Selama ini
sering kali kita memaknanai bahwa sunnah adalah sinonim(persamaan) dari Hadist,
namun apakah benar demikian?..Jamal al Bana(adik kandung Hasan al bana/pendiri
Ikhwanul Muslimin) membahas panjang lebar pergeseran makna sunnah menjadi Hadis
baik dalam pandangan ulama fiqh klasik maupun kontemporer dalam bukunya “Naẖwa
Fiqh jadîd 2: al Sunnah Wa Dauruhȃ fi al Fiqh al Jadid”(manifesto Fiqh baru2:
Redefinisidan dan Reposisi al Sunnah). Dalam bukunya tersebut Jamal al Bana
mendefinisikan bahwa sunnah secara etimologi(bahasa) berarti jalan, metode, dan
adat yang berlaku. Sedangkan Sunnah Nabi diartikan sebagai jalan yang diikuti
Nabi dalam ibadah, tingkah laku dan pekerjaan lain. Definisi seperti ini sesuai
dengan pernytaan Zamahsyari dalam kitabnya “Asȃs al Balȃghah” seperti
yang dikutip jamal al Bana, dikatakan bahawa “Sanna sunnatan”(dia
merintis jalan baik), “Tharraqa Tharîqatan Hasanatan”(dia merintis jalan
baik), dan “Fulȃnun mutasanninun”(fulan mengikuti sunnah).
Dalam sebuah
Hadis Nabi mengatakan “Seseorang yang tidak mau mengikuti sunahku bukan
bagian dariku”. Artinya seseorang yang tidak mengikuti metode dan jalanku
dalam hal kebaikan dan keadilan baik didunia maupun diakhirat, maka mereka
bukanlah bagian dari umatku. Sunnah dalam pemaknaan seperti ini memberikan
pemahaman yang sangat umum, mencakup metode yang spesifik yang diikuti Nabi
dalam kehidupannya yang mulia. Artinya pemahaman Sunnah menyakup segala
perbuatan dan tindakan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, dan ini bertentangan
dengan makna sunnah karena sunnah bukanlah perkataan maupun perbuatan Nabi.
Dalam hal
ini pemahaman Sunnah dan Hadits secara umum bukanlah demikian, melainkan Hadis
dan Sunnah sering kali disatukan. Dalam al Qur’an sendiri kata sunnah dalam bentuk
tunggal disebutkan kurang lebih sebanyak 14 kali, sedangkan dalam bentuk plurar(sunan)
disebutkan sebnayak dua kali. Adapaun makna yang terkandung didalamnya tidak
jauh dari makna Sunnah secara kebahasaan. Dan hal ini pasti berbeda dengan
Hadis. Adapun tujuan Allah menyebutkan Sunnah dalam al Qur’an adalah untuk
menunjukan jalan pada prinsip tertentu, dasar, dan sebagai jalan untuk
masyarakat tertentu. Adapun faktor yang menjadikan Sunnah dan Hadits menjadi
disamakan artinya antara lain adalah; adanya subjektifitas yang disengaja,
dan objektifitas fundamental. Diantara subjektifitas yang disengaja antara
lain adalah: pertama, tindakan Muawiyah yang menyebarkan kisah-kisah
didalam masjid, terutama kisah yang dibawa oleh Ka’ab. Meskipun hal tersebut
tidak mendapatkan respon dari golongan intelektual islam pada saat itu, namun
tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang dilakukan Muawiyah tersebut adalah
bermuatan politis, yaitu untuk menutup ruang perdebatan diseputar khilafah.
Lebih jauh lagi hal tersebut bertujuan untuk memalingkan masyarakat islam agar
berpindah dari urusan keduniaan (masalah khilafah) menuju urusan akhirat. Dan
hal inilah yang mendorong lahirnya hadis-hadis palsu, seperti siksa kubur, hari
perhitungan dan lain-lainnya. Dan tujuan dari misi tersebut adalah
menakut-nakuti masyarakat pada saat itu supaya tidak lagi memikirkan masalah dunia(khilafah),
dan beralih untuk urusan akhirat.
Kedua,
secara tidak langsung peristiwa tersebut bersamaan dengan yang
dilakukan oleh kalangan Yahudi, Munafiq, dan musuh-musuh islam yang lain. Yaitu
mereka yang mengimani hadits pada pagi harinya dan mengafirinya disore
hari. Mereka tidak segan-segan
mengatakan bahwa al Qur’an tidak lain hanyalah dongeng-dongeng orang-orang
terdahulu dan seterusnya. Hal inilah yang pada perkembangannya dinilai sebagai abrogasi
Nasikh dan Mansukh dalam al Qur’an. Yang pada akhirnya pendapat
orang Yahudi dikaitkan sebagai pendapat para sahabat. Dan lebih ironis lagi
pendapat-pendapat tersebut telah dikutip oleh ulama-ulama tafsir pada masanya,
bahkan masih ada dalam kitabnya sampai
sekarang.
