Rabu, 01 Mei 2013

Sunnah Fersi Jamal al Bana[1]


          Selama ini sering kali kita memaknanai bahwa sunnah adalah sinonim(persamaan) dari Hadist, namun apakah benar demikian?..Jamal al Bana(adik kandung Hasan al bana/pendiri Ikhwanul Muslimin) membahas panjang lebar pergeseran makna sunnah menjadi Hadis baik dalam pandangan ulama fiqh klasik maupun kontemporer dalam bukunya “Naẖwa Fiqh jadîd 2: al Sunnah Wa Dauruhȃ fi al Fiqh al Jadid”(manifesto Fiqh baru2: Redefinisidan dan Reposisi al Sunnah). Dalam bukunya tersebut Jamal al Bana mendefinisikan bahwa sunnah secara etimologi(bahasa) berarti jalan, metode, dan adat yang berlaku. Sedangkan Sunnah Nabi diartikan sebagai jalan yang diikuti Nabi dalam ibadah, tingkah laku dan pekerjaan lain. Definisi seperti ini sesuai dengan pernytaan Zamahsyari dalam kitabnya “Asȃs al Balȃghah” seperti yang dikutip jamal al Bana, dikatakan bahawa “Sanna sunnatan”(dia merintis jalan baik), “Tharraqa Tharîqatan Hasanatan”(dia merintis jalan baik), dan “Fulȃnun mutasanninun”(fulan mengikuti sunnah).
            Dalam sebuah Hadis Nabi mengatakan “Seseorang yang tidak mau mengikuti sunahku bukan bagian dariku”. Artinya seseorang yang tidak mengikuti metode dan jalanku dalam hal kebaikan dan keadilan baik didunia maupun diakhirat, maka mereka bukanlah bagian dari umatku. Sunnah dalam pemaknaan seperti ini memberikan pemahaman yang sangat umum, mencakup metode yang spesifik yang diikuti Nabi dalam kehidupannya yang mulia. Artinya pemahaman Sunnah menyakup segala perbuatan dan tindakan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, dan ini bertentangan dengan makna sunnah karena sunnah bukanlah perkataan maupun perbuatan Nabi.
            Dalam hal ini pemahaman Sunnah dan Hadits secara umum bukanlah demikian, melainkan Hadis dan Sunnah sering kali disatukan. Dalam al Qur’an sendiri kata sunnah dalam bentuk tunggal disebutkan kurang lebih sebanyak 14 kali, sedangkan dalam bentuk plurar(sunan) disebutkan sebnayak dua kali. Adapaun makna yang terkandung didalamnya tidak jauh dari makna Sunnah secara kebahasaan. Dan hal ini pasti berbeda dengan Hadis. Adapun tujuan Allah menyebutkan Sunnah dalam al Qur’an adalah untuk menunjukan jalan pada prinsip tertentu, dasar, dan sebagai jalan untuk masyarakat tertentu. Adapun faktor yang menjadikan Sunnah dan Hadits menjadi disamakan artinya antara lain adalah; adanya subjektifitas yang disengaja, dan objektifitas fundamental. Diantara subjektifitas yang disengaja antara lain adalah: pertama, tindakan Muawiyah yang menyebarkan kisah-kisah didalam masjid, terutama kisah yang dibawa oleh Ka’ab. Meskipun hal tersebut tidak mendapatkan respon dari golongan intelektual islam pada saat itu, namun tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang dilakukan Muawiyah tersebut adalah bermuatan politis, yaitu untuk menutup ruang perdebatan diseputar khilafah. Lebih jauh lagi hal tersebut bertujuan untuk memalingkan masyarakat islam agar berpindah dari urusan keduniaan (masalah khilafah) menuju urusan akhirat. Dan hal inilah yang mendorong lahirnya hadis-hadis palsu, seperti siksa kubur, hari perhitungan dan lain-lainnya. Dan tujuan dari misi tersebut adalah menakut-nakuti masyarakat pada saat itu supaya tidak lagi memikirkan masalah dunia(khilafah), dan beralih untuk urusan akhirat.
            Kedua, secara tidak langsung peristiwa tersebut bersamaan dengan yang dilakukan oleh kalangan Yahudi, Munafiq, dan musuh-musuh islam yang lain. Yaitu mereka yang mengimani hadits pada pagi harinya dan mengafirinya disore hari.  Mereka tidak segan-segan mengatakan bahwa al Qur’an tidak lain hanyalah dongeng-dongeng orang-orang terdahulu dan seterusnya. Hal inilah yang pada perkembangannya dinilai sebagai abrogasi Nasikh dan Mansukh dalam al Qur’an. Yang pada akhirnya pendapat orang Yahudi dikaitkan sebagai pendapat para sahabat. Dan lebih ironis lagi pendapat-pendapat tersebut telah dikutip oleh ulama-ulama tafsir pada masanya, bahkan masih ada dalam  kitabnya sampai sekarang.
