Seperti definisi-definisi yang lainnya, setiap kali menjelaskan atau menerangkan seputar pengeertian sebuah ilmu ataupun definisi yang lainnya, penulis terlebih dahulu menelaah sepuatar kajian yang ingin dijelaskannya, baik itu seputar pengertian yang ditinjau dari arti bahasa(etimologi), maupun ditinjau dari arti istilahnya(terminologi), ataupun dengan mengungkapkan berbagai pendapat tokoh-tokoh seputar permasalahan yang ingin dijelaskannya. Dari sini, penulis mencoba menelaah seputar permasalahan yang akan dijelaskan, dilihat dari arti bahasa(etimologi), dan istilah(terminologi).
Dimulai dari pembahasan yang pertama yaitu Metode, secara bahasa(etimologi), Metode berasal dari kata Yunani, yaitu “Methodos”, sedangkan bangsa Arab menerjemahkannya dengan kata “tharikat dan Manhaj”. Dan kalau kita artikan dalam bahasa Indonesia, Metode merupakan sebuah cara yang teratur, dan cara befikir yang baik untuk mencapai sebuah maksud dalam Ilmu pengetahuan dan sebagainya, atau bisa juga diartikan sebagai sebuah cara yang bersistem guna untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mendapatkan sesuatu yang ditentukan. Pengertian Metode secara umum dapat digunakan untuk berbagai objek, baik yang berhububungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, ataupun yang menyangkut pekerjaan fisik. Jadi bisa ketahui bersama bahwa Metode merupakan sebuah sarana yang teramat penting guna untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kaitannya dengan studi penafsiran Al qur’an, maka sebuah Metode mutlak dibutuhkan. Yakni sebuah cara berfikir yang baik, dan teratur guna untuk mencapai pemahaman yang baik dan benar tentang apa-apa yang dimaksudkan Allah SWT. lewat ayat-ayatnya yang terhimpun dalam kitab suci Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Definisi seperti ini, sekaligus menggambarkan bahwa sebuah metode tafsir Al Qur’an berisikan seperangkat kaidah dan aturan-aturan yang harus ditaati ketika menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Dan bisa dipastikan, ketika seseorang menafsirkan Al Qur’an tanpa menggunakan Metode tafsir Al Qur’an, maka penafsirannya pasti akan keliru. Dalam Ilmu tafsir, corak penafsiran yang seperti ini dinamakan dengan “Tafsir Bi al ra’yi al al mahdh”(penafsiran berdasarkan pemikirannya semata).
Dan berkaitan dengan penafsiran dengan pemikirannya semata(“Tafsir Bi al ra’yi al al mahdh”), banyak Ulama’ yang tidak memperbolehkannya, bahkan menolak menafsirkan dengan corak tafsir yang sepeti ini, dan mereka menyebutnya sebagai “al-tafsir bi al-hawa”, atau tafsir atas dasar hawa nafsu. Karena dikhawatirkan, tafsir yang dihasilkannya akan bergeser dari makna yang sebernarnya, dan disamping akan menimbulkan makna-makna yang jauh dari makna yang sebenarnya, penafsiran seperti ini juga telah dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan Ibnu Taymiyah berpendapat bahwai corak tafsir seperti ini adalah haram hukunya. Dan itulah sebabnya, mengepa Tafsir dengan pemikirannya sendiri (“Tafsir Bi al ra’yi al al mahdh”), dilarang, bakhan di haramkan.
Disamping banyak Ulama’ yang menentang corak penafsiran semacam ini, bahkan Nabi Muhammad sendiri telah melarangnya, dan bahkan Ibnu Taymiyah sendiri telah mengharamkan corak tafsir model ini. Akan tetapi, disisi lain masih banyak Ulama’ yang memperbolehkan tafsir semacam ini, asalkan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, dan penerimaan mereka mengenai corak tafsir senacam ini karena didasakan atas ayat Al Qur’an itu sendiri, yang menurut mereka, memang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandungan dari ayat-ayat Al Qur’an. Dan diantara ayat-ayat Al Qur’an yang mendukung kebolehan corak tafsir semacam ini, diantaranya adalah: (Qs: Muhammad/47:24). Yang artinya sebagai berikut:”Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci”.dan (Qs: Shad/38:29). Yang artinya sebagai berikut:” Ini adalah kitab yang kami tueunkan kepadasmu, penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang mempunyai pikiran dapat memperoleh darinya”.
Dan yang musti di ketahui disini adalah, meskipun mufasir dalam corak ini melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran sendiri, namun ia juga tidaklah bebas mutlak, mereka juga harus bertolak pemahaman terhadap nilai dan kandungan Al Qur’an dan sunah Nabi SAW.
Dan pembahasan yang selanjutnya adalah pengertian metodologi. Dimana pengetian dari metodologi adalah tidak lepas dari pengertian metode, karena antara kedua kata ini memiliki keterkaitan makna yang saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya. Artinya ketika mendefinisikan seputar metode, pastinya kita bisa mengetahui namanya Metodologi Tafsir. Secara definif, Meetodologi Tafsir artinya pembahasan ilmiyah tentang metode-metode penafsiran Al qur’an, atau metode-metode yang digunakan dalam menafsirkan Al Qur’an. Dari pengertian ini, maka kita bisa ketahui bahwa metode adalah cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an, sementara Metodologi tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang cara penafsiran Al Qur’an. Secara sederhan kita bisa ketahui bahwa Metode adalah merupakan cara-cara berfikir yang baik dan benar supaya dapat menghasilkan kongklusi benar dan jauh dari kesalahan, sedangkan Metodologi adalah ilmu yang membahas tentang cara-cara atau metode-meode tersebut.
Setelah mengetahui pengertian dari Metode dan Metodologi seperti yang telah disebutkan diatas, pembahasan yang selanjutnya yaitu tentang Sistem. Dimana, sistem ini juga memiliki keterkaitan makna antara Metode dan Metodologi. Secara definitif, sistem berasal dari bahasa latin yaitu “systema”dan bahasa Yunani yaitu “sustema“, yang artinya suatu kesatuan yang terdiri atas komponen atau elemen yang dihubungkan bersama, untuk mendapatkan aliran informasi, materi atau energi. Sedangkan menurut Wikipedia Indonesia pengertian sistem yang paling umum adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan diantara satu dengan yang lainnya.
Setelah mengetahui makna mulai dari Metode, Metodologi, dan Sistem. Maka, Pembahasan yang selanjutnya adalah korelasi atau hubungan antara Metode, Metodologi, dan Sistem dengan Tafsir. Maka dapat kita simpulkan, bahwasannya seseorang Mufasir yang ingin melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur’an, hendaknya mempelajari dan menggunakan metode-metode(kaidah dan cara yang teratur serta berfikir baik), dan tersisitem atau tersusun, yang harus dimiliki oleh seorang Mufassir, guna untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud oleh Allah SWT. Yang termuat dalam Al Qur’an. Dan ilmu untuk menelaah metode-metode terdebut dinamakan Metodologi Tafsir. Dan apabila seorang Mufasir yang menafsirkan Al Qur’an tanpa menerapkan metode, maka bisa dipastikan, bahwa penafsirannya akan keliru(kh).
AlhamduliLLah,,,, barakaLLah fiikum
BalasHapus