A.
Pengertian
Korupsi.
Korupsi adalah bentuk
penyelewengan uang Negara(instansi, pemerintah, oraganisasi dll), baik untuk
kepentingan pribadi maupun kelompok, dan orang yang melakukan korupsi dinamakan
koruptor[1].
B.
Istilah Lain Korupsi
Dalam perspektif Islam, kata korupsi mungkin
masih jarang kita temui, baik dalam perspektif Hadits maupun al Qur’an. Namun
seiring dengan berkembangnya waktu, istilah korupsi
tersebut
sering kita temukan pada arti yang mengarah pada level
kata korupsi. diantara istilah tersebut antara lain adalah;
- Ghulul, kata Ghulûl adalah isim
masdar dari kata ghalla, yaghullu, ghallan, wa ghullan, wa ghulûlan (Ibnu
Manzur, Lisânul ‘Arab) yang secara leksikal dimaknai akhadza
al-syai’a fi khufyatin wa dassahu fi matâ’thî (mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam
hartanya)[2]
Nabi sendiri menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi
bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw bersabda,
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ
عَلَى عَمَل ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطاً فَمَا فَوْقَهُ ، كَانَ غُلُولاً يَأتِي به
يَومَ القِيَامَة
“Barangsiapa
di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia
menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulûl (harta korupsi) yang akan dia
bawa pada hari kiamat”[3].
- Hadiah/Gratifikasi, kata hadiah berasal dari bahasa Arab, hadiyyah, yang berarti hadiah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hadiah adalah pemberian
(kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan), ganjaran (karena memenangkan
suatu perlombaan), tanda kenang-kenangan[4].
Hadiah dapat juga disebut hibah.
Pada
dasarnya hadiah merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan Nabi sendiri menganjurkan untuk saling memberi hadiah. Suatu pemberian
dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt untuk memperkuat tali silaturahmi
atau menjalin ukhuwah Islamiah. Dalam hal
ini Nabi Saw bersabda, “Saling memberi
hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta” (HR. Imam Malik)
Namun apabila dalam pemberian hadiah tersebut terdapat unsure kepentingan
tertentu, maka hadiah yang seperti itu tidak diperbolehkan. Hadiah seperti ini disebut juga
dengan gratifikasi, yaitu uang hadiah
kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan[5].
Rasulullah Saw melarang jenis hadiah (gratifikasi)
semacam ini, beliau bersabda, “Hadiah bagi para pekerja
adalah ghulul (korupsi).” (HR.
Ahmad)
- Risywah, kata Risywah berasal dari kata rasya, yarsyu, rasywan wa rasywah
wa risywah wa rusywah yang berarti memberi suap atau sogok kepadanya[6].
Adapun orang yang menyuap disebut al-rusyi yaitu orang
yang memberikan sesuatu kepada seseorang yang bisa membantunya atas dasar
kebatilan. Sedangkan orang yang mengambil
atau menerima pemberian itu disebut al-murtasyi. Sementara orang yang
menjadi perantara antara pemberi dan penerimanya dengan menambahi di suatu sisi
dan mengurangi di sisi lain disebut al-ra’isy.
Umar bin Khaththab mendefinisikan bahwa risywah adalah sesuatu yang
diberikan/disampaikan oleh seseorang kepada orang yang mempunyai kekuasaan
(jabatan, wewenang) agar ia memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan
haknya). Risywah (suap) merupakan perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan
Ijma’ Ulama. Larangan tersebut berlaku bagi yang memberi, menerima dan yang
menjadi penghubung diantara keduanya.
- Suht, Suht secara bahasa berasal dari kata kerja sahata
yashatu suhtan wa suhutan yang berarti memperoleh harta haram. Ibnu Manzur
menjelaskan arti suht, yaitu semua yang haram. Suht juga
diartikan sesuatu yang terlarang, yang tidak halal dilakukan karena akan
merusak atau menghilangkan keberkahan. Bukhari mengutip pendapat Ibnu Sirin
bahwa suht adalah sinonim dari kata risywah (suap
menyuap) dalam perkara hukum atau kebijakan. Malik juga meriwayatkan bahwa
orang-orang Yahudi di Khaibar pernah akan menyuap Abdullah bin Rawahah r.a
dengan sejumlah perhiasan agar memberikan keringanan atau keuntungan tertentu
bagi mereka, tetapi Ibnu Rawahah berkata, “Apa pun yang kamu sodorkan dari suap, maka
hal itu adalah suht (yang
haram) dan kami tidak akan memakannya”.
