Menikah sering kali dikaitkan dengan
jalan legal untuk mmemenuhi hajat biologis manusia, lebih dari sekedar itu
pernikahan adalah institusi agung untuk mengikat dua insan manusia yang
berlainan jenis dalam satu ikatan keluarga. Kisah pertemuan antara 2 insan
manusia yang telah lebih dulu di perlihatkan oleh Nabi Adam as. Dan Sayidah
Hawa, keduanya diliputi rasa ingin memuaskan nafsu biologisnya, yang pada
klimaksnya diturunkannya mereka berdua dari surga.
Kala
itu, para malaikat berkata “jangan dulu hai Adam, sebelum engkau membayar
maharnya(mas kawin) kepada siti Hawa”, “apa maharnya?” Tanya Nabi Adam,
kemudian para maialikat pun menjawab “maharnya adalah engkau membaca sholawat
untuk Nabi Muhammad saw”. Kemudian Adam membayar maharnya sesuai yang telah
disebutkan oleh para malaikat, dan akad nikah pun terjadi. Pada saat itu
malaikat Jibril bertindah sebagi pembaca khutbah nikah, lalu Allah menikahkan
Adam dengan siti Hawa. Momentum besar ini telah disaksikan para malaikat antara
lain; Israfil, Mikail, dan malikat yang dekat dengan Allah swt.
Akad
nikah seperti itulah yang saat ini telah dilangengkan oleh umat manusia serta
disyari’atkan dalam agama islam. Ketentuan seperti ini berlaku pada kalangan
sunni, yautu; adanya calon mempelai(laki-laki dan perempuan), akad nikah yang
dilakukan oleh wali atau wakilnya, serta adanya 2 orang saksi dan mahar atau mas kawin. Berasumsi
pada pengertian diatas, maka wajar apabila pernikahan dikatakan sebagai gerbang
untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia.
Tapi,
lebih dari itu menurut KH. Sahal Mahfudz(rais Am PBNU), “pernikahan bukan
hanya sarana untuk menyalurkan nafsu biologis manusia secara halal dalam
bingkai keluarga. Karenanya, menikah merupakan salah satu bentuk aktualisasi
dari sunah rasul yang menjadi nilai ibadah bagi mereka yang mengerjakannya. Disini,
menyetubuhi istri secara halal yang dibingkai dalam hubungan keluarga adalah
amalan yang mendapatkan pahala”. Tulis KH Sahal dalam bukunya “pesantren
mencari makna”.
Bahkan
Hujatul Islam Imam al Ghazali menyebutkan bahwa “satu-satunya nikmat surga
terbesar yang telah diturunkan oleh Allah dinunia adalah nikmat bersetubuh”. Ini
meerupakan bentuk stimulun atau pancingan Allah kepada umat manusia untuk
selalu mendapatkan nikmat tersebut setelah mati, maka mereka harus surga.
Al Qur’an
telah menggunakan prnikahan dengan istilah mistaqan ghalizhan, yang
artinya perjanjian kokoh yang diikat dengan sumpah. Dalam ini, al Qur’an
memakai istilah mistaqan ghalizhan, dengan 3 konteks antara lain;
Pertama, konteks pernikahan sebagiman telah disebutkan dala Qs; an Nisa’:21
21. Bagaimana kamu
akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Keduan, konteks
pernikahan juga berkaitan dengan perjanjian Allah dengan bani Israil,
154. Dan telah
Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) Perjanjian
(yang telah Kami ambil dari) mereka. dan Kami perintahkan kepada mereka:
"Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud[2]",
dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar
peraturan mengenai hari Sabtu[3]",
dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang kokoh.
Ketiga,kontek
pernikahan juga dikatakan sebagai konteks perjanjian antara Allah dengan para
Nabin-Nya dengan menyampaikan ajaran-ajaran mereka pada umatnya masing-masing. Seperti
dalam Qs; al Ahzab; 7.
7. Dan
(ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu
(sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah
mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh[4].
Dari ketiga kontekss yang telah
digambarkan al Qur’an diatas, dapat kita ambil benag merah, bahwa penikahan
memiliki niali keagungan yang setara dengan penjanjian antara Allah dengan bani
Israil serta selevel dengan perjanjian antara Allah dengan para nabi-Nya. Dan sangat
logis apabila pernikahan itu bukan sekedar sarana untuk menyalurkan hasrat
biologis seksual manusia, tapi lebih dari itu, pernikahan sebagai wujud media
aktualisasi ketaqwaan seorang hamba kepada Tuhannya, yang pada puncaknya
menjadikan manusia untuk mencapai titik tujuan yang paling mulia. Dan dengan
pernikahan, Allah telah meletakan dasar-dasar kehidupan yang penuh dengan
perasaan dan kedamaian. Dan jika halk ini terwujud, maka pernikahan sebagai
sarana untuk mencapai tujuan yang paling mulia akan mudah terlaksana, sekaligus
merasakan nikmat yang tiada tara.
[1]
DIkutip oleh Moh Khoiri dari bukunya M. Chalil nafis dan Abdullah Ubaid,
KELUARGA MASLAHAH;Terapan Fiqih Sosial kyai Sahal. Jakarta: Mitra Abadi Pres, tahun
2010. Hal 3-6.
[2]Yang
dimaksud dengan pintu gerbang itu Lihat pada surat Al Baqarah ayat 58 dan
bersujud Maksudnya menurut sebagian ahli tafsir: menundukkan diri.
[3]Hari
Sabtu ialah hari Sabbat yang khusus untuk ibadah orang Yahudi.
[4]Perjanjian
yang teguh ialah kesanggupan menyampaikan agama kepada umatnya masing-masing.