Sejarah Singkat Mu’tazilah.
Jika kitau telaah dari sudut pandang bahasa, kata
Mu’tazilah berawal dari kata “I’tizal” yang berarti meninggalkan, menjauh,
dan memisahkan diri[2]. Sedangkan jika kita kaji dari segi istilah,
maka para peneliti berbeda pendapat dalam memahami nama Mu’tazilah[3].
Sebagin ada yang berpendapat bahwa Mu’tazilah adalah sebutan yang diberikan
oleh rival mereka, yaitu kaum ahlu sunnah. Dan sebagin lain mengatakan bahwa
nama Mu’taziah adalah nama yg diberikan oleh mereka sendiri(kaum Mu’tazilah).
Sebagian lagi mengatakan bahwa munculnya Mu’tazilah adalah erat kaitannya
dengan situasi politik pada masa perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dan
Mu’awiyah bin Abi Syufyan.
Dari berbagai pendapat tersebut, pendapat pertama
yang diberikan oleh rival mereka patut untuk dipertimbangkan. Bahwa nama
Mu’tazilah yang diberikan oleh mereka adalah berkaitan dengan keluarnya Wasil bin Atha’ al Ghazzal dari forumnya Hasan al
Bashri terkait dengan peseteruan diantara mereka seputar pelaku dosa besar.
Wasil mengatakan bahwa pelaku dosa besar yaitu mereka yang tidak mukmin dan
tidak kafir, mereka berada di 2 tempat(al Manzilah bayina Manzilatain). Dan
pendapat inilah yang akhirnya mengakibatkan Hasan al Bashri mengusir Wasil dari
forumnya. Dan hal ini pula yang menjadikan Wasil untuk terus
mempertahankan pendapatnya, hingga pada
akhirnya dia menemukan sekumpulan orang yang berada di Masjid Bashrah, hingga
akhirnya dia mendeklarasikan pendapatnya tersebut.
Diantara mereka yang sepakat dengan pendapatnya antara
lain, adalah: Amir bin Ubaid dan beberapa orang lain yang berada di masjid
Bashrah. Dari sinilah mereka akhirnya dinamakan Mu’tazilah. Karena mereka telah
berpendapat menyalahi aturan umat Islam, dan mereka juga telah mendakwakan
bahwasannya orang fasik adalah mereka yang tidak mukmin dan tidak kafir. Dan
diantara ayat a Qur’an yang menjadi pijakan kaum Mu’tazilah diantaranya adalah (Qs:al
Muzammil:10)[4].
÷É9ô¹$#ur 4n?tã $tB tbqä9qà)t öNèdöàf÷d$#ur #\ôfydWxÏHsd ÇÊÉÈ
10. Dan bersabarlah terhadap
apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka
dengan cara yang baik.
Dalam pandangan mereka, ayat al Qur’an
di atas dipahaminya bahwa menjauhi mereka adalah menyingkir atau
meninggalkan dunia.
Diantara ayat lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah (Qs:al
Maryam:40).
$¯RÎ) ß`øtwU ß^ÌtR uÚöF{$# ô`tBur $pkön=tæ $oYøs9Î)ur tbqãèy_öã ÇÍÉÈ
40. Sesungguhnya Kami
mewarisi bumi[5]
dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka
dikembalikan.
(Qs: al Kahfi:16).
ÏÎ)ur öNèdqßJçGø9utIôã$# $tBur crßç6÷èt wÎ) ©!$# (#ÿ¼ãrù'sù n<Î) É#ôgs3ø9$# ÷à³^t ö/ä3s9 Nä3/u `ÏiB ¾ÏmÏGyJôm§ ø×Ähygãur /ä3s9 ô`ÏiB /ä.ÌøBr& $Z)sùöÏiB ÇÊÏÈ
16. Dan apabila kamu
meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, Maka carilah
tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian
rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan
kamu[6].
Sedangkan pendapat yang masyhur mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah
menjukuki dirinya sendiri dengan sebutan “Ahl al Adl wa al Tauhid”(penegak
keadilan dan Tauhid). Maksud dari Tauhid disini adalah mereka yang
meniadakan sifat-sifat Tuhan. Karena dalam akidah mereka, adanya sifat-sifat
bagi Tuhan akan menyebabkan penyerupaaan. Adapun al Adl mereka bermaksud
untuk mensucikan Allah dari sifat Dzalim(menganiaya).
Darisinilah mereka berkeyakinan bahwa manusia
memiliki kehendak sendiri dan bebas menentukan pilihannya sendiri, bukan karena
Qadha’ dan Qhadar yang telah ditetapkan sejak zaman azali[7].
Dengan demikian dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya sebab
eksplisit yang melarbelakangi munculnya Mu’tazilah adalah peristiwa keluarnya
Wasil bin Atha’ dari forumnya Hasan al Bashri terkait tentang peristiwa“al
Manzilah bayna al Manzilatain” . Dan didukung dengan berbagai referensi
yang menyebutkan bahwasannya Wasil bin Atha’ adalah orang pertama yang
mencetuskan ide itu[8].
Dan aliran ini baru muncul pada akhir abat pertama pada masa Hasan al Bashri, tepatnya Mu’tazilah lahir di kota Bashrah
yang pada saat itu adalah pusat peradaban yang dipenuhi oleh berbagai aliran
pemeikiran[9].
Sumber Mazhab Mu’tazilah.
Mayoritas para pemuka Mu’tazilah mereka berusaha
untuk menisbatkan mazhab mereka kepada Nabi Muhammad SAW. dan yang lebih
ekstrim mereka menggangap hanya mazhab merekalah yang sambung kepada Nabi dan
tak ada golongan lain yang menyamainya[10].
Mereka yang berusaha menisbatkan mazhabnya kepada Nabi Muhammad SWA, dengan
argument sebagaimana dikutip dari al Bulkhi.
Menurut al Bulkhi, Wasil dan Amer bin Ubaid
menuntut ilmu dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al Hanafiyah, yang
belajar dari ayahnya Muhammad bin al Hanfiyah, dan ayahnya belajar dari Ali bin
Abi Thalib, sedangkan Ali yang sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa
dia adalah orang yang dekat dengan Nabi, dia tumbuh dan berkembang dalam
didikan Nabi, secara tidak langsung Ali menerima ilmu dari Nabi. Meskipun Ali
belajar dengan Nabi tidak lebih dari 10 tahun lamanya, akan tetapi banyak hal
dan peristiwa besar yang disaksikannya bersama Nabi, hingga pada meninggalnya
Nabi Ali masih bersama beliau.
Meskipun demikian, Mu’taziah memiliki
keungguan-keunggulan bila dibandingkan dengan golongan lain, diantara keungulan-keunggulan
tersebut adalah[11]:
1.
Adanya keterikatan serta rasa bangga terhadap mazhab mereka.
2.
Adanya perasaan superioritas yang mereka miliki karena telah berani
menyalahi pandangan umat islam pada umumnya.
3.