- Khâna, Khâna
berarti ghadara (berkhianat, tidak jujur), naqadha, khâlafa
(melanggar dan merusak). Ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab,
berpendapat bahwa khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu
amanah yang dipercayakan kepadanya. Khianat yang semakna dengan pengertian
korupsi, yaitu pengkhianatan terhadap amanah dan
sumpah jabatan. Rasulullah Saw menggambarkan orang yang berbai’at tidak
berdasarkan pada kebenaran dan ketakwaan, beliau bersabda, “Ada tiga kelompok manusia yang Allah Swt tidak mau berbicara kepada mereka di Hari Kiamat dan tidak mau
menyucikan (dosa atau kesalahan) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu
pertama, orang yang memiliki kelebihan air di perjalanan tetapi ia
menghalangi Ibnu Sabil (para pejalan, musafir) untuk mendapatkannya. Kedua, orang yang
memberikat bai’at kepada seorang pemimpin hanya karena kepentingan duniawi.
Jika ia diberi sesuai keinginannya, ia akan memenuhi bai’at itu dan jika tidak
diberikan, ia tidak memenuhi bai’atnya. Dan ketiga, orang yang menjual
dagangan kepada seseorang di sore hari sesudah Asar, lalu ia bersumpah kepada Allah
bahwa barang tersebut telah ia berikan (tawaran) dengan harga sekian dan sekian
(untuk mengecoh pembeli) lalu ia membenarkannya, kemudian si pembeli jadi
membelinya, padahal si penjual tidak memberikan (tawaran) dengan harga sekian
atau sekian.” (HR. Bukhari)
- Sariqah, Sariqah berasal
dari kata saraqa yasriqu sarqan wa sariqah yang secara leksikal bermakna
akhadza mâ lighairi khufyatan, yang berarti mencuri, merampok, menjiplak, melakukan plagiat dll. Dalam Islam sendiri
berkeyakinan bahwa orang yang melakukan pencurian bukalah orang yang beriman,
karena seorang yang beriman, ia tidak mungkin akan melakukan korupsi atau
pencurian sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Pencuri
tidak akan mencuri ketika ia dalam keadaan beriman”. (HR. Bukhari)
C. Larangan Korupsi.
Larangan korupsi sebgaimana telah banyak
disebutkan baik didalam al Qur’an maupun Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain:
Di dalam
Al-Qur’an, Allah Swt berfirman, “Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan
yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 188).
Dan dalam Hadits Nabi
juga telah disebutkan bahwasannya[7] “para pemberi dan penerima suap/riswah
dikutuk oleh Allah”(HR: Ahmad, Abu Daud, dan at Tirmizi). Dalam Haditsnya
yang lain nabi juga berpesan bahwasannya “Rasul
mengutuk penyuap, yang disuap dan perantara diantara keduanya”(HR. Ahmad
melalui Tsaubah).
Dari beberapa istilah diatas, semakin nyata
bahwa perbuatan korupsi tidak dibenarkan, bahkan di benci agama. Baik dilihat
dari sisi hadis Nabi maupun al Qur’an perbuatan korupsi tidak dibenarkan dalam
Islam. Dan Ulama telah bersepakat bahwasannya suap menyuap adalah Haram
hukumnya. Hal ini berdasarkan Qs: al Baqarah:188 seperti yang penulis kemukakan
diatas[8].
D. Hukuman bagi Koruptor
Islam selain sebagai agama yang
mengatur antara makhluk dengan penciptanya dalam tataran ibadah baik sosial
maupun individual. Dalam bentuk lain, islam juga sebagai control yang mengembangkan
system menejerial yang tegas dan ketat. Maka dalam menyikapi sangsi bagi para
koruptor islam tidak pandang buluh, apakah dia pejabat ataukah lainnya.
Seketika terdakwa sebagai koruptor maka dia harus diadili. Adapun tujuan dari pemberian hukuman tersebut
adalah memberikan rasa jera supaya tidak mengulanginya lagi, dan menciptakan
rasa aman, damai dan rukun dalam masyarakat maupun Negara.