Ketiga,
hal ini ditambah dengan beredarnya peran pemalsu Hadits yang shaleh.
Dimana hadits-hadits tersebut dihembuskan untuk menakut-nakuti masyarakat.
Mereka dengan dalih mengkampanyekan keutamaan-keutamaan tertentu dalam al
Qur’an, tidak tangung-tangung mereka juga menyeritakan siksa-siksa kubur secara
menakutkan. Keempat, selain itu bertambah luasnya kekuasaan islam
menjadikan pencarian hadis(walaupun palsu), akibanya pemalsuan hadis-hadis
tidak dapat dihindarkan, apalagi hal tersebut didorong bahwa al Qur’an hanya
menginformasikan permasalahan yang sifatnya global dan tidak menyentuk
masalah-masalah yang terperinci. Dan hal inilah yang melatarbelakangi pemburuan
hadis untuk menemukan Hadis yang benar-benar tidak tereksplorasi. Namun diakaui
ataupun tidak, hal tersebut menjadikan munculnya hasdis-hadis palsu baru
manakala tidak ditemukannya hadis yang benar, akhirnya hadis palsu pun menjadi
pilihan.
Kelima, selain keempat faktor diatas politik
penguasa menjadi faktor yang cukup dominan. Hal ini sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Muawiyah dalam membungkam peran politik para ahli fiqh seperti
yang dilakukan terhadap 4 mazhab(Maliki, Hambali, Syafi’I dan Hanafi) . Akibatnya Ulama Fiqh tidak menemukan lahan
lain kecuali ibadah. Keenam, selain itu para penguasa juga
menyebabkan banyaknya hadis seputar khilafah. Dimana hadits tersebut bertujuan
untuk meruntuhkan keklompok atau golongan tertentu, seperti dinasti Umaiyyah
dan Abasiyah. Tidak sedikit Hadits yang dijadikan golongan syi’ah yang awalnya
digunakan untuk melegitimasi kelompoknya yang hingga pada akhirnya dijadikan
dasar oleh ulama fiqh dari golongan syi’ah dalam memberikan hukum.
Ketujuh,
perkembangan islam yang cukup signifikan mau tidak mau patsinya merangkul
semua golongan dari berbagai suku, etnis, dan bahasa yang berbeda. Dimana
mereka sudah memiliki tradisi yang sudah mengakar kuat dalam dirinya, dan
ditambah dengan dendam mereka kepada Romawi dan Yunani. Oleh karenanya mereka
menggunakan kesempatan tersebut untuk menghembuskan hadits-hadits palsu yang
dapat merusak aqidah. Hingga pada
pertengahan abad kedua hijriah umat islam diguyur dengan jutaan hadits
palsu. Hingga pada akhirnya hadits tersebut dijadikan sebagai dasar pengambilan
hukum. Perjuangan Ulama dalam hal ini sangatlah besar, terbukti dengan lahirnya
kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ulama pada zamannya. Diantara Ulama
hadits pada masa itu antara lain adalah: Yahya bin Mu’in madini, ahmad bin
Hambal, Ishaq bin Rahwih, dan yang lainnnya.
Sunnah telah
menjadi basis intelektual para Ulama, dimana mereka menempatkan posisi sunnah
pada urutan kedua setelah al Qur’an(al Qur’an II). Dengan demikian sunnah telah
menjadi Hakim atas al qur’an, dalam artian al Qur’an dan hadits adalah 2
pondasi utama pedoman umat islam. Namun dalam tradisi sejarah, para sahabat
sangat berhati-hati dalam menuliskan sunnah. Hal ini terlihat seperti yang
dikatakan Aisayah(salah seorang istri nabi) yang mengatakan “al Qur’an saja
sudah cukup”, kita juga melihat sahabat yang menceritakan hadits kemudian
melarang orang untuk menulisnya, dengan berkata “apakah kalian akan menjadikannya
sebagai mushaf?”.
Dari riwayat
sahabat diatas menjelaskan bahwa; pertama, penulisan Hadis Nabi telah
berklangsung sejak masa Nabi, sahabat, dan terus berkembang sampai sekarang. Kedua,
sesungunhnya Nabi, Abu Bakar, Aisyah dan sahabat-sahabat yang lain telah
melarang dan menghalangi penulisan hadis pada waktu itu. Namun atas faktor
subjektifitas dan objektifitas telah memosisikan hadits pada level tertinggi
dalam hukum islam setelah al Qur’an. Ketiga, larangan para sahabat atas
penulisan Hadits tersebut memang berpedoman bahwa “cukup al Qur’anlah yang
benar-benar dijaga oleh Allah”, dan ini murni karena kebenaran. Bukan seperti
mereka yang datang setelah masa sesudahnya yang telah menjadikan Hadits sebagai
profesi, produksi dan modal. Hingga akhirnya mereka akan membelanya meskipun
dengan cara yang kurang tepat.
