Senin, 01 April 2013

MENGUAK ESENSI KORUPSI



                                                                                      
A.       Pengertian Korupsi.
Korupsi adalah bentuk penyelewengan uang Negara(instansi, pemerintah, oraganisasi dll), baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, dan orang yang melakukan korupsi dinamakan koruptor[1].
B.        Istilah Lain Korupsi
Dalam perspektif Islam, kata korupsi mungkin masih jarang kita temui, baik dalam perspektif Hadits maupun al Qur’an. Namun seiring dengan berkembangnya waktu, istilah korupsi tersebut sering kita temukan pada arti yang mengarah pada level kata korupsi. diantara istilah tersebut antara lain adalah;
-      Ghulul, kata Ghulûl adalah isim masdar dari kata ghalla, yaghullu, ghallan, wa ghullan, wa ghulûlan (Ibnu Manzur, Lisânul ‘Arab) yang secara leksikal dimaknai akhadza al-syai’a fi khufyatin wa dassahu fi matâ’thî (mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam hartanya)[2]
Nabi sendiri menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw bersabda,
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَل ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطاً فَمَا فَوْقَهُ ، كَانَ غُلُولاً يَأتِي به يَومَ القِيَامَة       
 “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulûl (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”[3].
-    Hadiah/Gratifikasi, kata hadiah berasal dari bahasa Arab, hadiyyah, yang berarti hadiah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hadiah adalah pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan), ganjaran (karena memenangkan suatu perlombaan), tanda kenang-kenangan[4]. Hadiah dapat juga disebut hibah.
Pada dasarnya hadiah merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan Nabi sendiri menganjurkan untuk saling memberi hadiah. Suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt untuk memperkuat tali silaturahmi atau menjalin ukhuwah Islamiah. Dalam hal ini Nabi Saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta” (HR. Imam Malik)
Namun apabila dalam pemberian hadiah tersebut terdapat unsure kepentingan tertentu, maka hadiah yang seperti itu tidak diperbolehkan.  Hadiah seperti ini disebut juga dengan gratifikasi, yaitu uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan[5]. Rasulullah Saw melarang jenis hadiah (gratifikasi) semacam ini, beliau bersabda, “Hadiah bagi para pekerja adalah ghulul (korupsi).” (HR. Ahmad)
-        Risywah, kata Risywah berasal dari kata rasya, yarsyu, rasywan wa rasywah wa risywah wa rusywah yang berarti memberi suap atau sogok kepadanya[6]. Adapun orang yang menyuap disebut al-rusyi yaitu orang yang memberikan sesuatu kepada seseorang yang bisa membantunya atas dasar kebatilan. Sedangkan orang yang mengambil atau menerima pemberian itu disebut al-murtasyi. Sementara orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerimanya dengan menambahi di suatu sisi dan mengurangi di sisi lain disebut al-ra’isy.
Umar bin Khaththab mendefinisikan bahwa risywah adalah sesuatu yang diberikan/disampaikan oleh seseorang kepada orang yang mempunyai kekuasaan (jabatan, wewenang) agar ia memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan haknya). Risywah (suap) merupakan perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama. Larangan tersebut berlaku bagi yang memberi, menerima dan yang menjadi penghubung diantara keduanya.
-    Suht, Suht secara bahasa berasal dari kata kerja sahata yashatu suhtan wa suhutan yang berarti memperoleh harta haram. Ibnu Manzur menjelaskan arti suht, yaitu semua yang haram. Suht juga diartikan sesuatu yang terlarang, yang tidak halal dilakukan karena akan merusak atau menghilangkan keberkahan. Bukhari mengutip pendapat Ibnu Sirin bahwa suht adalah sinonim dari kata risywah (suap menyuap) dalam perkara hukum atau kebijakan. Malik juga meriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi di Khaibar pernah akan menyuap Abdullah bin Rawahah r.a dengan sejumlah perhiasan agar memberikan keringanan atau keuntungan tertentu bagi mereka, tetapi Ibnu Rawahah berkata, “Apa pun yang kamu sodorkan dari suap, maka hal itu adalah suht (yang haram) dan kami tidak akan memakannya”.
