Islam yang sejatinya agama samawi,
Islam juga sebagai agama rahmatan lil alamin(petunjuk bagi
semesta alam). Dalam konteks ke-Indonesiaan Islam dituntut untuk menjadi problem
solving dalam
memecahkan permasalahan yang ada di Indonesia, tentunya dalam memberikan hukum,
Islam disamping menjadikan al Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW sebagai
sandaran pertama dan utama, Islam juga harus melihat sisi ke-Indonesiaan dimana
Hukum itu akan diterapkan, dan akhirnya dijalankan oleh masyarakatnya. Dalam
kaitannya dengan pengambilan Hukum, MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU yang bertindak sebagai kontrol atas
berlakunya hukum di Indonesia selalu melihat sisi kemaslahatan dan
kebijaksanaan dalam melahirkan hukum di Indonesia.
Keberagaan Indonesia yang tidak bisa
kita alpakan ini, sejatinya merupakan kekayaan dan keberkahan yang Allah
berikan kepada kita semua. Tentunya dalam melahirkan Hukum Negara, MUI dan
dibantu Ulama-Ulama NU dalam
hal ini tidak hanya mengedepankan sisi religiusitas yang berpatokan pada al
Qur'an dan Hadis Nabi. Lebih dari itu, selain menggunakan dua unsur pokok
tersebut, MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU tetap mengedepankan sisi Demokratis, Dinamis dan
berwawasan luas. Demokratis karena hukum yang dihasilkan selalu mengedepankan
pendapat yang paling kuat, tidak heran jika dalam merumuskan hukum tidak ada
perdebatan antar Ulama maupun santri, ataupun peserta yang lain. Dan dikatakan Dinamis karena
persoalan/masalah(masail) yang dislesaikan selalu mengikuti perkembangan (tren)
hukum yang berlaku di Masyarakat. Sedangkan dikatakan berwawasan luas karena
dalam memberikan jawaban tidak ada dominasi Mazhab, karena NU terkenal dengan
menggunakan mazhab yang 4(syafi'i, maliki, hambali dan hanafi). Dengan demikian
maka hukum yang dihasilkannya selaras dengan perkembangan zaman, dan yang pasti
tidak meninggalkan sisi religiusitasnya, karena itulah pokok utama ajaran al
Qur'an(shohih likullli zaman wa al makan).
Sebagai contoh misalnya; dalam
menetapkan hukum bunga bank, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan Haram, ada juga yang
memperbolhkan/menghalalkan, dan ada juga yang menganggap bunga bank tersebut
termasuk subhat. Permasalahan ini terus berkembang dan hingga pada akhirnya NU
memutuskan masih pada tiga pendapat tersebut. Hal ini sebagai antisipasi NU
untuk memberikan ruang bagi masyarakat, dan ternyata setelah diberlakukannya
hukum tersebut, banyak bermunculan bank-bank dan lembaga keuangan modern yang
dikelola secara professional.
MUI dan
dibantu Ulama-Ulama NU berpandangan bahwasannya, "Bagaimana mungkin
fiqih yang dikopntruksikan ratusan tahun yang lalu mampu menjawab semua
permasalahan yang ada saat ini". Dari sinilah akhirnya NU berusaha untuk menhadirkan
fiqih baru yang sesuai dengan ruang dan waktu saat ini. Dimana fiqih tersebut
berusaha untuk mengakomodir semua permasalahan yang ada di masyarakat dengan
memberikan jawaban yang tepat dan sesuai syariat.
Dalam proses pengambilan Hukum(istimbath al
hukum) MUI dan dibantu Ulama-Ulama NU tidak langsung merujuk kepada al
Qur'an dan Hadis Nabi sebagai sumber utama, melainkan
memberlakukan(mentahkikan) sikap dasar bermazhab secara dinamis sesuai
dengan permasalahan-permasalahan yang dicari solusinya. Dalam NU dikenal dengan
istilah "bahtsul masaail" yang artinya membahas masalah-masalah
waqi'ah(yang terjadi) melallui sumber(maraji') yaitu kitab-kitab Ulama'
ahli fiqih terdahulu. Dalam
hal Fiqih NU menggunakan 4 mazhab yaitu; Maliki, Syafi'i , Hambali, dan Hanafi.
Sedangkan dalam hal tasawuf NU menggunakan metode al Ghazali dan Junaid al
Baghdadi yang mengintehrasikan antara tasawuf dan syari'at.
Dan yang
pasti pemberlakuan atas Hukum fiqih Ulama' NU telah bersepakat bahwasannya
fiqih bukanlah hal yang sakral melainkan produk Ijtihadi yang suatu saat akan
terus berkembang mengawal keberlangsungan hukum di Indonesia yang setiap saat,
waktu, dan zamannya pasti akan terus berubah. Hal ini terbukti ketika KH Bisri
Syamsuri(salah seorang kyai pendiri NU) memberlakukan dibolehkannya KB, beliau
memperbolehkannya KB karena berpandangan terhadap pendapat Imam al Gzazali yang
memperbolehkan KB, meskipun pada saat itu Ulama NU sangat ketat dalam hal KB.
Ini membuktikan bahwasannya NU secara praktek telah memberlakukan pendapat
diluar mazhab syafi'i, meskipun dalam struktur kajiannya masih banyak Ulama NU
yang menggunakan kitab-kitab Mazhab Fiqih Imam Syafi'i, mulai dari yang
terkecil “safinat al shalah” sampai yang paling besar seperti kitan “al
Umm” karya Imam as Syafi'i.