Terakhir, meskipun penyaringan Hadits
palsu telah dilakukan, namun hal tersebut tetap memiliki imbas terhadap
kehidupan umat islam, karena hal tersebut bersamaan dengan didikrikannya “Madrasah
Hadits”, secara tidak langsung hal tersebut telah menjadi “badan pengesah” atas
hadits-hadits palsu yang kemudian dijadikan dasar hukum dalam islam. Jamal al Bana
menilai bahwa “meskipun hadits telah mengalami penyaringan secara kuantitas,
namun tidak secara kualitas ”. Karena hal ini tidak mampu merubah keadaan
semula yang menjadikan al Qur’an sebagai sumber pertama dan utama dalam islam.
Artinya penyaringan tersebut hanya menjadikan keadaan menjadi tidak lebih
buruk.
Seorang akan
dikejutkan dengan penemuan yang memperlihatkan bahwa banyak hadits tentang
penghalalan dan pengharaman dalam musnad-musnad yang tidak seuai dengan ayat al
Qur’an, dan hanya sebagian kecil saja yang sesuai dengan ayat al Qur’an. Hadits
tersebut tersedot dalam dua pembahasan utama; pertama, perinciaan
tentang ibadah seperti anjuran berdo’a dan sholat dengan menggunakan do’a-do’a
tertentu dihari tertentu , dan bulan tertentu pula. Kedua, hadits tersebut bertujuan untuk
menakut-nakuti seperti pemberitahuan akan siksa kubur, surga neraka, sampai
datangnya al Mahdi. Dua pembahasan inilah yang akhirnya membentuk psikologi
umat islam hingga akhirnya menjadi muslim yang ideal. Hal ini bisa kita lihat
dari aktifitas orang islam setiap harinya, dimana mulai bangun tidur hingga mau
tidur lagi mereka selalu mengawalinya dengan do’a, dan begitulah aktifitas yang
berjalan berikutnya. Beberapa Hadits yang telah ditulis dalam kitab-kitab Musnad
antara lain.
“Adakah yang lebih membangkitkan harapan dari nama Agung
Allah?, yang mana seorang berdo’a melalui nama agung ini bisa terkabul! Adakah
yang lebih menakutkan melebihi siksa kubur yang dapat menghancurleburkan tubuh
anak Adam? Adakah yang lebih menenangkan jiwa dengan do’a disetiap gerakan
sholat yang dapat menjadikan seorang suci seperti baru lahir”
Ribuan hadits seperti ini telah mewarnai kitab-kitab sunan
dan telah disahkan oleh para ahli hadits. Bahkan dari sebagian mengangapnya
sampai tingkatan mutawair. Inilah yang pada akhirnya menjadi corak resmi
umat islam sebagaimana hadits tersebut telah memadamkan api pemberontakan
terhadap kekuasaan dan mematikan kreatifitas umat muslim. Hingga pada akhirnya
umat islam hanya terpaku pada urusan ibadah, taklid, menyerah, dan terjatuhkan
dari kreatifitas.
Darisinilah kita
bisa berkesimpulan bahwa “Ulama terdahulu memang brilian, namun mereka
bukanlah malaikat yang terlepas dari salah. Mereka juga memiliki keterbatasan,
kekeliruan, dan kealpaan, utamanya pemikiran mereka tentang fiqh”. Meskipun
demikian itu bukanlah satu-satunya penyebab terbesarnya, namun politik penguasa
disini memiliki peran yang sangat vital, dimana ditangan merekalah telah
mengurung umat islam dari keterbelakangan dan kebodohan. Dan pada akhirnya
hadits-hadits palsu tersebut membuat umat islam untuk menerima apa yang
dilakukan para penguasa, dengan menerima kenyataan meskipun terbelakang
sebagaiman telah terjadi dalam praktek tasawuf.
Sebagamana
telah disampaikan diatas, seandaidanya gerakan dan tradisi yang telah terkomando
tersebut tidak hanya dalam hal agama pastinya sangat luar biasa dampaknya bagi
umat islam sekarang. Sayangnya hal tersebut hanya terjadi dalam hal ibadah saja
yang jauh dari inti kehidupan.(kh).
[1]
Artikel dikutip dari kitab “Naẖwa
Fiqh jadîd 2: al Sunnah Wa Dauruhȃ fi al Fiqh al Jadid”(manifesto Fiqh baru2:
Redefinisidan dan Reposisi al Sunnah) karya Jamal al Bana oleh Moh Khoiri,
Penulis adalah mahasiswa Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.