-    Khâna, Khâna berarti ghadara (berkhianat, tidak jujur), naqadha, khâlafa (melanggar dan merusak). Ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, berpendapat bahwa khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Khianat yang semakna dengan pengertian korupsi, yaitu pengkhianatan terhadap amanah dan sumpah jabatan. Rasulullah Saw menggambarkan orang yang berbai’at tidak berdasarkan pada kebenaran dan ketakwaan, beliau bersabda, “Ada tiga kelompok manusia yang Allah Swt tidak mau berbicara kepada mereka di Hari Kiamat dan tidak mau menyucikan (dosa atau kesalahan) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu pertama, orang yang memiliki kelebihan air di perjalanan tetapi ia menghalangi Ibnu Sabil (para pejalan, musafir) untuk mendapatkannya. Kedua, orang yang memberikat bai’at kepada seorang pemimpin hanya karena kepentingan duniawi. Jika ia diberi sesuai keinginannya, ia akan memenuhi bai’at itu dan jika tidak diberikan, ia tidak memenuhi bai’atnya. Dan ketiga, orang yang menjual dagangan kepada seseorang di sore hari sesudah Asar, lalu ia bersumpah kepada Allah bahwa barang tersebut telah ia berikan (tawaran) dengan harga sekian dan sekian (untuk mengecoh pembeli) lalu ia membenarkannya, kemudian si pembeli jadi membelinya, padahal si penjual tidak memberikan (tawaran) dengan harga sekian atau sekian.” (HR. Bukhari)
-     Sariqah, Sariqah berasal dari kata saraqa yasriqu sarqan wa sariqah yang secara leksikal bermakna akhadza mâ lighairi khufyatan, yang berarti mencuri, merampok, menjiplak, melakukan plagiat dll. Dalam Islam sendiri berkeyakinan bahwa orang yang melakukan pencurian bukalah orang yang beriman, karena seorang yang beriman, ia tidak mungkin akan melakukan korupsi atau pencurian sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Pencuri tidak akan mencuri ketika ia dalam keadaan beriman”. (HR. Bukhari)
C. Larangan Korupsi.
Larangan korupsi sebgaimana telah banyak disebutkan baik didalam al Qur’an maupun Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain:
Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman, Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 188).
Dan dalam Hadits Nabi juga telah disebutkan bahwasannya[7] “para pemberi dan penerima suap/riswah dikutuk oleh Allah”(HR: Ahmad, Abu Daud, dan at Tirmizi). Dalam Haditsnya yang lain nabi juga berpesan bahwasannya “Rasul mengutuk penyuap, yang disuap dan perantara diantara keduanya”(HR. Ahmad melalui Tsaubah).
Dari beberapa istilah diatas, semakin nyata bahwa perbuatan korupsi tidak dibenarkan, bahkan di benci agama. Baik dilihat dari sisi hadis Nabi maupun al Qur’an perbuatan korupsi tidak dibenarkan dalam Islam. Dan Ulama telah bersepakat bahwasannya suap menyuap adalah Haram hukumnya. Hal ini berdasarkan Qs: al Baqarah:188 seperti yang penulis kemukakan diatas[8].
D. Hukuman bagi Koruptor
Islam selain sebagai agama yang mengatur antara makhluk dengan penciptanya dalam tataran ibadah baik sosial maupun individual. Dalam bentuk lain, islam juga sebagai control yang mengembangkan system menejerial yang tegas dan ketat. Maka dalam menyikapi sangsi bagi para koruptor islam tidak pandang buluh, apakah dia pejabat ataukah lainnya. Seketika terdakwa sebagai koruptor maka dia harus diadili.  Adapun tujuan dari pemberian hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera supaya tidak mengulanginya lagi, dan menciptakan rasa aman, damai dan rukun dalam masyarakat maupun Negara.
Meskipun nas tidak menyebutkan secala implisit hakikat hukuman bagi para pelaku koruptor, namun perbuatan tersebut dinilai telah melanggar norma yang merugikan banyak orang seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan seputar istilah-istilah korupsi diatas. Maka islam memiliki sangki tegas atas tindakan koruptor tersebut. Dan hukumman bagi koruptor sendiri tidak sama halnya dengan seorang pencuri yang musti dipotong tangannya dalam batas-batas tertentu, karena mencuri berbeda dengan korupsi. Korupsi adalah menyalahgunakan wewenang/amanah untuk kepentingan bersama maupun pribadi, maka dalam memutuskan hukuman bagi seorang koruptor hendaklah setara dengan hukuman bagi seorang penghianat.  