Dan kebanyakan dari pokok-pokok dan cabang mazhab mereka di adopsi
dari sumber-sumber filsafat dan
ajaran agama
lain. Dan
hal inilah yang menjadikan kaum muslimin pada umumnya menjauhi kaum Mu’tazilah.
Antara Mu’tazilah, Qadariyah dan Jamhiyah/Jabariyah.
Keterkaitan antara ketiga aliran tersebut adalah
meskipun aliran Qodariyah dan Jabariyah telah lama tiada. Akan tetapi ajaran-ajarannya
masih tetap lestari. Hingga pada akhirnya kedua ajaran aliran tersebut segar
kembali ketika diadopsi oleh kaum Mu’tazilah. Sehingga tidak heran jika al
Syafi’i menyebut Wasil, Umar, Ghailan al Dimasyq sebagai 3 serangkai yang
seide. Diantara paham-paham aliran yang telah diadopsi oleh Mu’tazilah dari
kedua aliran tersebut diantaranya adalah:
1.
Dari golongan Qadariyah, Mu’tazilah mewarisi paham mereka tentang
penolakan adanya takdir atau Intervensi Allah, dan menyandarkan semua
perbuatan manusia kepada dirinya sendiri[12].
2.
Dari golongan Jabariyah, Mu’tazilah mewarisi banyak paham-paham dari
mereka, diantaranya adalah: meniadakan sifat Allah, al Qur’an adalah Makhluk,
serta pengingkaran mereka terhadap kemungkinan manusia melihat Allah dengan
mata telanjang di akhirat kelak.
Iman Menurut Pandangan Mu’tazilah.
Dalam pandangan Mu’tazilah, seseorang baru
dikatakan beriman apabila mereka telah mengerjakan semua kewajiaban yang telah
diperintahkan-Nya, serta meninggalkan segala dosa besar. Menurut Mu’tazilah
Iman bukan hanya pengucapan dalam lisan an sich, akan tetapi mengucapkan dengan
lisan dan membenarkan dengan hati, serta melaksanakannya dengan perbuatan[13].
Dasar Pemikiran Kaum Mu’tazilah.
Dasar pemikiran, atau landasan dasar kaum
Mu’tazilah dalam memahami iman terletak pada 5 dasar pilar kebangsaan kaum
Mu’tazilah. Dimana seseorang menamakan dirinya sebagai bagian dari Mu’tazilah,
maka mereka harus memegang erat-erat 5 dasar pokok ini. Selain itu, seseorang
tidak akan dijuluki sebagai kaum atau aliran Mu’tazilah apabila salah satu dari
5 iman tersebut tidak ada. 5 dasar iman tersebut diantaranya adalah:
1.
Al Tauhid(keesaan Allah).
2.
Al Adl(keadilan Tuhan).
3.
Al Manzilah Baiyna Manzilataini(tempat diantara 2 tempat).
4.
Al Wa’d al Wa’id(Janji dan ancaman).
5.
Al Amar bi al Ma’ruf wa al Nahy an al Munkar(Memerintahkan kebaikan
dan melarang kejahatan).
Pada dasarnya konsep Mu’tazilah “al Ushul al
Khamsah” dan cabang-cabang pemikiran yang lainnya bukanlah murni dari
pemikiran mereka, dan bukan berdasarkan sumber ajaran islam yang diakaui.
Karena pada hakikatnya, pemikiran mereka telah banyak dipengaruhi oleh
pemikiran teologi Yahudi, Nasrani, Filsafat Yunani serta agama-agama Persia[14].
Ini semua bisa kita temukan di dalam buku-buku aliran pada masa sekarang ini,
yang hampir semuanya menjelaskan tentang pemikiran Mu’tazilah yang banyak
dipengaruhi oleh sumber-sumber asing. Misalnya saja, dalam buku-buku Yunani
kita menjumpai adanya kesamaan pemikiran mereka dengan pemikiran kaum
Mu’tazilah[15].
Meskipun pendapat Mu’tazilah lebih banyak
bergantung kepada pemikiran para filosof untuk mendukung pendapat mereka, akan
tetapi sebenarnya mereka hanya ingin memahaminya dengan rasional. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Hamilton, dia berpendapat bahwasannya kaum Mu’tazilah
sedang berusaha memaparkan dasar-dasar agama dalam bentuk rasional kepada para Intelektual
islam, supaya dapat diterima oleh akal fikiran, dan untuk menutup celah yang
banyak menyebabkan orang terjerumus dalam lembah kezindiqkan(atheis)[16].
1. Konsep “al Manzilah
Bayina Manzilatain”(posisi diantara 2 posisi).
Konsep ini berkaitan erat dengan Mu’tazilah,
dimana Mu’tazilah muncul adalah karena ada konsep ini sebagaiman telah
dijelaskan dibelakag. Wasil bin Atha’ sendiri menagkui bahwasannya untuk mempertahankan
pendapat dia, maka disusunlah kitab dengan judul “al Manzilah Bayina
Manzilatain”(posisi diantara 2 posisi).
2. Konsep “al Tauhid”(keesaan
Allah).
Muncunya konsep ini adalah karena terikatnya kaum
Mu’tazilah dengan keadilan Tuhan(al Adl) dan ketauhidan (al Tauhid), yang
akhirnya mereka menamakan dirinya dengan “Ahli al Adl wa al Tauhid”. Mereka
beranggapan bahwa hanya merekalah yang mampu menyandarkan akidah ini, serta
paling mampu dalam rangka melindungi dari berbagai aliran yang berpotensi untuk
menghancurkannya, baik agama yang menyeleweng maupun filsafat yang sesat.
Mereka terlalu berlebihan dalam memahami serta
mengesakan dan mensucikan Allah, akhrirnya mereka terjembab dalam hal-hal yang
melenceng dan jauh dari jalan yang
lurus. Dan penyebab yang menjadikan mereka jatuh pada keadaan seperti ini
adalah karena mereka terpengaruh oleh filsafat luar, yang kemudian
menjadikannya sebagai landasan teoritis untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran
mereka dalam berbagai masalah, hingga pada akhirnya mereka berani berpendapat
sebagai berikut:
a.
Meniyadakan sifat Azaly(kekal adanya tanpa permulaan) Allah SWT.
Adapun tujuan mereka meniadakan sifat Alah(nafy
sifat al al Bari), adalah ingin memurnikan konsep Tauhid, karena mereka
berargumen bahwasannya seandanya sifat Tuhan tersebut adalah Qadim(dahulu),
maka ia telah menyekutui-Nya dalam sifat ketuhanan. Menurut mereka sesuatu yang
disifati adalah jasad, sedangkan sifat adaah a’rad(aksiden), sementara
aksiden tidak dapat beraktifitas sendiri tanpa adanya jasad. Oleh karena itu mereka menjaadikan sifat
Allah sebagai esensi-Nya. Yang pada intinya adalah semua yang melakat pada
Allah baik itu sifat, ilmu, kemampuan, kehidupan, dan wajah kesemuanya adalah
esensi dari Allah sendiri. Mu’tazilah membedakan antarasifat esensi(shifat
al Zad) dengan sifat yang merupakan perbuatannya(shifat a Fi’l).
b.
