Rabu, 26 Desember 2012

MENIKAH SEBAGAI WUJUD AKTUALISASI KETAQWAAN[1]



            Menikah sering kali dikaitkan dengan jalan legal untuk mmemenuhi hajat biologis manusia, lebih dari sekedar itu pernikahan adalah institusi agung untuk mengikat dua insan manusia yang berlainan jenis dalam satu ikatan keluarga. Kisah pertemuan antara 2 insan manusia yang telah lebih dulu di perlihatkan oleh Nabi Adam as. Dan Sayidah Hawa, keduanya diliputi rasa ingin memuaskan nafsu biologisnya, yang pada klimaksnya diturunkannya mereka berdua dari surga.
Kala itu, para malaikat berkata “jangan dulu hai Adam, sebelum engkau membayar maharnya(mas kawin) kepada siti Hawa”, “apa maharnya?” Tanya Nabi Adam, kemudian para maialikat pun menjawab “maharnya adalah engkau membaca sholawat untuk Nabi Muhammad saw”. Kemudian Adam membayar maharnya sesuai yang telah disebutkan oleh para malaikat, dan akad nikah pun terjadi. Pada saat itu malaikat Jibril bertindah sebagi pembaca khutbah nikah, lalu Allah menikahkan Adam dengan siti Hawa. Momentum besar ini telah disaksikan para malaikat antara lain; Israfil, Mikail, dan malikat yang dekat dengan Allah swt.
Akad nikah seperti itulah yang saat ini telah dilangengkan oleh umat manusia serta disyari’atkan dalam agama islam. Ketentuan seperti ini berlaku pada kalangan sunni, yautu; adanya calon mempelai(laki-laki dan perempuan), akad nikah yang dilakukan oleh wali atau wakilnya, serta adanya 2  orang saksi dan mahar atau mas kawin. Berasumsi pada pengertian diatas, maka wajar apabila pernikahan dikatakan sebagai gerbang untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia.
Tapi, lebih dari itu menurut KH. Sahal Mahfudz(rais Am PBNU), “pernikahan bukan hanya sarana untuk menyalurkan nafsu biologis manusia secara halal dalam bingkai keluarga. Karenanya, menikah merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari sunah rasul yang menjadi nilai ibadah bagi mereka yang mengerjakannya. Disini, menyetubuhi istri secara halal yang dibingkai dalam hubungan keluarga adalah amalan yang mendapatkan pahala”. Tulis KH Sahal dalam bukunya “pesantren mencari makna”.
Bahkan Hujatul Islam Imam al Ghazali menyebutkan bahwa “satu-satunya nikmat surga terbesar yang telah diturunkan oleh Allah dinunia adalah nikmat bersetubuh”. Ini meerupakan bentuk stimulun atau pancingan Allah kepada umat manusia untuk selalu mendapatkan nikmat tersebut setelah mati, maka mereka harus surga.
Al Qur’an telah menggunakan prnikahan dengan istilah mistaqan ghalizhan, yang artinya perjanjian kokoh yang diikat dengan sumpah. Dalam ini, al Qur’an memakai istilah mistaqan ghalizhan, dengan 3 konteks antara lain;
Pertama, konteks pernikahan sebagiman telah disebutkan dala Qs; an Nisa’:21
21. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Keduan, konteks pernikahan juga berkaitan dengan perjanjian Allah dengan bani Israil,   
154. Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) Perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. dan Kami perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud[2]", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu[3]", dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang kokoh.
Ketiga,kontek pernikahan juga dikatakan sebagai konteks perjanjian antara Allah dengan para Nabin-Nya dengan menyampaikan ajaran-ajaran mereka pada umatnya masing-masing. Seperti dalam Qs; al Ahzab; 7.
7. Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh[4].
         Dari ketiga kontekss yang telah digambarkan al Qur’an diatas, dapat kita ambil benag merah, bahwa penikahan memiliki niali keagungan yang setara dengan penjanjian antara Allah dengan bani Israil serta selevel dengan perjanjian antara Allah dengan para nabi-Nya. Dan sangat logis apabila pernikahan itu bukan sekedar sarana untuk menyalurkan hasrat biologis seksual manusia, tapi lebih dari itu, pernikahan sebagai wujud media aktualisasi ketaqwaan seorang hamba kepada Tuhannya, yang pada puncaknya menjadikan manusia untuk mencapai titik tujuan yang paling mulia. Dan dengan pernikahan, Allah telah meletakan dasar-dasar kehidupan yang penuh dengan perasaan dan kedamaian. Dan jika halk ini terwujud, maka pernikahan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang paling mulia akan mudah terlaksana, sekaligus merasakan nikmat yang tiada tara.









[1] DIkutip oleh Moh Khoiri dari bukunya M. Chalil nafis dan Abdullah Ubaid, KELUARGA MASLAHAH;Terapan Fiqih Sosial kyai Sahal. Jakarta: Mitra Abadi Pres, tahun 2010. Hal 3-6.
[2]Yang dimaksud dengan pintu gerbang itu Lihat pada surat Al Baqarah ayat 58 dan bersujud Maksudnya menurut sebagian ahli tafsir: menundukkan diri.
[3]Hari Sabtu ialah hari Sabbat yang khusus untuk ibadah orang Yahudi.
[4]Perjanjian yang teguh ialah kesanggupan menyampaikan agama kepada umatnya masing-masing.