Hal tersebut sebagaimana telah diungkapkan dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmizi, yang artinya : Orang yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya“. (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani)[9].
Meskipun hukuman bagi koruptor tidak sama halnya dengan hukuman seorang prncuri, namun hal tersebut bukan berarti seorang koruptor tidak terbebas dari hukuman. Seorang koruptor tetap mendapatkan hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya, antara lain[10]:
Pertama, koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa yang belum dibayar akan menjadi hutang selamanya.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya“. (HR. Tirmidzi. Zaila’i berkata, “Sanad hadis ini hasan”).
Kedua, hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud yaitu hukuman bagi pencuri, maka hukumnya berubah menjadi ta’zir. (Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,  jilid XII, hal 276.). Dikatakan demikian karena mencuri adalah mengambil milik orang lain dalam batas penjagaan yang tidak masuk dalam kekuasaanya, sedangkan korupsi adalah mengambil uang dalam wilayah kekuasaanya.
Syariat islam sendiri tidak menentukan macam-macam hukuman untuk ta’zir, akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-ringannya, seperti nasehat, ancaman, sampai hukuman yang seberat-beratnya. Penerapan sepenuhnya diserahkan terhadap hakim (penguasa), dengan kewenagan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum islam dalam menjatuhkan hukuman yaitu:
1 Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan umum.
2.  Efektifita hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan martabat pelakunya.
3. Sepadan dengan kejahatannya sehingga terasa adil.
4.  Tanpa ada pilih kasih, yaitu semua sama kedudukannya didepan hokum.
Hukuman ta’zir dapat diterapkan kepada pelaku korupsi. Dapat diketahui bahwa korupsi termasuk dalam salah satu jarimah yang tidak disebutkan oleh nash secara tegas, oleh sebab itu ia tidak termasuk dalam jenis jarimah yang hukumannya adalah had dan qishash. Korupsi sama halnya seperti hukum Ghasab, meskipun harta yang dihabiskan sipelaku korupsi melebihi dari nashab harta curian yang hukumannya potong tangan. Tidak bisa disamakan dengan hukuman terhadap pecuri yaitu potong tangan, hal ini disebabkan oleh masuknya syubhat. Akan tetapi disamakan atau diqiyaskan pada hukuman pencurian yang berupa pencurian pengambilan uang hasil curian.
Dalam jarimah sendiri korupsi ada tiga unsure yang dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam menentukan besar hukuman, yaitu:
1) Perampasan harta orang lain
2) Penghianatan atau penyalahgunaan wewenang
3) Kerjasama atau kongkalikong dalam kejahatan.
Ketiga unsur tersebut telah jelas dilarang dalam syari’at islam. Selanjutnya tergantung kepada kebijaksanaan akal sehat keyakinan dan rasa keadilan hakim yang didasarkan pada rasa keadilan masyarakat untuk menentukan hukuman bagi pelaku korupsi.




[1] Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: PT gramedia, Cetakan pertama Edisi IV.
[2] (M. Rawwas, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ) dan khâna (khianat atau curang). Dalam http://hukum.kompasiana.com/2011/04/15/istilah-korupsi-dalam-islam-355776.html
[3] Dalam http://hukum.kompasiana.com/2011/04/15/istilah-korupsi-dalam-islam-355776.html
[4] Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: PT gramedia, Cetakan pertama Edisi IV. Hal 477.
[5] Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: PT gramedia, Cetakan pertama Edisi IV. Hal 462.
[6] http://hukum.kompasiana.com/2011/04/15/istilah-korupsi-dalam-islam-355776.html
[7] Shihab, M. Quraish M. QURAIS SHIHAB MENJAWAB: 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui, Jakarta: Lentera hati, 2008 hal. 658
[8] Shihab, M. Quraish M. QURAIS SHIHAB MENJAWAB: 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui, Jakarta: Lentera hati, 2008 hal. 661.
[10] Ibit.