Meniyadakan firman Allah SWT, sehingga mereka mengatakan bahwa al
Qur’an adalah makhluk.
Sebagai kelanjutan dari konseb bahwasannya hanya
Allah lah yang Qadim(azali) dan sifat-sifatnya adalah esensi dari-Nya,
maka mereka berpendapat bahwasannya al Qur’an adalah mahluk, sesuatu yang baru
(hadits), yang menenpati ruang, dan al Qur’an bukan merupakan esensi
dari Allah SWT. Dalam pandangan mereka, al Qur’an adalah firman atau perkataan,
sedangkan firman atau perkataan adalah jiwa yang membutuhkan gerakan, sementara
gerakan adalah sesuatu yang baru, dan segala yang baru tidak bisa beraktifitas
kecuali memallui media badan.
c.
Menafikan Ru’yah(melihat Allah dengan mata telanjang di hari
kiamat kelak).
Kongkusi dari ketiga konsep mereka terakait
dengan keesaan Allah(al Tauhid) adalah meniadaakn atau pengingkaran mereka
terhadap melihat Allah SWT dengan mata telanjang kelak di hari kiamat. Dengan alasan
memurnikan keesaan Alllah, maka mustahil melihat Tuhan dengan mata telanjang.
Karena seperti yang telah dikatakan Abu al Qasim al Balkhi yang terkenal dengan
al Ka’bi berkata: Mu’tazilah telah bersepakat bahwasannya Dzat Allah adalah
berbeda dengan yang lainnya, Dia bukanlah benda, dan Dia pula bukan Dzat. Namun
Dialah Dzat yang menciptakan benda dan Dzat. Oleh sebab itu organ tubuh tidak
mampu meihatnya baik ketika di dunia maupun di akhirat, karena mata manusia
hanya mampu melihat yang menempel pada benda.
3. Konsep Keadilan(al Adl).
Mu’tazilah menjadikan konsep keadiah Tuhan
sebagai kajian inti dalam konsep pemikiran mereka. Mereka enggan menggunakan
dalil-dail syar’i dan mereka lebih senang menggunakan filsafat dalam
beristimbat, dan dengan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan akidah yang
rambu-rambunya telah jelas. Klimaks dari kesesatan mereka dapat dilihat tentang
konsep keadilan menurut mereka yang lebih mendahulukan sumber-sumber asing dari
pada pendapat-pendapat para ulama’ salaf terkait dengan hal-hal dibawah ini:
a.
Mengingkari Takdir.
Untuk memperlihatkan sifat keadian Allah maka
mereka menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas perbuatan tersebut baik
ataupun buruk. Manusia dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang mereka
miiki, manusia bebas melakukan apa saja yang mereka kehendaki, dengan penuh
kebebasan dan kemerdekaan tanpa terikat dengan faktor-faktor luar lainnya. Dari
sinilah maka kelak manusia akan berhak mendapatkan pahala dan siksaan terkait
dengan apa yang selama ini telah diperbuatnya ketika hidup di dunia. Mu’tazilah
berargumen bahwasannya takdir baik dan buruknya seseorang adalah kembali kepada
dirinya sendiri. Namun mereka berpendapat bahwasannya usaha manusia hanya
terbatas kepada keinginan saja, sedangkan perbuatan
yang yang lainnya bersumber dari mereka sendiri.
b.
Sumber Pemikiran.
Sumber pemikiran Mu’tazilah banyak dipengaruhi
oleh filsafat Yunani dan agama-agama non Islam(Nasrani, Zoroaster). Itu
semua karena mereka membahas tentang Qadr(kemampuan manusia). Dan ada
pendapat yang mengatakan bahwasannya orang pertama kali yang membahas terkait
dengan Qadr manusia adalah Ma’bab a Juhani dan Ghailan al Dimasyqi, dan keduanya ini berasal dari
agama Nasrani, yang kemudian menganut agama Islam dan pada akhirnya kembali
lagi kepada agamanya(Nasrani).
c.
Baik dan Terbaik(al Shalah wa al Ashlah).
Adanya konsep Mu’tazilah terkait dengan keadilan
Allah dan menssucikannya, ini mengakibatkan munculnya konsep “al Shalah wa
al Ashlah”. Maksud dari konsep ini adalah Allah tidak mungkin melakukan
sesuatu yang tidak baik, serta tidak menguntungkan bagi umat-Nya. Munculnya
konsep tersebut dinilai dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk kebebasan
hamba(freedom) dalam segala aktifitasnya dalam segala aturan sampai
sampai menafikan adanya Qadha(keputusan ) dan Qadr(ketetapan).
Faktor lainnya adalah mereka menbatasi Allah, bahkan dalam hal kekuasan-Nya
dengan dalih keadilan, dan bahkan mereka mengharuskan supaya Allah berbuat baik[17].
Berkaitan dengan hal tersebut, Ibrahim al Nazam berkomentar, bahwasannya Allah tidak
mampu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan hamba-Nya. Allah tidak mampu
menambah siksa penghuni neraka walaupun hanya sebesar biji jagung, dan
sebaliknya Allah tidak mampu mengeluarkan umatnya dari surga, dan tidak mampu
memasukan orang yang bukan penduduk neraka kedalam neraka. Sebagaiman Allah
tidk mampu membutakan orang yang melihat, serta menyakitkan orang yang sehat,
dan memiskinkan orang yang kaya, karena Allah mengetahui masalah yang terbaik
sesuai dengan keadaan sekarang.[18]
Mu’tazilah mengambil konsep ini dari filosofi klasik yang menyebutkan bahwa
orang yang berlaku adil adalah orang yang tidak boleh menyimpan sesuatu yang
tidak dikerjakannya. Maka segala sesuatu yang dikerjakan dan diciptakan-Nya,
maka itulah kemampuan-Nya.
d.
Kebaikan dan Keburukan yang Rasional.
Dalam pandangan Mu’tazilah, supaya keadilan Allah
tidak berkurang dan balasan hambnya sesuai dengan apa yang dikerjakannya ketika
di dunia, maka mengetahuinya merupakan kewajiaban bagi akal, meskipun syari’at
tidak menjelaskannya[19]. Bahkan mereka telah berpendapat bahwasannya
akal harus menjadi standar dalam menentukan kebaikan dan keburukan. Karena
mengatahui kebaikan dan keburukan adalah sesuatu yang rasional[20].
Konsep inilah yang dinilai telah mengelincirkan mereka pada sikap meninggakan
syari’at, karena mereka menggantikan syari’at dengan akal, dan mereka
menentukan hukum dengan ketentuan akal.
Konsep inilah yang akhirnya menimbulkan konsep baru bahwa manusia yang
berakal mampu mengenal Allah melalui metode penelitian dan silogisme[21].
4. Konsep Janji dan Ancaman(al
Wa’d wa al Wa’id).