Meskipun nas tidak menyebutkan secala implisit
hakikat hukuman bagi para pelaku koruptor, namun perbuatan tersebut dinilai
telah melanggar norma yang merugikan banyak orang seperti yang telah dijelaskan
pada pembahasan seputar istilah-istilah korupsi diatas. Maka islam memiliki
sangki tegas atas tindakan koruptor tersebut. Dan hukumman bagi koruptor
sendiri tidak sama halnya dengan seorang pencuri yang musti dipotong tangannya
dalam batas-batas tertentu, karena mencuri berbeda dengan korupsi. Korupsi
adalah menyalahgunakan wewenang/amanah untuk kepentingan bersama maupun pribadi,
maka dalam memutuskan hukuman bagi seorang koruptor hendaklah setara dengan hukuman
bagi seorang penghianat.
Hal tersebut sebagaimana telah diungkapkan dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Tirmizi, yang artinya : “Orang
yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya“. (HR.
Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani)[9].
Meskipun hukuman bagi koruptor tidak sama halnya dengan hukuman seorang
prncuri, namun hal tersebut bukan berarti seorang koruptor tidak terbebas dari
hukuman. Seorang koruptor tetap mendapatkan hukuman sesuai dengan apa yang
telah diperbuatnya, antara lain[10]:
Pertama,
koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah
habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa
yang belum dibayar akan menjadi hutang selamanya.
Ketentuan
ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap
tangan yang mengambil
barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya hingga ia menyerahkan
barang yang diambilnya“. (HR. Tirmidzi. Zaila’i berkata, “Sanad hadis ini
hasan”).
Kedua,
hukuman ta’zir.
Hukuman
ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan
yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah
satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud yaitu
hukuman bagi pencuri, maka hukumnya berubah menjadi ta’zir.
(Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, jilid XII, hal 276.). Dikatakan demikian karena mencuri adalah mengambil
milik orang lain dalam batas penjagaan yang tidak masuk dalam kekuasaanya,
sedangkan korupsi adalah mengambil uang dalam wilayah kekuasaanya.
Syariat islam sendiri tidak menentukan macam-macam
hukuman untuk ta’zir, akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai
dari hukuman yang seringan-ringannya, seperti nasehat, ancaman, sampai hukuman
yang seberat-beratnya. Penerapan
sepenuhnya diserahkan terhadap hakim (penguasa), dengan kewenagan yang
dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan dan
keadaan pelakunya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum islam dalam
menjatuhkan hukuman yaitu:
1 Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu
menjaga dan memelihara kepentingan umum.
2. Efektifita hukuman dalam menghadapi
korupsi tanpa harus merendahkan martabat pelakunya.
3. Sepadan dengan kejahatannya sehingga
terasa adil.
4. Tanpa ada pilih kasih, yaitu semua
sama kedudukannya didepan hokum.
Hukuman ta’zir dapat diterapkan kepada pelaku korupsi.
Dapat diketahui bahwa korupsi termasuk dalam salah satu jarimah yang tidak disebutkan oleh nash secara tegas, oleh sebab
itu ia tidak termasuk dalam jenis jarimah
yang hukumannya adalah had dan qishash. Korupsi sama halnya seperti hukum Ghasab, meskipun harta yang
dihabiskan sipelaku korupsi melebihi dari nashab harta curian
yang hukumannya potong tangan. Tidak bisa disamakan dengan hukuman terhadap
pecuri yaitu potong tangan, hal ini disebabkan oleh masuknya syubhat. Akan
tetapi disamakan atau diqiyaskan pada hukuman pencurian yang berupa pencurian
pengambilan uang hasil curian.
Dalam jarimah sendiri korupsi ada
tiga unsure yang dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam menentukan besar
hukuman, yaitu:
1) Perampasan harta orang lain
2) Penghianatan atau penyalahgunaan wewenang
3) Kerjasama atau kongkalikong dalam kejahatan.
Ketiga unsur tersebut telah jelas
dilarang dalam syari’at islam. Selanjutnya tergantung kepada kebijaksanaan akal
sehat keyakinan dan rasa keadilan hakim yang didasarkan pada rasa keadilan
masyarakat untuk menentukan hukuman bagi pelaku korupsi.
[2] (M. Rawwas, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ) dan khâna
(khianat atau curang). Dalam http://hukum.kompasiana.com/2011/04/15/istilah-korupsi-dalam-islam-355776.html
[6] http://hukum.kompasiana.com/2011/04/15/istilah-korupsi-dalam-islam-355776.html
[7] Shihab, M. Quraish M. QURAIS
SHIHAB MENJAWAB: 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui, Jakarta:
Lentera hati, 2008 hal. 658
[8] Shihab, M. Quraish M. QURAIS
SHIHAB MENJAWAB: 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui, Jakarta:
Lentera hati, 2008 hal. 661.