Agar bisa lebih dipercaya rakyat sebaiknya pers Indonesia ingat padakedudukannya sebagai pelapor peristiwa penting yang berguna untuk rakyat. Apabila ada sesuatu yang sangat memarahkan, sebaiknya opini tentang itu mengkritik dengan bukti tambahan dari ahli atau kutipan dari buku.
Ø  Kritik Dan saran
Berakhirnya kesimpulan di atas, maka berakhirlah pembahasan kami, kritik dan saran yang menbangun sangat kami harapkan, guna meningkatka kualitas dan kuantitas mmakalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat baik bagi penulis maupun pembaca pada umumnya.

  1. DAFTAR PUSTAKA
http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/03/09/sistem-pers-indonesia-445268.html
Kusumaningrat, Hikmah dkk, Jurnalistik:Teori dan Praktik, Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2005
Nuruddin, Jurnalisme Masa Kini,  Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009
Mondry, Pemahaman Teori dan Praktek Jurnalistik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008



[1] Nuruddin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009),  h.  25.
[2] Mondry, Pemahaman Teori dan Praktek Jurnalistik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h. 17
[3] Ibid, h. 17
[4] Nuruddin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009),  h.  25.

[5] Nuruddin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009),  h. 27.
[6] Nuruddin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009),  Bab 2 Sejarah Persr di Indonesia. h. 32.
[7] Nuruddin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009),  Bab 2 Sejarah Persr di Indonesia. h. 45-46.
[8] http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/03/09/sistem-pers-indonesia-445268.html
             [9] Kusumaningrat, Hikmah dkk, Jurnalistik:Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2005), h. 19.
[10] http://www.scribd.com/doc/24746954/Sistem-Pers-Indonesia dan Kusumaningrat, Hikmah dkk, Jurnalistik: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2005), h.  19-24
[11] Ibit. H. 19-24