Konsep ini (al Wa’d wa al Wa’id).adalah
konsep yang dihasilkan dari konsep sebelumnya yaitu konsep tentang keadilan. Dalam
pandangan mereka seorang mukmin jika telah meninggal dalam keadaan taat kepada
Allah dan bertaubat, maka ia berhak untuk mendapatkan pahala. Namun apabila
mereka enggan bertobat, maka mereka kekal didalam neraka. Namun siksanya lebih
ringan bila dibangdinkan orang kafir. Allah tidak akan mengingkari janji-Nya,
karena Allah maha terpercaya, dan tidak akan merubah keputusan-Nya kecuali
setelah mereka bertaubat.
5. Konsep al Amar bil al
Ma’ruf wa al Nahi an al Munkar.
Dalam pandangan Mu’tazilah terkait dalam memahami
konsep al Amar bil al Ma’ruf wa al Nahi an al Munkar. Bahwasnnya mereka
memahami Ma’ruf(kebaikan) adalah sesuatu yang kebaikannya disepakati
oleh banyak orang. Sedangkan al Munkar(keburukan) adalah sesuatu yang
bertentangan dengan kebaikan yang telah disepakati oleh banyak orang. Konsep al
Amar bil al Ma’ruf wa al Nahi an al Munkar(mengajak kepada kebaikan dan
melarang kepada kemungkaran) pada dasarnya memang tidak dirubah oeh Mu’taziah,
hanya saja pemahaman dan penerapan mereka yang keliru. Karena konsep al Amar
bil al Ma’ruf wa al Nahi an al Munkar(mengajak kepada kebaikan dan melarang
kepada kemungkaran) merupakan inti dari akidah ajaran Islam.
Sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah.
Kaum Mu’tazilah dalam menyikapi Sunnah, mereka
berpedoman pada kaidah pokok mereka yaitu al Ushul al khamsah( 5 kaidah
pokok). Mereka menjadikannya dasar serta asas dalam berdebat dan berinteraksi
dengan al Qur’an dan Hadits. Dalam memahami al Qur’an apabila bertentangan dengan
kaidah al Ushul al Khamsah, maka mereka akan menakwilkannya dengan
memberikan interpretasi lain. Dan apabila yang menyalahi Hadits Nabi, maka
mereka akan mengingkarinya. Pandangan mereka terhadap Hadits Nabi adalah
seperti halnya orang yang mengingkari
akan keotentikan Hadits. Karena pada dasarnya mereka menggunakan akal dalam
menghukumi Hadits, bukannya Hadits yang menghukumi akal.
Dalam pandangan Mu’tazilah, mereka menmpatkan
akal pada level posisi paling atas dalam memahami dalail-dalil syar’i. Berbeda
jauh dengan uama’-ulama’ lain yang dimana mereka menenmpatkan akal pada posisi
terakhir setelah al Qur’an, Hadits, dan Ijma’ para Ulama’. Alasan yang dipakai
Mu’tazilah adalah dengan akal maka seseorang akan mengetahui fungsi dan
kedudukan al Quran dan Hadits. Memang tidak ada yang kontradiktif antar ulama’
terkait dengan peranan akal dalam memahami al Qur’an dan Hadits, akan tetapi
peranan akal tersebut harus proporsional dan tidak menyalahi aturan-aturan
syari’at.
Dalam hal ini Mu’tazilah memiiki pandangan terhadap
unsur-unsur yang terkait Hadits Nabi, diantaranya adalah:
1.
Pandangan terhadap Sahabat.
Berbeda jauh dengan apa yang telah menjadi
pandangan agama selama ini, Mu’tazilah memandang sahabat dengan melakukan
tuduhan yang kejih dan memalukan. Niat hati yang jelek lebih mendominasi
pikiran mereka, daripada memahami makna sahabat yang sebenarnya. Diantara
tuduhan mereka yang patut diwaspadai terhadap para sahabat adalah, ketika para
sahabat menerapkan Ijtihat ra’yi, maka meraka menganggap bahwa itu merupakan
suatu aib yang tidak bisa dima’afkan dan pelakunya harus mendapatkan balasan
dan menanggung akibatnya, dan mereka harus dihukum.
Diantara mereka yang melakukan tuduhan terhadap
para sahabat adaah Nizam al Mulk, dia banyak mengkritik para sahabat dan bahkan
amirul mukminin yang telah dijamin oleh Rosululah akan masuk surga tidak lepas
dari kritikannya. Diantara kritikan yang di lontarkan kepada Amirul Mukminin
Ustman bin Afwan, dan sekaigus menyebutnya sebagai aib adalah:
a. Tinakan Usman yang
memberikan tempat perlindungan kepada al Hakam bin Umaiyah, sementara ia adalah
orang yang diusir oleh Nabi.
b. Pengansingan Abu dzar al
Ghifari ke Zabadah, sementara dia adalah sahabat Nabi, dll.
Pada dasarnya apa yang telah dilakukan oleh
Mu’tazilah menurut IbnTaimiyah merupakan suatu kedustaan yang kejih dan harus
ditolak[22].
Bukti yang dapat melemahkan tuduhan-tuduhanmereka, diantaranya adalah Hadits
shohih yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhori dari riwayat Imran bin Husain
bahwa Nabi bersabdah, yang artinya: “sebaik-baik umatku adalah masaku,
kemudian orang-orang sesudahnya, dan
orang-orang berikutnya”[23].
Dan Ibn Hajar menjelaskan bahwa lafadz “al Qarni” itu adalah masa Nabi
masih hidup, dan itu adalah masa sahabat[24].
Bahkan Nabi telah bersabdah yang artinya sebagai berikut: “jangan
kalian maki sahabatku, karena jika salah seorang diantara kamu menginfakan
emasnya sebesar Gunung Uhud, maka tidak akan sampai satu mud pun dari bagian
mereka, bahkan separo pun tidak ada”[25].
2.
Menolak Hadits Mutawatir.
Meskipun Hadits Mutawatir masih diperdebatkan
dalam hal Hadits, akan tetapi orang yang mengingkarinya boleh dikatakan sebagai
orang fasiq[26].
Dalam pandangan Mu’tazilah, mendustakan Hadits Mutawatir diperboehkan karena kemungkinan
terbatasnya para periwayat dalam hal Hadits. Dan mereka beranggapan, bahwa menggingkari
Hadits adalah sesuatu yang hal yang lumrah dan tidak memimiliki konsekwensi, meskipun
itu merupakan Ijma’, dan mungkin juga menurut mereka umat bersepakat dalam
kesesatan[27].
Pengingkaran mereka terhadap Hadits Mutawatir dan
penetapan mereka supaya Hadits tersebut dapat diterima, diantaranya adalah:
adanya orang atau rawi yang meriwayatkan Hadits tersebut adalah orang yang
termasuk ahli Jannah. Dan ini jelas merupakan penolakan hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum syar’I, dan bisa dipastikan bahwasannya
mereka telah mencabut perintah-perintah dan larangan-larangan, serta telah
lepas sama sekali dan telah keluar dari koridor syari’at.
3.
Menolak Hadits Ahad.
Pada dasarnya Mu’tazilah telah mengingkari Hadits
Ahad, mereka menolak kalau dalam Hadits periwayatnya hanya satu rowi. Dalam hal
ini mereka menetapkan 3 syarat supaya Hadits Ahad dapat diterima, diantaranya
adalah:
a.