Pandangan yang menyatakan bahwa fiqih
adalah hukum sakral yang tidak dapat berubah adalah pendapat yang kurang tepat.
Karena biar bagaiman persoalannya yang namanya fiqih adalah “suatu hukum yang digali”, artinya lahirnya hukum fiqih adalah melalui suatu
proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang hingga akhirnya dinyatakan
sebagi hukum praktis, dalam istilah fiqih dikenal dengan "al ilmu bi al
ahkam al sya'iyyah al amaliyah al muhtasab min adillatiha tafshiliyah".
Sebagai contoh proses pencetusan hukum yang dilakukan Imam Syafi'i dalam
memberikan hukum seputar menstruasi(haid). Contoh lain bisa
kita klihat bagaimana Ulama NU dalam menentukan awal ramadhan yang menggunakan
metode hisab(falaq) dan ikhtilaf al matla'. Itu semua menunjukan
bahwasannya fiqih itu bukanlah hukum final yang tidak dapat berubah. Namun meskipun
demikian dalam penalaran/istimbat hukum kita dituntut untuk bisa mengetahui dan memahami
dengan baik dan benar akan permasalahan yang sedang digali hukumnya.
Tentunya Imam Mazhab dalam
mencetuskan hukum, selain berpatokan dengan al Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad
SAW. Mereka juga selalu mempertimbangkan formulasi hukum yang akan dihasilkan
dengan tetap melihat sisi sosial dan kultur masyarakat sekitar. Yang patut
dijatikan pelajaran disini adalah,meskipun para Ulama satu dengan Ulama yang lain berbeda pendapat
terkait dengan hukum yang dihasilkannya, namun mereka tidak ada yang
beranggapan/mengklaim bahwa Ijtihatnya yang paling benar.
Hal ini seperti yang kita saksikan dalam mazhab al arba'ah(mazhab yang
empat) itu semua memperlihatkan betapa luasnya samudra ilmu islam. Dalam hal
ini mereka berpandangan bahwa "Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan
Ijtihad lain"(al Ijtihad la yunqadhu bi al Ijtihad). Artinya semua
bentuk Ijtihad memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dengan demikian
antara Ulama yang satu dengan Ulama yang lain tidak bias saling mengklaim bahwa Ijtihad-nyalah
yang paling benar. Darisinilah kita bisa mengetahui bahwa fiqih bersifat fleksibel,
dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak permanen.
Lebih jauh lagi KH. Sahal Mahfud(rais
Am PBNU) mengemukakan bahwasannya muara hukum fiqih adalah terciptanya keadilan
sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini beliau mengutip salah satu pepatah arab
yang mengatakan "Ambillah yang jernih dan tinggalkanlah yang
keruh"(khudz ma shafa wa da' ma kadara). Pendapat ini diperkuat dengan
perkataan Imam Ali yang mengatakan "Dunia, kekuasaan, negara, bisa
berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma' al kufri dan negara itu akan hancul
dengan kezaliman meskipun ma'a al muslimin". Hal ini selaras dengan
pendapat Ibn Taimiyah bahwasanyya "Allah akan menegakkan negara yang
adil meskipun negara kafir, dan Allah akan menghaculkan negara yang zalim
meskipun negara muslim". Jika berpandangan menggunakan kerangka ini,
maka apabila ada hukum fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya keadilan
dimayarakat, maka fiqih harus ditinggalkan.
Dalam
hal ini Nabi pernah berpesan "Antum a'lamu biumuuri dunyakum"
artinya pada wilayah non ibadah, misalnya perpolitikan umat islam diberi
kebebasan untuk memutuskan dasar-dasar politik yang adil, dan egaliter
sehingga bisa diterima semua pihak. Selain itu, dalam mensikapi masyakat NU
sering kali mengedepankan sikap tawasut dan i'tidal(moderat), tasamuh(toleran),
tawazun(seimbang), dan Amar ma'ruf nahi Mungkar(mengajak kepada
kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran). Dan paling tidak rumusan yang dihasilkan harus memenuhi
tahapan dalam Maqasid as syari'ah yaitu:1). Melindungi agama(hifzh al
din), 2) Medlindungi jiwa dan keselamatan fisik(hifal an Nafs), dan 3). Melindungi keturunan(hifzh al nasl) 4. Melindungi fikiran(hifzh
al Aql), dan 5). melindungi harta benda (Hifzh al mal), Rumusan 5 Maqasid
as Syari'ah ini membuktikan bahwasannya Islam mengajarkan pemahaman bahwa
dalam melakukan ibadah tidak hanya menhkhususkan dirinya pada penyembahan
kepada Tuhan semata yang sifatnya ritualistik dan kadang susah dipahami makna
dan manfaatnya. Dengan
demikian semakin jelas bahwasannya Islam sebagai agama samawi dan sebagi agam
arahmatan lil alamin sudah selayaknya menjadikan dirinya sebagai agama petunjuk
bagi semua umat manusia(kh).
[1] Artikel diambil dari Pengantar Rais Am
PBNU Dr. KH. Shal Mahfudh, dalam buku “Solusi Problematika Aktual Hukjum Islam:
Keputusan Mukhtamar, Munas, dan Kombes Nahdhatul Ulama” tahun 1926-2004, dan
dari “Buku Agenda Kerja 2010 Nahdhatul
Ulama”.