Kamis, 18 Agustus 2011

TELAAH SEPUTAR TA’RIF AL HADITS


          Hadits  yang selama ini kita ketahui sebagai pegangan kedua umat Islam setelah Al Qur’an, ternyata mempunyai banyak definisi. Bahkan para Muhaditsin(ulama’ ahli hadits) memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai ta’rif al hadits. Perbedaan yang muncul dikalangan Muhaditsin itu muncul karena terpengaruh oleh terbatasnya tinjauan mereka mengenai ta’rif al hadits yang sebenarnya.  Hadits kalau kita telaah secara etimologi, atau kita lihat dari arti bahasa, maka akan bermana baru, atau sesuatu yang baru. Kalau kita telaah secara terminologi, atau arti istilahnya, Hadits bermakna segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, tingkah laku, maupun ketetapan Nabi.
          Dari pengertian hadits yang telah disebutkan di atas, ini menuai 2 pengertian Hadits. Yaitu pengertian Hadits secara terbatas, dan pengertian Hadits secara luas. Pengertian Hadits secara terbatas, seperti yang telah diungkapkan Jumhurul Muhatditsin, dalam bukunya Drs Fathur Rahman. Didalam bukunya Fathur rahman tersebut, mereka para muhaditsin mendefinisikan Hadits sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan(taqrir), dan yang sebagainya.
          Pengertian perkataan seperti yang telah disebutkan dalam pengertian Hadits di atas, adalah perkataan yang pernah diucapkan Nabi dalam berbagai bidang, seperti: bidang hukum(syari’ah), akhlak, aqidah, pendidikan, dan sebagainya. Dan pengertian dari perbuatan seperti yang telah disebutkan dalam definisi hadits diatas, adalah merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’ah yang belum jelas cara pelaksanaanya. Misalnya pelaksanaan cara mengerjakan sholat sunah di atas kendaraan yang sedang berjalan, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi dengan perbuatan beliau yang di praktekan dihadapan para sahabatnya.
          Dalam sebuah Hadits yang dikutip dari dari sahabat Jabir r.a. Bahwasannya Nabi bersabdah yang artinya seperti ini: “Konon Rasullalah SAW. Melaksanakan sholat di atas kendaraan dengan menghadap qikblat menurut kendaraan itu menghadap. Apbila Nabi hendak sholat Fardhu, beliau turun sebentar kemudian menghadap qikblat”. (HR. Bhukhori). Adanya pengecualian dari sebagian perbuatan Rasullaulah SAW. Tidaklah mengurangi ketentuan tentang keseluruhan perbuatan Rosullaulah SAW. Yang menjadi nash syara’ yang harus diteladani oleh seluruh umat Islam.
          Adanya pengecualian perihal mengenai sesuatu hal, itu mungkin karena adanya sebuah dalil yang menunjukan bahwa perbuatan itu hanya spesifik dikhususkan bagi Nabi saja. Misalnya tindakan beliau atas dispensasi dari Allah SWT. Yang memperbolehkannya menikahi 4 Istri tanpa memberikan mas kawin. Sebagi dalil diperbolehkannya menikahi wanita tanpa mas kawin, adalah firman Allah SWT. Dalam (QS Al Ahzab:50). Yang artinya sebagai berikut” Dan Kami halalkan seorang wanita mukminah menyerahkan dirinya kepada Nabi (untuk dinikahi tanpa mahar), bila Nabi menghendaki menikahinya, sebagai suatu kelonggaran untu engkau saja, dan bukan untuk kaum mukmin beriman lainnya”.(QS Al Ahzab:50).
          Definisi dari taqrir Nabi adalah kedaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan ataupun menyetujui apa yang dilakukan dan di praktekan oleh para sahabat dihadapan Nabi SAW. Sebagai contoh taqrir yang telah ditetapkan Nabi adalah sebagai berikut: seperti tindakan para sahabat yang dilakukan dihadapan Nabi, ialah tindakan salah seorang sahabat yang bernama Khalit bin Walid, dalam salah satu jamuan makan menyajikan makanan daging biawak dan mempersilahkan kepada Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan. Kemudian Nabi besabdah yang artinya: “ Tidak(ma’af), berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya!”. Kata Khalid “Segera aku memotongnya dan memakannya, sedang Rasullalulah melihat kepadaku”.
          Masih seputar unsur-unsur yang ada pada Hadits termasuk didalamnya adalah, sifat-sifat, keadaan-keadaan, dan himmah(hasrat Nabi). Berkaitan dengan sifat-sifat beliau, seperti yang di lukiskan oleh para sahabat dan ahli tarikh. Seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniah Nabi yang dilukiskan oleh sahabat Anas r.a. sebagai berikut: “Rasullaulah itu adalah sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Nabi bukan orang yang tinggi dan orang yang pendek”.(HR. Bukhori dan Muslim).
          Sedangkan ta’rif Hadits secara luas tidaklah sepeti yang telah di jelaskan sepeti diatas. Ta’rif  Hadits secara luas tidak hanya dimarfukkan kepada Nabi saja. Akan tetapi Hadits juga bisa di sandarkan kepada selain Nabi. Misalnya Hadits yang disandarkan kepada sahabat namanya Hadits Mauquf, dan Hadits yang disandarkan kepada Tabi’in namanya Hadits Maqtu’. Masih seputar pengertian Hadits secara luas, Muhammad Mahfudh, dalam bukunya Fathur rahman mengungkapkan “ Sesungguhnya Hadits itu bukan hanya disandarkan atau di marfu’kan kepada Nabi saja SAW. Melainkan dapat pula disebutkan yang yang mauquf, yaitu yang disandarkan kepada para sahabat. Dan ada pula yang Maqtu’, yaitu yang disandarkan kepada tabi’in.
          Dari pengertian Hadits  yang telah di demonstrasikan diatas, baik pengertian Hadits secara terbatas, maupun  pengertian Hadits secara luas. Maka ada benang merah yang bisa kita tarik dari ta’rif Hadits diatas. Bahwasannya Hadits tidak hanya perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW (Marfu’)saja. Akan tetapi perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada sahabat juga bisa dikatakan Hadits(Mauquf), begitu juga yang disandarkan kepada selain Nabi dan selai sahabat, yaitu disandarkan kepada Tabi’in, namanya Hadits Maqtu’.(kh)