Hadits tersebut diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang
adil lainnya.
b.
Teks Hadits tersebut tidak bertentangan dengan al Qur’an.
c.
Dan Hadits tersebut telah diamalkan oleh sebagian sahabat.
Meskipun demikan, kadang mereka juga menerima Hadits Ahad, akan tetapi
dalam meriwayatkan, mereka tidak menggunakan redaksi yang pasti (Syighat al
Jazm), akan tetapi mereka menggunakan redaksi yang lemah(Syiyahgh al
Tamrid)[28].
4.
Meragukan Dan Menolak Hadits.
Dalam memahami Hadits Nabi, sebagaimana yang
telah dibahas pada sikap mereka terhadap sunah. Dimana mereka sangat
mengunggulkan “Ushul al Khamsah” sebagai dasar dalam memahami al Qur’an
dan Hadits Nabi, dimana mereka
menjadikan akalnya sebagai cara untuk menentang Allah dan Rasulnya[29].
Puncak dari penolakan mereka terhadap Hadits Nabi adalah mereka tidak menerima
Hadits shohih. Seperti mereka mengingkari adanya hadits tentang Syafa’at (pertolongan
Nabi kepada para umatnya kelak di hari Qiyamat), dan Hadits tentang terbelahnya
bulan.
5.
Memalsukan Hadits.
Sebagaimana disebutkan dalam pendahuluan kitab
Shohih Muslim, bahwasannya Amr bin Ubaid pernah memalsukan Hadits[30].
Yaitu Hadits yang disandarkan kepada Hasan al Basri tentang orang yang mabuk sebab minum anggur tidak dicambuk. Dan
Abu Ayub pernah ditanya tentang Hadits ini, kemudian beliau menjawab
bahwasannya dia(Mu’tazilah telah bohong), saya menedengar bahwasannya Hasan al
Basri berkata bahwa orang yang mabuk karena minun anggur maka ia akan dicambuk[31].
Dari sini maka bisa kita mengetahui sikap mereka
terkait dengat Hadits. Dimana mereka telah banyak mengkritik para sahabat,
mengingkari Hadits Mutawatir,menolak Hadits Ahad, serta menagingkari dan
meragukan banyak Hadits, dan yang terakhir mereka akan memalsukan Hadits untuk
memperkuat pendapatnya.
Sikap Mu’tazilah terhadap Ijma’ dan Qiyas.
Dalam hal ini, mereka telah menolak Ijma’ dan
Qiyas secara bersamann, kerena menurut mereka Hujah itu terbatas hanya kepada
pemimpin yang maksum(terjaga dari
melakukan dosa besar). Disisi lain pandangan Mu’tazilah terpecah mengenai
masalah Qiyas, tetapi mereka hampir semuanya menolak Ijma’ dan disisi lain
mereka ada yang menerima Ijma’ berdasarkan Hadits Nabi “Umatku tidak akan
sepakat dalam kesesatan[32]”.
Dalam hal Ijma’ ini, mereka memahami bahwa Ijma’ tidak berkaitan dengan jumlah, akan
tetapi berkaitan dengan kadar keimanan seseorang hamba kepada Allah dan
konsistensinya pada jalan yang lurus. Dengan demikian, ijma’ dalam hal ini dapat
dilakukan walaupun hanya satu orang. Mereka berusaha menjastifikasi pendapatnya
pada Hadits yang disandarkan kepada Ibn Mas’ud. “Jumlah adalah yang apa yang
sesuai dengan taat kepada Allah, meskipun hanya satu orang”[33].
Bentuk-Bentuk Penyimpangan Mu’tazilah Terhadap Sunnah.
a. Wajib menegetahui Allah
dengan rasio.
Salah seorang Mu’tazilah Abd al Salam bin
Muhammad bin Abdul Wahhab al Jubba’I bin Abi Ali al Jubba’I, dia berpendapat
bahwasannnya seorang yang tidak mengetahui Allah dengan rasio, maka ia kafir.
b. Pengingkaran Melihat
Allah di Hari Kiamat.
Kaum Mu’taziah telah bersepakat bahwa Allah
adalah tidak berjisim dan tidak berdzat, dan indra
apapun tidak akan dapat melihatnya baik dia dunia maupun kelak di akhirat. Klimaknsnya
mereka mengkafirkan orang yang berpandangan
dapat melihat Allah seperti orang tersebut melihat pandangan yang ada dihadapannya,
atau berlawanan arah dengannya, atau ia menempat ditempat tertentu bukan
ditempat lainnya[34].
Megenai melihat Allah dengan mata hati, dalam
Mu’tazilah terjadi perbedaan, satu sisi
berpendapat bahwa kita bisa melihat Allah dengan mata hati, akan tetapi disisi
lain ada yang menafikannya. Dalam mengukuhkan pendapatnya, mereka menolak
kemungkinan dapat melihat Allah dengan mata teanjang, dengan tidak menerima
hadaits-hadits Ahad, dan hadits Ahad dapat diterima apabila ada pengalaman
sahabat[35].
Adapun dalam menyikapi al Qur’an yang menerangkan
bahwa Allah dapat dilihat, maka mereka mena’wilaknnya dari makna yang sebenarnya.
Seperti pandangan al Zma’syari dalam memahami QS: al Qiyamah: 23.
4n<Î)
$pkÍh5u
×otÏß$tR
ÇËÌÈ
23. kepada Tuhannyalah
mereka melihat.
Zama’syari dalam memahami kata “otÏß$tR”(melihat)
adaah “منظرة” (menunggu). Orang-orang beriman yakni mereka yang sedang
menunggu hari tersebut. Dia menjelaskan bahwa didahulukannya objek memberikan arti khusus, yakni wajah-wajah
orang-orang beriman yang khusus menanati Tuhannya, dan bukan menanti yang lainnya.
Dan sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa di padang Makhsyar kita
menunggu banyak hal, yang tak bisa
diprediksikan dan tak terhitung jumahnya. Dengan demikian kekhususan mereka menunggu
Allah adalah sesuatu hal yang mustahil.
c.
Pengingkaran Muktazilah Terhadap Syafaat Rasulullah SAW.
Kalau dalam golongan Ahlu Sunnah telah diketahui
adanya 4 syafaat yaitu:1.Syafaat yang terbebas dari kengerian hari Qiyamat (hanya
diberikan kepada Nabi Muhammad SAW). 2.Syafaat kepada manusia yang masuk surga
tanpa dihisab(perhitungan). 3.Syafaat untuk menaikan derajat ke surga.
4.Syafaat yang mengeluarkan manusia dari neraka, mereka masuk neraka karena
dosa-dosanya(diberikan oleh Nabi SAW).
Untuk Syafaat yang ke 4, kaum Mu’tazilah telah mengingkarinya. Dimana
mereka tidak mempercayai adanya syafa’at dari Nabi Muhammad SAW. mereka
menyandarkan pemikirannya dengan memahami ayat-ayat Mutasyabihat, seperti dalam
QS: al Mudatsir:48.
$yJsù
óOßgãèxÿZs?
