Rabu, 21 September 2011

RUANG LINGKUP PENGERTIAN AGAMA

Menurut para Ahli ilmu pengetahuan sosial, berdasarkan studi yang mereka lakukan perihal mengenai Agama, bahwasannya Agama menurut mereka merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Meskipun hal terebut tidak dibenarkan oleh sarjana-sarjana teologi seperti halnya Islam, Kristen dan Yahudi. Anggapan bahwa Agama merupakan bagian dari kebudayaan manusia, itu merupakan hasil pemikiran studi yang mereka lakukan berdasaran ilmu-ilmu sosial budaya seperti Sosiologi, Antropologi, dan Etnologi dan ilmu-ilmu yang lain. Dan ilmu-ilmu itulah yang menjadi tolak ukur mereka dalam berfikir.
            Dan pernyataan bahwasannya Agama merupan bagian dari kebudayaan, bukanlah pernyataan yang salah. Karena Agama sendiri merupakan elemen terpenting dalam sejarah kehidupan manusia, yaitu mulai dari zaman dahulu, hingga zaman modern seperti sekarang. Kalau kita lihat dari zaman dahulu, zaman pra sejarah hingga zaman modern saat ini, maka Agama dapat kita lihat dari 2 segi yakni : Bentuk, dan isinya. Apabila Agama kita lihat dari segi bentuknya, maka agama dapatlah kita pandang sebagai kebudayaan batin manusia, yang didalamnya terdapat potensi psikologis, yang akhirnya dapat mempengeruhi jalan hidup manusia.
            Sedangkan kalau Agama kita lihat dari isinya, maka agama berisi seputar ajaran-ajaran dan wahyu yang datangnya dari Tuhan. Dan terkhusus hanya untuk inilah yang tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari kebudyaan, tetapi akan lebih tepatnya sebagai agama-agama revilasi(wahyu), yang ada pada masing-masing manusia, atau adanya sentimen atau adanya perasaan kemasyarakatan dalam kehidupan manusia. Bahkan menurut Agama revilasi(wahyu) sendiri, bahwa agama telah diturunkan oleh Tuhan, karena manusia sangat membutuhkannya dalam menegarungi proses kehidupannya, demi untuk memperoleh pedoman dan pengarahan yang benar, agar tidak terjerumus dalam jurang kesesatan.
            Apabila Agama telah berfungsi dalam kehidupan sosial masyarakat manusia, maka sesuai dengan sosial cultural masyarakat tersebut, terkhusus bagi masyarakat modern yang pluralitas(serba ganda) dalam sosial cultural, maka demi keberlangsungan keberadaban umat manusia, maka sudah barang tentu, sifat toleran dan kooperatif dalam kehidupan sosial budaya narus terwujud dalam masyarakat tersebut, dan didorong dengan manusia sebagai makhluk sosial(homo sosius) itu sendiri, dan manusia sendiri tidak terlepas dari dorongan “naturaliter religiosa” (nalui hidup keagamaan).
            Dalam aspek inilah, maka para peneliti, dan sarjan ilmu pengetahuan sosial berasumsi bahwa agama mutlak dibutuhkan oleh manusia, dan mayarakat. Sebagaimana terbukti dalam penelitian sejarah perkembangan ilmu pengetahuan sosial, yang dilakukan oleh sementara ahli, seperti sosiologi dan antropologi. Dan diantara hasil studi yang mereka lakukan diantaranya adalah dalam bidang sosiologi, misalnya E. Durkeheim, yang berpendapat bahwa Agama merupakan gejala masyarakat. Adanya agama karena adanya masyarakat, sebagaimana bahasa merupan gejala masyarakat. Dengan kata lain, bilamana ada agama, kebudayan dan bahasa, maka sudah pasti disitu ada masyarakat. karena itu semua merupakan manifestasi dari jiwa budaya masyarakat. Dengan demikian, maka Agama merupakan produk kebudayaan masyarakat dari itu sendiri, yang merupakan kekayaan batin yang dirumuskan oleh masyarakat itu sendiri. Dan dari sinilah akhirnya terjadi kecenderungan para ahli studi agama untuk menetapkan klasifikasi agama menjadi 2 bagian yaitu: agama Samawi dan agama Wadh’y(agama wahyu dan bukan wahyu).
            Diantara  hasil studi mereka yang lain adalah, Agama telah ada serupa denga umurnya masyarakat. Artinya masyarakat manusia dari zaman ke zaman senantiasa memiliki agama. Dan pendapat seperti ini merupakan pendapat yang logis, karena dari segi sosiologis, antropologis, dan cultural, sebuah agama tidak aka ada tanpa adanya masyarakat. Sekarang yang jadi persoalan kita adalah, kapan masyarakat manusia itu berada? Dan inilah yang masih dipersebatkan, dan kalau kia berbicara mengenai mayarakat, maka ini tidak akan lepas dari asal usul manusia.  Dalam hubungannya dengan asal usul manusia, ini terdapat 2 teori pokok yang paling menonjol yaitu: teori evolusi (Darwinisme), yang diterapkan dalam masalah keagamaan, antara lain adalahE.B. Taylor dan Lubbok di satu pihak. Dan yang ke 2 yaitu teori kultur historie, yang dipihak lain fahamnya berlawananan dengan teori evolusi.
            Dan disamping itu, teori yang dikeluarkan oleh agama-agama wahyu(revalasi), yang membantah tentang teori evolusi, yang asal usul manusia, dan perkembangannya, yaitu agama bukan berdasarkan hasil evolusi kepercayaan manusia terhadap hal-hal ghaib. Dan menurut ajaran agama-agama wahyu, dimulainya manusia pertama kali didunia adalah, sejak diturunkannya nabi Adan dan Siti Hawa ke dunia, dan sejak iulah agama wahyu sudah diturunkan kepada mereka. Adam dan Hawa merupakan bapak dan ibuk dari semua manusia, mereka merupakan manusia pertama di dunia.
            Bilamana kita menyetujui pendapat C.G. Jung, bahwa setiap manusia itu memiliki”Naturaliter Religiosa”(instink beragama), sedangkan Instik  menurut menurut teori pendidikan, dapat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga manusia tersebut benar-benar dapat menjadi pengikut yang taat kepada agamanya, maka tak perlu lagi kita mempersoalkan asal usul agama itu. Dan memang benar pendapat B. Malinowski yang menyatakan bahwa”……..There are people however primitive without religion and magic……….(Tidak ada orang yang bagaimanapun primitifnya tanpa agama dan magic).