Sabtu, 20 April 2013

Bagaimana Ulama Indonesia Melahirkan Hukum[1]?.....



Islam yang sejatinya agama samawi, Islam juga sebagai agama rahmatan lil alamin(petunjuk bagi semesta alam). Dalam konteks ke-Indonesiaan Islam dituntut untuk menjadi problem solving dalam memecahkan permasalahan yang ada di Indonesia, tentunya dalam memberikan hukum, Islam disamping menjadikan al Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW sebagai sandaran pertama dan utama, Islam juga harus melihat sisi ke-Indonesiaan dimana Hukum itu akan diterapkan, dan akhirnya dijalankan oleh masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan pengambilan Hukum, MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU yang bertindak sebagai kontrol atas berlakunya hukum di Indonesia selalu melihat sisi kemaslahatan dan kebijaksanaan dalam melahirkan hukum di Indonesia.
Keberagaan Indonesia yang tidak bisa kita alpakan ini, sejatinya merupakan kekayaan dan keberkahan yang Allah berikan kepada kita semua. Tentunya dalam melahirkan Hukum Negara, MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU dalam hal ini tidak hanya mengedepankan sisi religiusitas yang berpatokan pada al Qur'an dan Hadis Nabi. Lebih dari itu, selain menggunakan dua unsur pokok tersebut, MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU tetap mengedepankan sisi Demokratis, Dinamis dan berwawasan luas. Demokratis karena hukum yang dihasilkan selalu mengedepankan pendapat yang paling kuat, tidak heran jika dalam merumuskan hukum tidak ada perdebatan antar Ulama maupun santri, ataupun peserta yang lain. Dan dikatakan Dinamis karena persoalan/masalah(masail) yang dislesaikan selalu mengikuti perkembangan (tren) hukum yang berlaku di Masyarakat. Sedangkan dikatakan berwawasan luas karena dalam memberikan jawaban tidak ada dominasi Mazhab, karena NU terkenal dengan menggunakan mazhab yang 4(syafi'i, maliki, hambali dan hanafi). Dengan demikian maka hukum yang dihasilkannya selaras dengan perkembangan zaman, dan yang pasti tidak meninggalkan sisi religiusitasnya, karena itulah pokok utama ajaran al Qur'an(shohih likullli zaman wa al makan).
Sebagai contoh misalnya; dalam menetapkan hukum bunga bank, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan Haram, ada juga yang memperbolhkan/menghalalkan, dan ada juga yang menganggap bunga bank tersebut termasuk subhat. Permasalahan ini terus berkembang dan hingga pada akhirnya NU memutuskan masih pada tiga pendapat tersebut. Hal ini sebagai antisipasi NU untuk memberikan ruang bagi masyarakat, dan ternyata setelah diberlakukannya hukum tersebut, banyak bermunculan bank-bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara professional.
MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU berpandangan bahwasannya, "Bagaimana mungkin fiqih yang dikopntruksikan ratusan tahun yang lalu mampu menjawab semua permasalahan yang ada saat ini". Dari sinilah akhirnya NU berusaha untuk menhadirkan fiqih baru yang sesuai dengan ruang dan waktu saat ini. Dimana fiqih tersebut berusaha untuk mengakomodir semua permasalahan yang ada di masyarakat dengan memberikan jawaban yang tepat dan sesuai syariat.
 Dalam proses pengambilan Hukum(istimbath al hukum) MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU tidak langsung merujuk kepada al Qur'an dan Hadis Nabi sebagai sumber utama, melainkan memberlakukan(mentahkikan) sikap dasar bermazhab  secara dinamis sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang dicari solusinya. Dalam NU dikenal dengan istilah "bahtsul masaail" yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah(yang terjadi) melallui sumber(maraji') yaitu kitab-kitab Ulama' ahli fiqih terdahulu. Dalam hal Fiqih NU menggunakan 4 mazhab yaitu; Maliki, Syafi'i , Hambali, dan Hanafi. Sedangkan dalam hal tasawuf NU menggunakan metode al Ghazali dan Junaid al Baghdadi yang mengintehrasikan antara tasawuf dan syari'at.
Dan yang pasti pemberlakuan atas Hukum fiqih Ulama' NU telah bersepakat bahwasannya fiqih bukanlah hal yang sakral melainkan produk Ijtihadi yang suatu saat akan terus berkembang mengawal keberlangsungan hukum di Indonesia yang setiap saat, waktu, dan zamannya pasti akan terus berubah. Hal ini terbukti ketika KH Bisri Syamsuri(salah seorang kyai pendiri NU) memberlakukan dibolehkannya KB, beliau memperbolehkannya KB karena berpandangan terhadap pendapat Imam al Gzazali yang memperbolehkan KB, meskipun pada saat itu Ulama NU sangat ketat dalam hal KB. Ini membuktikan bahwasannya NU secara praktek telah memberlakukan pendapat diluar mazhab syafi'i, meskipun dalam struktur kajiannya masih banyak Ulama NU yang menggunakan kitab-kitab Mazhab Fiqih Imam Syafi'i, mulai dari yang terkecil “safinat al shalah” sampai yang paling besar seperti kitan “al Umm” karya Imam as Syafi'i.