èpyè»xÿx©
tûüÏèÏÿ»¤±9$#
ÇÍÑÈ
48. Maka tidak berguna lagi
bagi mereka syafa'at dari orang-orang yang memberikan syafa'at.
d.
Pengingkaran Mu’tazilah Terhadap Mu’jizat Rasulallah SAW.
Dalam memahami tentang Mu’jizat Nabi Muhammad
SAW, kaum Mu’tazilah berbeda pendapat. Satu sisi mengatakan bahwa kenabian
merupakan pahala dan balasan atas amal shalih yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, sehingga Allah berhak memberikan balasan atas amal baik tersebut
dengan kenabian. Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah Abbad bin
Sulaiman. Dan disisi lain menyatakan bahwa kenabian bukanlah balasan dan pahala[36],
melainkan pemberian Allah sejak dini. Diantara mereka yang berpendapat demikian
adalah Abu Ali al Juba’i[37].
Atas dasar inilah maka mereka sepakat bahwasannya Hujjah telah
ditetapkan dengan akal, dan bukan dengan kenabian[38].
e.
Sikap Mu’tazilah Terhadap Hukuman Bagi Peminum Khamar dan Anggur.
Sebagian orang Mu’tazilah berpegang teguh dengan
berpendapat bahwa Nabi tidak mewajibkan adanya hukum bagi orang yang meminun
khamar(menengguk minuman keras). Dan hal ini bertentangan dengan pendapat
mayoritas Ulama’ ahli Fiqh, bahwa mereka telah bersepakat bahwasannya seseorang
yang telah minum anggur atau minuman keras, dengan hukuma cambuk 80 kali, tidak
peduli minuman tersebut memabukan ataupun tidak[39].
f.
Sikap Mu’tazilah Terhadap Hukuman bagi Pencuri.
Diantara permasalahan yang diingkari oleh golongan
Mu’tazilah diantaranya adalah hukuman potong tangan bagi pencuri. Dimana mereka
menilai bahwa orang yang melakukan pencurian tidak harus dipotong tangannya,
namun mereka cukup dianggab sebagai orang yang fasik yang kelak akan kekal
dineraka. Dan diantarayang berpendapat demikian adalah:Abu al Hudzail al ‘Allaf
dan al Jubba’i.
Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan ayat al Qur’an yang telah
dengan jelas menginformasikan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian. Sebagaimana
disebutkan dalam QS: al Ma’idah:38.
ä-Í$¡¡9$#ur
èps%Í$¡¡9$#ur
(#þqãèsÜø%$$sù
$yJßgtÏ÷r&
Lä!#ty_
$yJÎ/
$t7|¡x.
Wx»s3tR
z`ÏiB
«!$#
3
ª!$#ur
îÍtã
ÒOÅ3ym
ÇÌÑÈ
38. laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
Dan ayat al Qur’an diatas telah diperinci oleh Hadits Nabi terkait
dengan batasan barang yang dicuri dengan mengharuskannya dijatuhi hukumam
potong tangan, serta batasan tangan yang boleh dipotong. Dengan demikian,
mereka telah menyalahi dan menghancurkan sendi-sendi syari’at Islam. Dan mereka
telah menyelewengkan hukum-hukum Allah, serta menggunakan hawa nafsu mereka
untuk menilai terhadap apa-apa yang mereka sampaikan dan dakwakan.
g.
Mengekalkan Pelaku Dosa Besar Dalam Neraka.
Dalam memahami pelaku dosar besar, mereka telah
menetapkan bahwa mereka pelaku dosa besar telah berada di dua tempat(al
Manzilah Bayin al Manzilatain). Dan ketika dikhirat kelak, mereka akan
berada di Neraka selamanya, selama mereka belum bertobat. Namun siksaan mereka
lebih ringan dari pada siksaan orang kafir[40].
Diantara mereka ada yang membedakan antara pelaku dosa besar, dan pelaku dosa
kecil. Dosa besar yaitu dosa yang disertai dengan adanya ancaman, sedangkan
dosa kecil tidak disertai dengan adanya ancaman.
h.
Pengingkaran Terhadap Siksa Kubur.
Siksa kubur merupakan masalah yang telah
ditetapkan kebenarannya oleh sunah. Akan tetapi Mu’tazilahmengingkarinya.
Seanjutnya al Qadhi Abdul Jabbar mulai memilah Mu’tazilah menjadi 2 bagian.
Satu bagian mereka mengingkari adanya siksa kubur, dan satu bagian lagi
membenarkan adanya siksa kubur.
Diantara mereka yang mengingkari adanya siksa kubur adalah Dharar bin
Amr(salah seorang pengikut Wasil bin Atha’). Dia menuturkan bahwasanya orang
yang telah dikebumikan, maka ia sudah tidak bisa mendengar, melihat, tidak
merasakan, dan tidak merasa enak. Lalu bagaimana dia mau disiksa seteah mati?
Selanjutnya ia berkata “kami telah mengingkari keberadaan siksa kubur dalam
setiap keadaan”[41].
Pemikiran Mu’tazilah yang Tidak Logis dan Menyalahi Sunah.
Sejarah telah mencatat bahwasannya Mu’tazilah adaah
golongan yang selalu mengagungkan akalnya dalam memahami al Qur’an dan Hadits.
Kerancauan pemikiran mereka telah banyak
digambarkan oleh beberapa permaslahan, diantaranya adalah:
1.
Pembahasan tentang orang mukmin yang kafir setelah tangannya dipotong,
dan orang kafir yang mukmin setelah tangannya dipotong[42].
2.
Pembahasan mengenai penggantian wujud binatang, dalam haini 5 pendapat
dianataranya adalaH:
Sebagian menyatakan bahwa Allah akan mengganti
wujud binatang dalam bentuk lain, dihari pembalasan. Kemudian Allah akan
memberikannya kenikmatan di surga dan menggantinya dengan bentuk yang indah.
Nikmat yang diperolehnyapun tidak akan putus.
a.
Menurut Ja’far bin Harb dan al Iskafi binatang-binatang seperti ular,
kalajengking, singa, dan binatang –binatang buas lainnya kemungkinan bentuk
mereka tidak akan berubah dihari pembalasan kelak, dan binatang-binatang
tersebut kelak akan dimasukan kedalam neraka jahannam untuk menyiksa
orang-orang kafir.tetapi mereka tidak merasakan panasnya neraka jahannam
sebagaimana yang dirasakan oleh penjega neraka jahannam.
b.
Mereka juga membehas mengenai penerapan hukum Qishahsh antar
binatang[43].
c.
Mereka menyatakan bahwa beberapa jenis binatang adalah umat, dan
mereka mempunyai rasul masing-masing[44].
d.
Sebagian mereka ada yang membahas mengenai siksaaan bagi anak-anak
kecil, mereka telah bersepakat bahwa Allah akan menyiksa mereka khususnya yang
telah mengingkjak masa dewasa. Namaun segaian diantara mereka ada yang berpendapat
bahwa Allah tidak akan menyiksa mereka di akhirat[45].
e.