            Ketiga, hal ini ditambah dengan beredarnya peran pemalsu Hadits yang shaleh. Dimana hadits-hadits tersebut dihembuskan untuk menakut-nakuti masyarakat. Mereka dengan dalih mengkampanyekan keutamaan-keutamaan tertentu dalam al Qur’an, tidak tangung-tangung mereka juga menyeritakan siksa-siksa kubur secara menakutkan. Keempat, selain itu bertambah luasnya kekuasaan islam menjadikan pencarian hadis(walaupun palsu), akibanya pemalsuan hadis-hadis tidak dapat dihindarkan, apalagi hal tersebut didorong bahwa al Qur’an hanya menginformasikan permasalahan yang sifatnya global dan tidak menyentuk masalah-masalah yang terperinci. Dan hal inilah yang melatarbelakangi pemburuan hadis untuk menemukan Hadis yang benar-benar tidak tereksplorasi. Namun diakaui ataupun tidak, hal tersebut menjadikan munculnya hasdis-hadis palsu baru manakala tidak ditemukannya hadis yang benar, akhirnya hadis palsu pun menjadi pilihan.
            Kelima,  selain keempat faktor diatas politik penguasa menjadi faktor yang cukup dominan. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muawiyah dalam membungkam peran politik para ahli fiqh seperti yang dilakukan terhadap 4 mazhab(Maliki, Hambali, Syafi’I dan Hanafi) . Akibatnya Ulama Fiqh tidak menemukan lahan lain kecuali ibadah. Keenam, selain itu para penguasa juga menyebabkan banyaknya hadis seputar khilafah. Dimana hadits tersebut bertujuan untuk meruntuhkan keklompok atau golongan tertentu, seperti dinasti Umaiyyah dan Abasiyah. Tidak sedikit Hadits yang dijadikan golongan syi’ah yang awalnya digunakan untuk melegitimasi kelompoknya yang hingga pada akhirnya dijadikan dasar oleh ulama fiqh dari golongan syi’ah dalam memberikan hukum.
            Ketujuh, perkembangan islam yang cukup signifikan mau tidak mau patsinya merangkul semua golongan dari berbagai suku, etnis, dan bahasa yang berbeda. Dimana mereka sudah memiliki tradisi yang sudah mengakar kuat dalam dirinya, dan ditambah dengan dendam mereka kepada Romawi dan Yunani. Oleh karenanya mereka menggunakan kesempatan tersebut untuk menghembuskan hadits-hadits palsu yang dapat merusak aqidah. Hingga pada  pertengahan abad kedua hijriah umat islam diguyur dengan jutaan hadits palsu. Hingga pada akhirnya hadits tersebut dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum. Perjuangan Ulama dalam hal ini sangatlah besar, terbukti dengan lahirnya kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ulama pada zamannya. Diantara Ulama hadits pada masa itu antara lain adalah: Yahya bin Mu’in madini, ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahwih, dan yang lainnnya.
            Sunnah telah menjadi basis intelektual para Ulama, dimana mereka menempatkan posisi sunnah pada urutan kedua setelah al Qur’an(al Qur’an II). Dengan demikian sunnah telah menjadi Hakim atas al qur’an, dalam artian al Qur’an dan hadits adalah 2 pondasi utama pedoman umat islam. Namun dalam tradisi sejarah, para sahabat sangat berhati-hati dalam menuliskan sunnah. Hal ini terlihat seperti yang dikatakan Aisayah(salah seorang istri nabi) yang mengatakan “al Qur’an saja sudah cukup”, kita juga melihat sahabat yang menceritakan hadits kemudian melarang orang untuk menulisnya, dengan berkata “apakah kalian akan menjadikannya sebagai mushaf?”.
            Dari riwayat sahabat diatas menjelaskan bahwa; pertama, penulisan Hadis Nabi telah berklangsung sejak masa Nabi, sahabat, dan terus berkembang sampai sekarang. Kedua, sesungunhnya Nabi, Abu Bakar, Aisyah dan sahabat-sahabat yang lain telah melarang dan menghalangi penulisan hadis pada waktu itu. Namun atas faktor subjektifitas dan objektifitas telah memosisikan hadits pada level tertinggi dalam hukum islam setelah al Qur’an. Ketiga, larangan para sahabat atas penulisan Hadits tersebut memang berpedoman bahwa “cukup al Qur’anlah yang benar-benar dijaga oleh Allah”, dan ini murni karena kebenaran. Bukan seperti mereka yang datang setelah masa sesudahnya yang telah menjadikan Hadits sebagai profesi, produksi dan modal. Hingga akhirnya mereka akan membelanya meskipun dengan cara yang kurang tepat.