Pandangan yang menyatakan bahwa fiqih adalah hukum sakral yang tidak dapat berubah adalah pendapat yang kurang tepat. Karena biar bagaiman persoalannya yang namanya fiqih adalah “suatu hukum yang digali, artinya lahirnya hukum fiqih adalah melalui suatu proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang hingga akhirnya dinyatakan sebagi hukum praktis, dalam istilah fiqih dikenal dengan "al ilmu bi al ahkam al sya'iyyah al amaliyah al muhtasab min adillatiha tafshiliyah". Sebagai contoh proses pencetusan hukum yang dilakukan Imam Syafi'i dalam memberikan hukum seputar  menstruasi(haid). Contoh lain bisa  kita klihat bagaimana Ulama NU dalam menentukan awal ramadhan yang menggunakan metode hisab(falaq) dan ikhtilaf al matla'. Itu semua menunjukan bahwasannya fiqih itu bukanlah hukum final yang tidak dapat berubah. Namun meskipun demikian dalam penalaran/istimbat hukum kita dituntut untuk bisa mengetahui dan memahami dengan baik dan benar akan permasalahan yang sedang digali hukumnya.
Tentunya Imam Mazhab dalam mencetuskan hukum, selain berpatokan dengan al Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Mereka juga selalu mempertimbangkan formulasi hukum yang akan dihasilkan dengan tetap melihat sisi sosial dan kultur masyarakat sekitar. Yang patut dijatikan pelajaran disini adalah,meskipun para Ulama satu dengan Ulama yang lain berbeda pendapat terkait dengan hukum yang dihasilkannya, namun mereka tidak ada yang beranggapan/mengklaim bahwa Ijtihatnya yang paling benar. Hal ini seperti yang kita saksikan dalam mazhab al arba'ah(mazhab yang empat) itu semua memperlihatkan betapa luasnya samudra ilmu islam. Dalam hal ini mereka berpandangan bahwa "Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan Ijtihad lain"(al Ijtihad la yunqadhu bi al Ijtihad). Artinya semua bentuk Ijtihad memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dengan demikian antara Ulama yang satu dengan Ulama yang lain tidak bias saling mengklaim bahwa Ijtihad-nyalah yang paling benar. Darisinilah kita bisa mengetahui bahwa fiqih bersifat fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak permanen.
Lebih jauh lagi KH. Sahal Mahfud(rais Am PBNU) mengemukakan bahwasannya muara hukum fiqih adalah terciptanya keadilan sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini beliau mengutip salah satu pepatah arab yang mengatakan "Ambillah yang jernih dan tinggalkanlah yang keruh"(khudz ma shafa wa da' ma kadara). Pendapat ini diperkuat dengan perkataan Imam Ali yang mengatakan "Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma' al kufri dan negara itu akan hancul dengan kezaliman meskipun ma'a al muslimin". Hal ini selaras dengan pendapat Ibn Taimiyah bahwasanyya "Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun negara kafir, dan Allah akan menghaculkan negara yang zalim meskipun negara muslim". Jika berpandangan menggunakan kerangka ini, maka apabila ada hukum fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya keadilan dimayarakat, maka fiqih harus ditinggalkan.
Dalam hal ini Nabi pernah berpesan "Antum a'lamu biumuuri dunyakum" artinya pada wilayah non ibadah, misalnya perpolitikan umat islam diberi kebebasan untuk memutuskan  dasar-dasar politik yang adil, dan egaliter sehingga bisa diterima semua pihak. Selain itu, dalam mensikapi masyakat NU sering kali mengedepankan sikap tawasut dan i'tidal(moderat), tasamuh(toleran), tawazun(seimbang), dan Amar ma'ruf nahi Mungkar(mengajak kepada kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran). Dan paling tidak rumusan yang dihasilkan harus memenuhi tahapan dalam Maqasid as syari'ah yaitu:1). Melindungi agama(hifzh al din), 2) Medlindungi jiwa dan keselamatan fisik(hifal an Nafs), dan 3). Melindungi keturunan(hifzh al nasl) 4. Melindungi fikiran(hifzh al Aql), dan 5). melindungi harta benda (Hifzh al mal), Rumusan 5 Maqasid as Syari'ah ini membuktikan bahwasannya Islam mengajarkan pemahaman bahwa dalam melakukan ibadah tidak hanya menhkhususkan dirinya pada penyembahan kepada Tuhan semata yang sifatnya ritualistik dan kadang susah dipahami makna dan manfaatnya. Dengan demikian semakin jelas bahwasannya Islam sebagai agama samawi dan sebagi agam arahmatan lil alamin sudah selayaknya menjadikan dirinya sebagai agama petunjuk bagi semua umat manusia(kh).


[1] Artikel diambil dari Pengantar Rais Am PBNU Dr. KH. Shal Mahfudh, dalam buku “Solusi Problematika Aktual Hukjum Islam: Keputusan Mukhtamar, Munas, dan Kombes Nahdhatul Ulama” tahun 1926-2004, dan dari “Buku Agenda Kerja 2010  Nahdhatul Ulama”.