Dan pendapat mereka yang paling aneh adalah sebagian dari mereka
pernah menyatakan bahwa mereka adalah golongan al Khatibiyah dan al Haditsiyah
yang menyatakan bahwa Isa adalah Tuhan[46].
f.
Pemikiran mereka tentang keharusan Allah berbuat baik dan terbaik.
g.
Mereka telah melarang penggunaan akal dalam berfatwa.
A.
Sebab-Sebab Hilangnya Kaum Mu’tazilah.
Diantara sebab-sebab yang mendorong kaum
Mu’tazilah dalam melakukan penyimpangan-penyimpangan sangat banyak dan beragam
diantaranya adalah berkaitan dengan karatristik Mazhab mereka, metode
penerapannya, dan penyebaran Mazhab tersebut. Dan sebagian lainnya adalah
brkaitan dengan upaya mencari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh kaum Ahli
sunnah, diantaranya adalah:
1.
Menerapkan keyakinan mereka trentang Iman.
2.
Banyak terjadi perselisihan pendapat.
Jika kaum Mu’tazilah sering kali menempatkan akalnya
dalam memahami al Qur’an dan Hadits. Maka kita bisa melihat bahwa pada
kenyataannya hasil pemikiran akal dan pemahaman itu sering kai berbeda, dan
terjadinya pertentangan. Dan yang lebih Ekstrim karena
pertentangan-pertentangan tersebut berkaitan dengan masaah-masalah akidah.
Bentuk-bentuk perselisihan dan pertentangan itu
banyak sekali kita temukan dalam karya-karya mereka. Maka ketika suatu
terungkap boroknya, maka pendapat yang lain pun akan segera ketahuan cacatnya.
Sebagai contoh Bisyr bin al Mu’tamar menyusun buku “al Radd ‘ala al Dharar”
sebagai bentuk penolakan terhadap al Dharar bin ‘Amar al Mu’tazili[47].
Dan bahkan diantara golongan mereka saling mengkafirkan, Abu Hudzail al Allaf,
al Nidzam, dan para pemuka Mu’tazilah lainnya secara silih berganti mereka
saling mengkafirkan satu dengan yang lainnya[48].
3.
Pemikiran Kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan Islam.
Sering kali kita temukan pemikiran-pemikiran
Mu’tazilah yang bertentangan dengan Islam, kebanyakan pemikiran mereka
dipengaruhi oleh filsaat skripturalisme Yunani. Diantara pemikiran
mereka yang bertentangan dengan Islam adalah mereka meniadakan sifat-sifat
Allah,(al Nufat), mereka juga dikatakan sebagai kaum yang tidak mempercayai adanya taqdir(al
Qadariyah), mereka menganggap al Qur’an adalah makhluk, dan mereka tidak
mempercayai adanya ru’yah(melihat Allah kelak di hari qiyamat). Bahkan
sebagian dari mereka ada yang meragukan tentang adanya sesuatu yang ditangkap
oleh panca indra.
4.
Perlawanan Terhadap Kaum Mu’tazilah Secara Teoritis.
Diantara golongan yang melakukan perlawanan
terhada Mu’tazilah, mereka adalah
golongan Ahlu Sunnah. Mereka melakukan perlawanan dengan tulisan-tulisan yang
menyingkap serta membongkar kebusukan-kebusukan Mu’tazilah, yang dinilai telah
keluar dari Syari’at dan Ijma’kaum Muslimin. Dalam tulisannya mereka juga
menginformasikan seputar pertentangan dikalangan Mu’tazilah dan kebodohan
mereka, sehingga diharapkan kaum Muslimin dapat mengetahui hakikat mereka dan
menjauhi mereka[49].
Keutamaan-Keutamaan Kaum Mu’tazilah.
Meskipun sering kita temukan
kejanggalan-kejanggalan pemikiran kaum Mu’tazilah, bahkan mereka telah dicap
sebagai golongan yang telah keluar dari jalan Islam karena melakukan
penyimpangan-penyimpangan. Namun terlepas dari itu semua, ada sisi positif yang
bisa kita ambil dari Mu’tazilah. Misalnya mereka para pemuka Mu’taziah yang konsisten
menerapkan konsep Amr Ma’ruf Nahi Mungkar(perintah kepada kebaikan dan
melarang terhadap kemungkaran). Selain itu, Wasil bin Atha’ pernah mengasingkan
Basysyar bin Bard dari Bashrah ke Kharan. Dia tidak berani kembali ke Bashrah
sebelum Wasil meninggal, sebenarnya dia telah diancam hukuman mati, tetapi
Wasil tidak mau membunuhnya. Sikap Wasil yang seperti ini jelas kontras dengan
pemuka Mu’tazilah pada umumnya yang cenderung membolehkan adanya hukuman mati.
Kelebihan lain dari
kaum Mu’tazilah, mereka mempunyai etos kerja dalam rangka berdakwah dengan
mengirim para da’i-da’i mereka kepenjuru dunia untuk menyebarkan ajarannya[50].
Para pemuka Mu’tazilah ikut serta dalam penjelajanan mereka keseluruh dunia,
mereka mengadakan forum-forum diskusi yang digunakan sebagai ajang dalam mendebat
orang-orang atheis, dan para oposan, serta menolak paham Khawarij dan Murji’ah[51].
Dalam berdebat, mereka menggunakan metode filsafat agar keserupaan dan keraguan
terhadap Islam dapat terpecahkan. Dan mereka sangat menguasai metode tersebut,
dikarenakan mereka sering berkecimpung dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan
pemikiran-pemikiran keagamaan lainnya.
Selain itu, mereka
juga menggunakan metode tulis-menuis sebagai wahana untuk menopang dan melestarikan
Mazhab mereka. Dalam berfikir, mereka melepaskan dalil-dalil syar’i. karena
mereka berkeyakinan bahwa akal sebagai dalil yang utama. Dengan akal mereka
berusaha untuk mengetahui ayat-ayat yang sulit ditangkap maksudnya. Dengan
demikian memang benar apa yan telah disampaikan oleh Dr. Musthafa al Shawi al
Jauni. “Meskipun awal munculnya kaum
Mu’tazilah merupakan upaya untuk membela Islam dari musuh-musuhnya, namun pada
akhirnya mereka terjebak pada sikap fanatisme madzhab yang berlebihan”[52].
Penutup.
Kebebasan berfikir seperti yang telah
diaplikasikan oleh kaum Mu’tazilah memmpunyai indikasi besar yang tak
terbendung dalam dunia islam. Kebebasan berfikir yang dipraktekan oleh kaum Mu’tazilah,
mengakibatkan sering kali Mu’tazilah dicap sebagai “kaum
Rasionalis Islam”. Dalam menyikapi kitab suci umat Islam misalnya, Mu’tazilah
sering kali bertentangan dengan umat Islam yang lain. Kebebasan mereka dalam berfikir
bukanlan inspirasi dari agama Islam secara murni. Akan tetapi banyak hal yang telah
mempengaruhi pola berpikir mereka. Pada dasarnya mereka telah banyak
terpengaruh oleh aliran-aliran filsafat yang telah dikembangkan kaum filosofis,
serta ajaran agama non islam, (nasrani dan Yahudi).