Terakhir, meskipun penyaringan Hadits palsu telah dilakukan, namun hal tersebut tetap memiliki imbas terhadap kehidupan umat islam, karena hal tersebut bersamaan dengan didikrikannya “Madrasah Hadits”, secara tidak langsung hal tersebut telah menjadi “badan pengesah” atas hadits-hadits palsu yang kemudian dijadikan dasar hukum dalam islam. Jamal al Bana menilai bahwa “meskipun hadits telah mengalami penyaringan secara kuantitas, namun tidak secara kualitas ”. Karena hal ini tidak mampu merubah keadaan semula yang menjadikan al Qur’an sebagai sumber pertama dan utama dalam islam. Artinya penyaringan tersebut hanya menjadikan keadaan menjadi tidak lebih buruk.
            Seorang akan dikejutkan dengan penemuan yang memperlihatkan bahwa banyak hadits tentang penghalalan dan pengharaman dalam musnad-musnad yang tidak seuai dengan ayat al Qur’an, dan hanya sebagian kecil saja yang sesuai dengan ayat al Qur’an. Hadits tersebut tersedot dalam dua pembahasan utama; pertama, perinciaan tentang ibadah seperti anjuran berdo’a dan sholat dengan menggunakan do’a-do’a tertentu dihari tertentu , dan bulan tertentu pula. Kedua,  hadits tersebut bertujuan untuk menakut-nakuti seperti pemberitahuan akan siksa kubur, surga neraka, sampai datangnya al Mahdi. Dua pembahasan inilah yang akhirnya membentuk psikologi umat islam hingga akhirnya menjadi muslim yang ideal. Hal ini bisa kita lihat dari aktifitas orang islam setiap harinya, dimana mulai bangun tidur hingga mau tidur lagi mereka selalu mengawalinya dengan do’a, dan begitulah aktifitas yang berjalan berikutnya. Beberapa Hadits yang telah ditulis dalam kitab-kitab Musnad antara lain.
“Adakah yang lebih membangkitkan harapan dari nama Agung Allah?, yang mana seorang berdo’a melalui nama agung ini bisa terkabul! Adakah yang lebih menakutkan melebihi siksa kubur yang dapat menghancurleburkan tubuh anak Adam? Adakah yang lebih menenangkan jiwa dengan do’a disetiap gerakan sholat yang dapat menjadikan seorang suci seperti baru lahir”
Ribuan hadits seperti ini telah mewarnai kitab-kitab sunan dan telah disahkan oleh para ahli hadits. Bahkan dari sebagian mengangapnya sampai tingkatan mutawair. Inilah yang pada akhirnya menjadi corak resmi umat islam sebagaimana hadits tersebut telah memadamkan api pemberontakan terhadap kekuasaan dan mematikan kreatifitas umat muslim. Hingga pada akhirnya umat islam hanya terpaku pada urusan ibadah, taklid, menyerah, dan terjatuhkan dari kreatifitas.
            Darisinilah kita bisa berkesimpulan bahwa “Ulama terdahulu memang brilian, namun mereka bukanlah malaikat yang terlepas dari salah. Mereka juga memiliki keterbatasan, kekeliruan, dan kealpaan, utamanya pemikiran mereka tentang fiqh”. Meskipun demikian itu bukanlah satu-satunya penyebab terbesarnya, namun politik penguasa disini memiliki peran yang sangat vital, dimana ditangan merekalah telah mengurung umat islam dari keterbelakangan dan kebodohan. Dan pada akhirnya hadits-hadits palsu tersebut membuat umat islam untuk menerima apa yang dilakukan para penguasa, dengan menerima kenyataan meskipun terbelakang sebagaiman telah terjadi dalam praktek tasawuf.
            Sebagamana telah disampaikan diatas, seandaidanya gerakan dan tradisi yang telah terkomando tersebut tidak hanya dalam hal agama pastinya sangat luar biasa dampaknya bagi umat islam sekarang. Sayangnya hal tersebut hanya terjadi dalam hal ibadah saja yang jauh dari inti kehidupan.(kh).


[1] Artikel dikutip dari  kitab “Naẖwa Fiqh jadîd 2: al Sunnah Wa Dauruhȃ fi al Fiqh al Jadid”(manifesto Fiqh baru2: Redefinisidan dan Reposisi al Sunnah) karya Jamal al Bana oleh Moh Khoiri, Penulis adalah mahasiswa Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.