Implikasi terbesar
dari penngunaan akal secara berlebihan mengakibatkan mereka terjembat dalam
jurang kebrorokan moral dan etika, karena mereka telah menempatkan akalnya
paada lefel pertama, beda halnya dengan kaum Muslim yang lain, mereka
menempatkan akal pada lefel terakhir, yaitu setelah al Qur’an, Hadits, dan
Ijtihat para sahabata dan para Ulama’ slafus shalih. Sepertihalnya pembahasan
dalam buku tersebut, banyak fakta-fakta yang diungkap oleh penulis dalam
menelanjangi Mu’tazilah, terkait dengan pemikiranya yang Liberal. Kita boleh
saja berasumsi demikian, akan tetapi kita juga harus melihat sisi positif dan
negatifnya terkait dengan asumsi yang kita keluarkan dalam rangka menjas Mu’tazilah
dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Selain itu tolak ukur
kebenaran seseorang pada hakikatnya tidak ada yang mengetahui, akan tetapi kita
semua hanya berusaha dengan segala upaya untuk mendampingi kebenaran tersebut. Dan
yang terpenting, dalam mensejajarkan kebenaran yang kita ketahui dengan
kebenaran orang lain, kita musti melihat patokan ataupun standar yang dijadikan
panutan dalam memahami sebuah kebenaran. Dengan demikian kita akan mengetahui
sejauh mana kita dapat mensejajarkan kebenaran kita dengan standar kebenaran
yang telah ditetapkan.
Yang patut untuk
dikritisi dari buku tersebut diantaranya adalah munculnya subjektifitas penulis
dalam menuliskan aliran yang mungkin berbeda dengan madzhabnya, sehingga
subjektifitas untuk membela madzhabnya akan kita temukan dalam tulisan-tulisan
penulis. Selain itu, dalam buku tersebut juga telah kita temukan adanya rasa ketidaksepakatan pendapat terhadap aliran yang
ditulisnya, yang akhirnya menjadikan aliran yang telah ditulisnya menjadi diam
tak dapat berkata apa-apa. Selain itu, penulis juga telah banyak menggunakan
sumber yang tidak langsung(primer) dari aliran yang dituliskannya.
Itulah sekedar wacana
yang telah berhasil penulis rangkum dari kitab “PEMIKIRAN HADITSMU’TAZILAH,
Karya Abu lubabah Husain, dan tentunya apa yang telah penulis sampaikan masih
jauh dari sempurna. Maka dari itu,penuis berharap kritik dan saran yang
membangun dari pembaca yang budiman demi terwujudnya tulisan yang lebih baik
lagi. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih kepada rekan-rekan kajian
“Majlis Galau Tafsir Hadits”, semoga tulisan yang singkat ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan para pembaca sekalian. Semoga dengan selesainya tulisan
ini menjadi titik awal penulis dalam memasuki gerbang Intelektul pemikiran
islam, dan sekaligus menjadi penyemangat penulis untuk terus menuis dan
berkarya. Amien…..
Jakarta, 21 Mei 2012.
Penulis
Moh
Khoiri
[1] Dipresentasikan dalam diskusi mingguan “Majlis Galau Tafsir Hadits”, 21 Mei 2012. oleh
Moh Khoiri, penulis adalah Mahasisiwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , Fak
Ushuuddin, Jurusan Tafsir Hadits, semester 4.
[2] Fadhl al I’tizal, hal 12 menurut C.A Nallino,
elaborasi permasalahan diatas erat kaitannya dengan sebab-sebab penamaan mereka.
[3] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH ,
diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 6
[4] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH ,
diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 12.
[5] Mewarisi bumi Maksudnya:
setelah alam semesta ini hancur semuanya, Maka Allah-lah yang kekal.
[6]Perkataan ini terjadi
antara mereka sendiri yang timbulnya karena ilham dari Allah.
[7] Fajr al Islam, hal 296.
[8] Mizan al I’tidal, 3/275. Fadhl al I’tizal hal 17.
[9] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH ,
diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 19-23.
[10] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH ,
diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 19-23.
[11] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH ,
diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 19
[12] Adab al Mu’tazilah, hal 122.
[13] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH ,
diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 29.
[14] Adab al Mu’tazilah, hal 123.
[15] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH ,
diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 34.
[16]
Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH
, diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 35.
[17] Fathul Bari, 14/286.
[18] Al Farq baiyna a Firaq, hal133.
[19] Fajr Islam, hal 198.
[20] Al Mial wa al Nihal, 1/45dan 81.
[21] Ibid 1/58.
[22] Al Ba’it’s a Hatsits, hal 182.
[23] Fath al Bari, 8/5 dan 8. A Kifayah ha, 94.
[24] Ibid hal 8/6.
[25] Maksud dari Hadits diatas adalah, sekiranya salahs
eorang diantara kamu menginfakan emes sebesar gunung Uhud, maka iatidakakan
memdapatkan keutamaan dan pahala yang didapat oleh para sahabat karena
menginfakan satu mud makannannya atau separuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh
imam al Bukhari dalam kitab Jami’ a shahih dalam bab tentang keutamaan para
sahabat. Lihat juga Fath al Bari, 8/33. Dan Shahih Muslim 4/1962. Sunan Abi
Daud, 2/512. Al Taqyid wa al Idhah, hal 301.
[26] Muhadoroh Ulum al Hadits hal 43.
[27] al Farq baiyna al Firaq hal 228.
[28] Fadhl al
I’tizal, hal 71.
[29] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH ,
diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 82.
[30] Muqadimah Sohih Muslim, 1 hal 22.
[31] Ibid, 1/23.
[32]Jami’ al Bayan al Ilm wa Fadhilihi, 2/32.
[33] Fadhl al I’tizal, hal 138.
[34] Maqalah al Islamiyyin, 1/238.
[35] Fathu al Bari 17/195.
[36] Mizan al I’tidal, 3/277.
[37] Ibid hal 1/294.
[38]Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH ,
diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 113.
[39] Risalah Abu Zaid al Qoyroiwani, hal 440.
[40] al Milal wa al Nihal, 1/45, 48, 70, dan 80.
[41] Fadhl al I’tizal, ha 202.
[42] Maqalat al Islamiyyin, 1/317.
[43] Maqalat al Islamiyyin, 1/319-320.
[44] Al Milal wa al Nihal, 1/63.
[45] Maqalat al Islamiyyin, 1/319.
[46] Al Milal wa al Nihal, 1/60.
[47] Maqalat al Islamiyin, 1/246. Catatan kaki no. 2 dan
1/339. Pada catatan kaki no. 1.
[48] Al farq Baiyna al Firaq, hal 166.
[49] Abu Lubabah Husain PEMIKIRAN HADITS MU’TAZILAH ,
diterjemahkan oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 hal 113.
[50] Adad al Mu’tazilah, 150.
[51] Fadhl al I’tizal, hal 165. Mizan al I’tidal, 4/339.
Syadzarat al dahab, 3/202. Al A’lam, 9/122.
[52] Majalah al Arabi edisi 122, hal 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar